Saat ini bisa disebut terjadi krisis percaya diri dari beberapa tokoh.Tidak percaya diri dengan kemampuan rakyatnya.Tidak percaya diri dengan warisan keilmuan para leluhur. Mereka gampang minder dan kagum kepada produk luar secara total akhirnya menjadi inlander dan suka impor. Saat pandemi ini bisa dilihat bukti dari statemen di atas.

Nampaknya beberapa tokoh ini sudah “mabuk” luar negeri dan sulit disembuhkan. Namun saya punya harapan kepada gen Y dan Z akan beda dengan mereka. Untuk itu, kisah heroik para leluhur perlu dikenalkan lebih intens kepada mereka, apalagi di bulan kemerdekaan.

Syahdan, remaja itu sepulang dari mondok di Nganjuk mengendarai dokar dengan cepat di kota Jombang. Tentu perilaku demikian pada waktu itu dianggap tidak sopan oleh imperialis dan antek-anteknya. Ingat ya, saat itu sikap “feodal” yang salah satunya berwujud harus hormat ekstra dan berlebih harus dilakukan oleh pribumi kepada imperialis dan antek-anteknya. Siapa yang tidak hormat akan kena hukuman. Jadi hormatnya karena politik, ketakutan dan kelaliman, bukan hormat karena ilmu dan kealiman.

Kembali ke kisah sang remaja, hebohnya lagi, di saat yang bersamaan, sang residen Belanda sedang keliling kota, tanpa disengaja (atau malah disengaja) ketika keduanya sampai di bundaran Ringin Contong (bundaran tengah kota Jombang), kusir si Residen dibalap oleh sang remaja. Seketika Residen pun marah, sebab, kala itu tidak ada orang yang berani menyalip kusirnya, apalagi hanya anak remaja.

Kemarahan Residen tentu ditanggapi para anteknya yang juga dari pribumi dan punya “ilmu dalam”. Kata mbah mbah kita, kekalahan pejuang banyak disebabkan adanya antek dari pribumi yang tahu ilmu pejuang sehingga paham kelemahan pejuang.

Selang beberapa hari setelah peristiwa Ringin Contong, sang remaja sakit keras, tubuhnya menggigil, perutnya melembung membuncit. Melihat kondisi yang demikian, ayah sang remaja tidak tinggal diam. Sang remaja langsung dibopong ke halaman masjid yang sedang dalam proses dibangun dan diletakkan di atas “bayang” (dipan yang terbuat dari bambu) dalam keadaan telanjang dada. 

Tak berselang lama, ayah sang remaja mengeluarkan “pecut” pemberian leluhurnya, kemudian tubuh sang remaja yang tergeletak di atas bayang dicambuk dengan keras lalu keluar kilatan-kilatan sinar berkelebat. 

Usai dipecut, keajaiban terjadi, tubuh sang remaja mengempis seperti sediakala, dan esoknya, tanpa diundang dan tanpa dipanggil, Sang Residen datang menghadap ayah sang remaja untuk meminta maaf. Sebagai bukti permohonan maaf dan penghormatan, sang residen memberi hadiah empat buah tiang kayu jati  besar dan panjang yang disumbangkan untuk membangun masjid pondok.

Mungkin ada yang bertanya, kenapa tiba-tiba sang residen minta maaf? Sangat mungkin dengan kesaktian ayah sang remaja, penyakit sang remaja kembali kepada yang membuat.

Siapakah remaja itu? Tiada lain adalah Kiai Wahab Chasbullah. Pendiri dan penggerak NU serta pahlawan nasional. 

****

Darah pejuang dan berani kepada imperialis Kiai Wahab memang mengalir dari leluhurnya, yakni Mbah Abdus Salam. Mbah Abdus Salam adalah panglima pasukan Diponegoro untuk salah satu daerah di Monconegoro Wetan. Setelah perang usai, Mbah Abdus Salam mendirikan pondok Tambakberas. 

Suatu saat, residen Belanda mengutus kurir untuk menemui Mbah Abdus Salam. Si kurir pun berangkat dengan kereta kuda (bendi) menuju ke pondok Mbah Abdus Salam. Sesampainya di halaman ndalem beliau, dengan nada congkak dan angkuh si kurir berteriak-teriak keras memanggil dengan njangkar, “Abdus Salam”.

 Beliau pun akhirnya keluar rumah dengan membalas bentakan “Sopo awakmu… ?” (Siapa kamu… ?) gelegar suara beliau dahsyat dan 

keras layaknya geledhek (petir) menyambar, dengan sekali bentakan bellau, si kurir dan kudanya langsung pingsan dan tewas. Demikian juga dengan bendinya hancur berantakan. Kabar Itupun menyebar dan sejak saat kejadian Itu Mbah Abdus Salam lebih dikenal dengan sebutan Mbah Kiai Shoichah (bahasa arab, yang berarti bentakan atau gelegar). 

****

Sikap berani kepada imperialis juga ditunjukkan oleh para kiai kampung zaman dulu. Buyut saya di Nganjuk yang bernama Mbah Kiai Kasan Dikromo dengan percaya diri menghadapi antek  imperialis. Kata Paklek Hudi, “Mbah Kasan punya ilmu gebrak. Siapa saja yang  digebrak, akan lumpuh mendadak, termasuk Siten Dopak (sitene Belanda) digebrak Mbah Kasan tidak berdaya langsung minta maaf.” Baca:

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=833488217448604&id=100023623007183

Wahai generasi muda bangsa tunjukkan kemampuanmu. Kamu mampu dan  warisan leluhurmu dengan segala dimensinya tetap penting untuk melangkah demi kemajuan NKRI. Merdeka, Allahu Akbar.

***

Kisah Mbah Wahab dan Mbah Sechah diambil dari buku yang dipegang oleh Mbak Syarifah  Najwa  Shihab. Kalau ingin punya bukunya bisa kontak Gus Jabbar Hubbi

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *