Demokrasi adalah nonsens kata Socrates. Suara rakyat adalah suara gombal. Memilih para pengelola pemerintahan dengan cara pungut-suara adalah tak masuk diakal. 

*^^^^*

Bukankah seorang pilot, nahkoda, masinis tidak dipilih dengan pungut-suara. Socrates barangkali sedikit melucu dengan sedikit sarkasme, tapi para muridnya terutama Plato membuktikan betapa benarnya sang guru. 

Pada tahun 400 SM, para Demokrat yang menang mewajibkan orang miskin hadir dalam eklessia, majelis permusyawaratan rakyat memang hendak dihindarkan dari kekuasaan para orang kaya. Orang borjuis dan berpendidikan harus dibatasi kekuasaanya agar tak membangun kroni yang merugikan si miskin. 

Kekayaan dan kepemilikan dibatasi bila perlu dibagi rata agar tidak ada lagi kesenjangan apalagi cemburu sosial. Si miskin harus di utamakan dan tak boleh di pinggirkan. Menjadi jargon yang terus menerus seakan menjadi dosa tidak berampun jika diabaikan, meski realitasnya tetap tak ada perubahan meski sedikit. Berbagai kebijakan untuk melindungi si miskin yang tak berpendidikan itu sudah dimaksimalkan tapi tetap menempati posisi marginal yang di eksploitasi. 

*^*

Sekumpulan orang lapar dan tak berpendidikan memenuhi ruang sidang. Dan lobi-lobi untuk memutus berbagai soal. Dari utang negara yang terus menumpuk hingga soal monopoli kepemilikan tanah oleh orang asing tak bertuan. Pendek kata demokrasi di Yunani menjelang ambruknya sesak dengan orang lapar yang lantang bersuara. Pandai berdebat dan pintar membuat dusta. Tapi tak

pecus bekerja. Hanya pandai menilai dan memproduksi hoax. 

Sebab mereka di tagih mampu bicara tentang masa depan bangsanya. Sementara pikirannya kosong dan perutnya lapar. Maka ditetapkan berbagai aturan untuk memenuhi segala kebutuhan nya sendiri dan dan tak hirau pada kepentingan negara.

Maka setiap yang hadir memperoleh imbalan uang kurang lebih memadai dengan upah sehari kerja sebagai pengganti pendapatan. Tak ayal majelis pun dikuasai orang-orang lapar yang tidak berpendidikan dan tidak punya ketrampilan cukup. Yang kaya berpendidikan dan punya ketrampilan lebih baik tinggal di rumah. 

*^*

Kehadiran si melarat yang tidak berpendidikan itulah yang kemudian dituding sebagai penyebab menurunnya kualitas majelis. Keputusan salah sering terjadi. Ribut setiap hari. Tidak mengerti persoalan, asal bicara yang penting bisa membuat sensasi. Dia hanya berpikir tentang dirinya agar bisa terpilih kembali tahun depan. Baginya rakyat hanya kawanan jelata di pinggir savana. Mereka hanya pintar pidato diatas panggung seperti pelawak atau badhut, bicaranya kian meracau ketika mendengar riuh suara tepuk-an. 

Demokrasi di Yunani kuno akhirnya rubuh setelah 100 tahun turun naik, di hari menjelang rubuhnya, di Yunani muncul sejenis “Republik Advocate”, yang di dengar khalayak hanyalah para orator, sejumlah tukang pidato dan juru narasi, dan juru debat di depan publik, berbuih dibelakang mikcrophone beraksi penuh api. 

Beradu pendapat, berdebat dan riuh suara argumentasi, membakar rasa dan gairah. Yang termasyhur diantaranya adalah Demosthenes, dia sanggup berbulan-bulan mengunci diri di gua, berlatih orasi melontarkan kata-kata membakar, yang paling memikat termasuk ketika ia harus berdusta di depan publik. 

*^*

Tak heran bila Plato kerap mengernyitkan dahi pada kebisingan itu. Para orator juru pidato baginya tak lebih hanya pemberi racun yang membunuh demokrasi. Sebab yang diumbar adalah kebanggaan massa dan jumlah pengikut, membangun prasangka, membentuk opini, rasa takut dan cemas, bukan pikiran tenang lagi bijaksana. 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *