Hal paling menyenangkan saat membaca kitab ataupun buku lama, adalah ketika bacaan tersebut menghantarkan angan-angan akan kenangan terbang ke peristiwa beberapa tahun silam, namun signifikan terkait dengan yang kekinian. Persisnya, kenangan semasa nyantri di hadapan romo kyai di Kampung yang begitu bersahaja, dan hal terkini yang berpandangan bahwa santri yg belajar kitab yg hanya di alur madzhab fiqh tertentu, maka ia dianggap kurang terbuka wawasannya.
Inilah yang sedang saya rasakan di saat membaca kembali kitab lama yang berjudul Tausyikh Ala Syarkh Ibni Qasim atau Quutul Habib al Gharib karya Syeikh Nawawi Al Jawiy. Seingat saya, Kitab ini dulu diajarkan di madrasah diniyah tingkat wustho (menengah). Secara aturan metode belajar, bahwa kitab ini dipelajari setelah para santri mengkhatamkan secara runut-urut; Kitab Safinatun Naja karya Syeikh Salim ibn Sumair al Hadhrami, lalu Kitab Al Ghayah wa At Taqrib karya Al Qadhi Abu Syuja’ atau biasa disebut Matan Abi Syuja’, kemudian kitab Tausyikh Ala Fathil Qarib al Mujib karya Syeikh Abu Abdillah Muhammad ibn Qasim as Syafi’i. Ini dimaksudkan agar tanjakan keilmuan santri memiliki pondasi yg kuat, memiliki karakter jelas, dan tetap relaks saat bertemu variasi persoalan yg disertai perdebatannya.
Pada kitab ini, para santri membahas tema-tema fiqh yang umum, tema amaliyah (aplikatif), dan bermadzhab Syafi’i. Ini umumnya, atau garis besarnya. Akantetapi, bila diamati lebih teliti, maka akan didapati bahwa para santri terkadang secara gradual dipertemukan dengan ragam pendapat, dan dilatih untuk berfikir lebih argumentatif bahkan filosofis. Lihat misalnya saja, terkait rukun shalat ke-14 yaitu tasyahhud, perhatikan berikut ini;
Pertama, Tasyahhud itu bisa dimaknai; bahwa hal ini terkait bacaan dua kalimah syahadat dalam shalat. Ini harus dikerjakan, dan ketiadaannya dapat membatalkan shalat secara keseluruhan. Lalu bagaimana konkrit prakteknya?
Konkritnya, di dalam prilaku sehari-hari, umat Islam umumnya melafadzkan dua kalimah syahadah di dua momen, yaitu; saat adzan berikut iqamah dan saat tasyahhud shalat. Di sini, ternyata ada varian lafadz, yaitu:
1) Pakai wau (و) dan yang tidak
– أشهد أن لا اله إلا الله
وأشهد أن محمدا رسول الله
– أشهد أن لا إله إلا الله
أشهد أن محمدا رسول الله
2) Pakai lafadz Allah ( الله) dan yang tidak
– أشهد أن لا إله إلا الله
وأشهد أن محمدا رسول الله
– أشهد أن لا إله إلا الله
وأشهد أن محمدا رسوله
Di sini, para santri disuguhi dua saja varian pendapat, tetapi tidak disebutkan sumber siapa yang berpendapat. Ini dimaksudkan agar mereka fokus pada pendapat dan argumentasinya saja. Makanya, di level ini dimunculkan ‘doktrin’ untuk mereka, yg bunyinya;
انظر ما قال ولا تنظر من قال
Perhatikan apa isi yang dikatakan, jangan lihat siapa yang berkata.
Terkait wau, ini adalah perdebatan yg nyata. Tetapi, menurut penulis kitab bahwa yang sempurna adalah dengan memakai wau (al-akmal), kemudian di akhir secara tegas penulis menyatakan;
ذكر الواو بين الشهادتين لا بد منه
Menyebut wau diantara dua kalimah syahadat adalah keharusan.
Makanya, oleh sebab dimunculkannya wau (al-athf), maka konsekwensinya kata الله dihilangkan pada lafadz syahadat kedua, sehingga cukup mengatakan “Rasuluhu” tanpa Allah, seperti ini;
وأشهد أن محمدا رسوله
Penulis mengatakan;
فيكفي “رسوله” على المعتمد
Maka, cukup melafadzkan “Rasuluhu” menurut pendapat yg dipegang oleh umumnya Madzhab Syafi’i.
Walaupun demikian, penulis juga menyinggung prihal lafadz syahadatain di momen adzan berikut iqamah. Nah, dalam hal ini, uniknya penulis lebih memilih menghilangkan wau diantara dua kalimah syahadat. Penulis berargumen;
لأنه طلب فيه إفراد كل كلمة بنفس، وذلك يناسب ترك العطف
Karena, di dalam Adzan itu dituntut memasing-masingkan (mensendiri-sendirikan) setiap kalimatnya, dengan satu tarikan nafas. Dan, ini sesuai dan pas, bila menghilangkan wau-nya (al- athf).
Lalu bagaimana dengan Iqamah?
Penulis menjawab;
وتركها في الإقامة لا يضر إلحاقا لها بأصلها وهو الأذان.
Adapun menghilangkan wau dalam syahadatain di Iqamah itu (juga) tidak apa-apa. Karena, penghilangan ini merupakan efek-runut (konsekwensi) keterkaitan Iqamah dengan asalnya (pokoknya), yaitu Adzan.
Silahkan, para santri berfikir dan berdiskusi, dan melakukan olehraga otak untuk berfikir, dan olahraga mulutnya untuk berhiwar (dialog)!
Kedua prihal bacaan Tasyahhud dalam shalat. Lain halnya dengan model yang pertama, di sini para santri disuguhi perbedaan, namun penulis kitab tidak secara kuat dan tegas memberikan pendapatnya berikut argumentasinya terkait hal mana yg diunggulkan/dimenangkan. Lihat saja; Penulis menyatakan:
وأكمل التشهد ألفاظ مختلفة
Dan adapun kesempurnaan bacaan tasyahhud itu terdapat lafad-lafadz yg berlainan. Berikut ini;
1) Tasyahhudnya sahabat Ibn Abbas
التَّحِيَّاتُ المُبارَكاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلّٰهِ
السلامُ عليك أيها النبيُّ ورحمةُ الله وبركاتُه
السلامُ علينا وعلى عبادِ اللّٰهِ الصالحين
أشهد أن لا اله إلا الله وأشهد أن محمدا عبدُه ورسولُه
2) Tasyahhudnya sahabat Ibnu Mas’ud
التَّحِيَّاتُ لِلّٰهِ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ
السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته
السلام علينا وعلى عبادِ اللّٰهِ الصالحين
أشهد أن لا اله إلا الله وأشهد أن محمدا عبدُه ورسولُه
3) Tasyahhudnya sahabat Umar
التَّحِيَّاتُ لِلّٰهِ الزَّاكِيَاتُ لِلّٰهِ الطَّيِّبَاتُ لِلّٰهِ الصَّلَوَاتُ لِلّٰهِ
السلامُ عليك أيها النبيُّ ورحمةُ الله وبركاتُه
السلامُ علينا وعلى عبادِهِ الصالحين
أشهد أن لا اله إلا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَه
وأشهد أن محمدا عبدُه ورسولُه
Dalam hal ini, penulis hanya menginformasikan bahwa Imam Syafi’i lebih prefer pada tasyahhudnya sahabat Ibn Abbas, karena riwayat paling akhir dari Nabi. Sehingga ini dikategorikan lebih utama (afdhaluha). Akantetapi, penulis juga menyatakan bahwa tasyahud paling sahih (ashahhuha) adalah tasyahhudnya sahabat Ibnu Mas’ud. Dan, tasyahud Ibnu Mas’ud ini dipegang oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Nah, silahkan para santri berdebat, milih yang mana? yang afdhaluha ataukah yang ashahhuha??
Begitu pula, Penulis kitab juga menginformasikan bahwa tasyahhudnya sahabat Umar ini adalah pegangan Imam Malik. Istimewanya, tasyahhud ini lebih lengkap dan panjang, alias paket komplet.
Ayo, para santri…. silahkan berpikir terbuka dan merdeka, buka kitab lain untuk perbandingan sekaligus minyak bensin nambah suasana lebih ‘hot’. Sehingga, nantinya bisa relaks…. Demikian, tugas bahst, muhadharah, dan hiwar, di forum Bahtsul Masa’il di Pesantren Kampung.
No responses yet