Pada pagi, 7 Juni 2020, jelang jam sepuluh, tiba-tiba saya dihubungi oleh Gus Irfan Nuruddin, juragan sarung batik Lar Gurda. Ia bertanya arah ke rumah saya. Saya berdebar. Setelah beberapa masa, rumah yang kami tempati ini telah tidak lagi didatangi oleh tamu. Beberapa hari lalu ada. Tapi sehitungan saya, baru ada tiga kali tamu selama lebaran, mungkin juga selama masa senyap dalam rangka penghormatan pada Korona. Saya langsung bersuuzzhon-hasanah bahwa Gus Irfan akan menginjakkan kaki ke rumah, mengulukkan keselamatan pada saya dan keluarga, dan lalu mencicipi sesajen yang disiapkan oleh Dewi Kali untuknya.

Sekira jam sebelas kurang, tunggangannya sudah berdiam di halaman rumah. Saya menyambutnya dengan bersalaman dan mengaturkan selamat hari lebaran. Basa-basi. Tapi perlu. Kalimat thayyibah yang dilisankan, meskipun basa-basi, akan berbuah baik. Sebelum masuk, ia merogoh-rogoh bagasi tunggangannya. Lalu ia memberikan hasil rogohan itu kepada saya: “ini tak kasih sanad dari saya…”. Saya tentu menyumringah. Akhirnya saya mendapatkan sanad Sarung Lar Gurda langsung dari juragannya. Ia duduk. Saya juga, sambil membuka Lar Gurda pemberiannya. Setelah menenggak teh anget dan mengunyah sepotong gorengan mungil, ia mengajak saya untuk bertawajjuh dalam upacara Tarekat Sortalokiyah yang dimursyidi oleh Buya Alfi Limbak Malintang Sati. Kamdulillaaaaaaah.

***

Sebagaimana sebelumnya, saya akan mengulas sarung lar Gurda ini. Ragi “tumpal” selalu menjadi ragi utama di bagian kepala Lar Gurda (lihat gambar 1).

Ragi khas batik pantai urara Jawa yang juga disebut “pasung” dan di Sumatera disebut “pucuk rebung” itu, di sarung ini berlatar hitam dengan taburan nitik truntum dan lar atau sayap. Hingga tercipta kesan bagian kepala yang melaksana langit bertabur bintang. Ada 13 tumpal di setiap sisi kanan dan kiri. Jadi semuanya ada 26, dengan tambahan setengan tumpal yang menyempil di ujung karena tertimpa ragi bebunga. Di ulasan sebelumnya, saya sudah mengatakan bahwa ragi bebunga selalu mengisi bagian dalam tumpal. Sebagaimana terdapat di dinding candi-candi, di jirat dan nisan makam-makam para wali, dan di berbagai hiasan rumah-rumah adat. Silahkan rujuk tulisan saya ihwal ini di dua ulasa Lar Gurda sebelumnya.

Masuk ke bagian “papan” atau sisi pinggir kanan-kiri kepala memanjang, ditemukan ragi bebungaan (lihat gambar 2). Bagian tepi papan dipenuhi oleh tumpal-tumpal kecil bersusun tapi tidak seukur. Ragi bebungaan ini mirip dengan bebunggan kuno di candi-candi yang disebut kalasa. Semoga tidak keliru. Di Candi Barong, wilayah Prambanan (lihat gambar 3), ragi ini tergurat menjadi hiasan cantik, meskipun boleh dibilang tidak termasuk bebungaan utama (purna kalasa). Terkadang penampakan ragi ini mengingatkan saya pada citra kepiting atau kalau tidak laba-laba. Dalam pembacaan “kosokbalen”, sebuah operasi pencarian pengetahuan berbasis epistemologi Jawa, “kalasa” dapat dicandra sebagai “salaka”, yang berarti: berjalan ngudi kaweruh atau mencari ilmu sejati, yang dimulai dengan menemukan jati diri. Dalam makna yang lain, sebab setiap kata dalam bahasa jawa selalu ber-dasanama atau memiliki banyak makna, kalasa juga berarti doa.

Pindah ke bagian “badan”, Lar Gurda ini berisi ragi “parang klitik” (lihat gambar 4). Batik beragi parang jenis ini berisi goresan-goresan garis yang membentuk citra parang. Ada juga yang menyebut citra huruf S. Pada ragi parang jenis klitik, goresan garis-garis parang itu tampak lentur, luwes, tipis, dan lembut. Tidak seperti parang barong yang berisi goresan garis-garis gempal, gagah, dan padat. Batik beragi parang klitik memang dipakemkan untuk para perempuan. Ia mewakili alam pikiran seorang perempuan yang penuh kelembutan, keluwesan, kehalusan, tajam tutur-kata, dan mampu memangku “anak-anaknya”.

Saya tidak tahu alasan Gus Irfan menganugerahkan ragi parang klitik ini kepada saya. Setahu saya batik ragi ini jamak dipakai oleh para puteri karaton atau paling tidak, oleh orang yang sudah mampu menahan amarah, mahir memangku, dan berjaya menaklukkan harga diri. Lazimnya seorang ibu yang bersedia menanggung sakit sejak dari dalam perutnya sampai ajal menjemputnya. Sedangkan saya masih sering berubah menjadi Hulk dan Grandong di rumah. Ladalah. Ya kayu ya kayumu birahmatika astagisu…

Tapi, di Jawa, tidak ada sesuatu yang sembarangan terjadi. Semua memiliki isyarat. Begitu mengetahui bahwa sarung ini berbadan prang klitik, saya langsung menangkap amar perihal jihad untuk “menjadi perempuan” di sini. Saya pernah menulis bahwa di Jawa, seorang “raja” tidak disebut “raja”, melainkan “ratu”. Meskipun ia lelaki, akan tetapi, ia harus belajar menjadi perempuan. Seperti halnya Arjuna yang diperintahkan untuk belajar menari setelah mengkhatamkan ilmu perang. Di dinding-dinding candi, bisa ditilik bahwa patung seorang lelaki utama, tidak dibuat dengan cara berdiri yang kaku lengkap dengan perut kotak-kotak mirip tahu bungkus ala lelaki modern. Pinggul sang lelaki utama di candi-candi biasanya akan melenggok ke kiri, persis seperti seorang penari. Sedangkan di ruang utama candi, biasa dipampangkan seorang lelaki yang sedang duduk dengan satu atau dua kaki melipat, sedangkan tangannya tampak gemulai karena jempol dan jari manisnya bersitemu. Kesan keperempuan lahir dari gerak yang memperlihatkan tabiat seorang penari itu (lihat gambar 5).

Dari kata “ratu”, istilah “Karaton” atau Kraton bermula, yang berarti; “keratuan”. Berbeda dengan “Kadaton” atau “Kedaton” yang berasal dari kata “Datu”, yang berarti sesepuh, tetua, dan semisalnya. Bila diterjemahkan pakai pikiran hari ini, “Karaton” adalah majelis pelaksana atau dewan eksekutif. Sedangkan “Kadaton” adalah majelis permusyawaratan atau dewan legislatif. Karaton mewakili sisi keperempuanan, keindahan, kecantikan, kegemulaian. Sedangkan Kadaton menjadi isyarat kelelakian, kegagahan, kewibawaan.

Selanjutnya, seperti biasa, dalam beberapa lembar sarung batik lar gurda yang saya saksikan langsung maupun melalui juragan Lar Gurda cabang Jogja, Din Rosyidin, ragi bebungaan merambat ini selalu berada di bagian pinggir. Seperti halnya parade tiga goresan menyerupai huruf alif dan dua kepala huruf ‘ain yang menjadi pemungkas di bagian seret batik dan melingkungi seluruh tepi paling tepi Lar Gurda.
***
Saya baru sedikit mengorek kabar berharga dari Gus Irfan mengenai laku perbatikan yang ia susuri ini. Soalnya ia sambil menyetir. Sedangkan saya sambil memelototi peta google yang akan mengarahkan kami ke tujuan. Barangkali kabar-kabar keramat ihwal perbatikan akan meluncur dari kerongkongannya bila ia disajeni kopi. Juga dupa. Tapi kemarin saya lupa membakarkan dupa. Meskipun di rumah, dupa kerap membara. Sebagai patok bahwa orang-orang yang ada di rumah itu selalu akan menghiasi diri dengan keharuman akhlak, ketulusan doa, dan belajar berharu-harum ria dalam tata solah-bawa. Persis seperti harumnya dupa. Jadi dupa tidak berhubungan dengan demit atau dalam bahasa Kang Ujang Bustomi; setan belek.

Di perjalanan ke Lembah Sarang, kepada Kyai Abdul Sy, Pengasuh Pesantren Batik Nusantara yang merangkap sebagai sekutunya juragan batik Pak Batk Sapuan, saya menjanjikan diri untuk bersowan untuk mengudi kaweruh batik. Lipatan-lipatan pengetahuan suci di balik batik selalu menyungkurkan saya ke tanah kehinaan. Sudah saya bilang sebelumnya bahwa ragi-ragi batik yang hari ini hanya menjadi barang dagangan, pada awalnya digores tidak untuk apa-apa selain sebagai rajah. Isinya adalah doa. Berbatik merupakan ungkapan doa yang dipanjatkan ke langit.

Wallahu a’lam.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *