Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari menuangkan dalam salah satu butir al-Hikamnya, “Mempersingkat perjalanan yang sejati adalah kala jarak dunia dilipat untukmu sehingga engkau dapat melihat akhirat lebih dekat kepadamu ketimbang dirimu sendiri.”

Kekaguman para salik, ditegaskan oleh Ibnu ‘Athaillah murid dari Abu al-Hasan as-Syadzili ini, hendaknya bukan pada adanya kemampuan menempuh perjalanan dari ujung bumi ke ujung lainnya dalam waktu sekejap saja. Itu wilayah kesaktian atau kejadukan. Melainkan, pada adanya kesanggupan memperpendek jarak antara seorang hamba di dunia dengan alam akhirat. 

Salik mampu membangun kokoh dalam jiwanya bahwa akhirat adalah suatu wilayah yang bukan jauh mengawang dan karenanya akan mengambang. Akan tetapi, akhirat serasa dekat, ada, dan hadir di sini, di hadapan matanya, di dunia ini, dan kala ia masih diberi kesempatan bernafas ini. 

Sehingga, bersemilah dalam jiwanya sikap selalu merasa dipandang Allah (muraqabah) dalam hidupnya keseharian.  

Dengan demikian, pencari-Nya yang sejati lebih mementingkan bagaimana dapat meneguhkan sifat dan sikap yang mulia (baca: istiqamah), daripada bagaimana menuai karamah dalam makna sempitnya dan memperoleh mukasyafah melalui beragam amalan-amalan tertentu. 

Bagi salik sejati, mematuhi suara hati yang mengajak untuk menelisik aib dan kekurangan diri sendiri yang tersembunyi jauh lebih baik ketimbang memperturutkan syahwat mendaki langit untuk menguak apa yang sesungguhnya merupakan wilayah “misteri”. 

Bagaimana mungkin seseorang bisa disebut penyabar, bila ia belum teguh dalam kesabarannya pada segala kondisi, baru dapat bersabar secara diskriminatif, dan pilih-pilih? 

Bagaimana seseorang layak dikatakan dermawan, jika ia berderma hanya kala berkelimpahan lalu bersikap kikir kala terbalutkan kesempitan? 

Sudah kokohkah keikhlasan, jika seseorang dapat khusuk kala melakukan ibadah bersama banyak orang, namun jiwanya kasak-kusuk ketika ibadah sendirian? Bagaimana seseorang juga bisa disebut penyayang, pemaaf, atau sifat-sifat agung dan mulia lainnya jika ia belum melampaui semua bentuk ujian? 

Hal-hal semacam inilah yang seharusnya menjadi titik perhatian dan dikembangkan di dalam perjalanan seorang hamba menuju Tuhan.

SEMOGA MENGERTI, SEMOGA HIDUP MENJADI PENUH MAKNA DAN BERARTI.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *