Ada seorang hamba yang taat beribadah kepada Allah. Di saat yang sama, ada seorang wali yang diberikan karamah oleh Allah sehingga bisa melihat catatan-Nya di lauhil mahfudz. Dan, sang wali tersebut melihat bahwa seorang hamba yang taat tadi ternyata termasuk orang-orang yang celaka kelak di hari kiamat, termasuk orang yang akan disiksa-Nya.

Kisah di atas, pernah disampaikan oleh Syeikh al-Buthi dalam ceramahnya. Menurut beliau, kisah tersebut dimuat dalam beberapa kitab tasawuf, termasuk di dalam kitab Ihya Ulumiddin karya Imam al-Ghazali.

Sang wali pun menyampaikan perihal kabar tersebut kepada hamba yang taat beribadah. Begini jawaban hamba yang taat tadi: “Demi Allah, jikapun saya kelak disiksa-Nya atau dimuliakan-Nya, saya ini adalah hamba-Nya. Saya tidak akan pernah berpaling dari-Nya.”

Syaikh al-Buthi mengomentari kisah tersebut, menurutnya, terlepas kisah tersebut benar atau tidak, tetapi secara substansial, hal itu benar adanya. Artinya, seorang hamba yang sadar akan dirinya dihadapan Tuhannya, niscaya akan bersikap yang sama.

Mengapa? karena memang sejatinya seorang hamba harus bersikap “menerima” atas segala keputusan sang penciptanya. Nikmat ataupun azab yang akan diterimanya kelak, tidak mempengaruhi penghambaannya kepada Tuhannya. Bukan pula mencari Tuhan “tandingan” lainnya.

Oleh sebab itu, sejatinya Allah “bebas” berkehendak atas hamba-Nya. Jikapun kelak Allah memberikan ampunan dan nikmat kepada hamba-Nya, berarti itu semata-mata rahmat dari-Nya. Sebaliknya, jikapun kelak Allah menyiksa hamba-Nya, itu murni keadilan dari-Nya. 

Jadi, jangan pernah menyesal beribadah dan menghamba kepada-Nya, kendatipun seorang hamba tidak pernah tahu, apakah kelak akan dinaungi “keramahan” atau “kemarahan” dari-Nya.[]

Jogya, bakda Asyar, 17/3/2021

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *