Tidak mungkin memisahkan dzikir dengan hati. Karena pemisahan seperti ini pada hakekatnya sama seperti pemisahan ruh dan jasad dalam diri insan. Seorang manusia sudah bukan manusia lagi manakala ruhnya sudah hengkang dari jasadnya. Dengan dzikir ini pulalah, Allah gambarkan dalam Al-Qur’an, bahwa hati dapat menjadi tenang dan tentram (13:28)
الذِّيْنَ آمَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah bahwa hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang.”
Ketenangan bukanlah sebuah kata yang tiada makna dan hampa. Namun ketenangan memiliki dimensi yang sangat luas, yaitu mencakup kebahagian di dunia dan di akhirat. Allah SWT ketika memanggil seorang hamba untuk kembali ke haribaan-Nya guna mendapatkan keridhaan-Nya, menggunakan istilah ini:
“Wahai jiwa-jiwa yang tenang. Kembalilah kamu pada Rabmu dalam kondisi ridha dan diridhai. Maka masuklah kamu dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah kamu dalam surga-Ku.” (Al-Fajr, 27-30)
Ketenagan hati juga berkaitan erat dengan kebersihan hati. Hati yang tidak bersih, tidak dapat menjadikan diri insan menjadi tenang. Bahkan saya melihat bahwa kebersihan hatilah yang menjadi pondasi tegaknya bangunan ketenangan hati. Dan disinilah dzikir dapat mengantisipasi hati menjadi bersih, sebagaimana dzikir juga dapat menjadikan hati menjadi tenang.
No responses yet