Menjelang maghrib barusan saya diberi kesempatan menyampaikan materi seperti tersebut di atas di Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya. Tentang takdir yang berupa takdir yang mengenakkan tentu tak perlu dibahas. Namun bagaimana cara kita bisa menjalani takdir yang tak sesuai harapan agar kita bisa tetap hidup normal dan bersahaja. 

Mengutip pandangan beberapa ulama saya sampaikan enam (6) sudut pandang yang akan menjadikan kita bisa melihat keindahan di balik takdir yang dirasa tak nyaman itu. Karena kita tak kuasa menolak tadir dan tak mampu menentukan takdir sendiri, melainkan hanya menerima ketentuan yang telah tertuliskan di lauh mahfudz, maka yang bisa kita lakukan adalah mengubah persepsi kita akan semua yang terjadi.

Perspektif atau sudut pandang pertama adalah memperkuat keyakinan tauhid kita dengan mengimani segala sesuatu yang terjadi adalah dari Allah, Pencipta kita, Pemberi rizki kepada kita, Pengatur hidup kita. Kalau kita membuat sesuatu dan membaguskannya, mungkinkah kita sendiri yang merusakkannya? Tentu kita akan menjaganya dan merawatnya dengan cara terbaik. Allah menciptakan kita dengan cinta, mungkinkah setelah kita tercipta kemudian dirusak sendiri oleh Allah? Jelas tidak. Mungkin saja ketidaknyamanan afalah buah dari kesalahan kita.

Perspektif kedua adalah perspektih keadilan. Semua kitavtahu bahwa Allah tidak pernah dzalim. Bertebaran ayat tentang ini. Allah afalah adil sekalivdalam setiap ketentuan dan takdirnya. Kalau begitu, jangan-jangan musibah atau hal tak nyaman yang terjadi pada kita adalah buah kedzaliman kita sendiri yang banyak melakukan pelanggaran hidup. Lalu Allah membalasnya di dunia ini agar kelak langsung masuk surga tanpa hisab. Jangan pernah menyalahkan Allah. Selalulah berusaha untuk positif memandang setiap tetesan takdir. Dalam konteks ini, muhasabah dan istighfar, bertaubat dengan taubat nasuha adalah langkah terbaik yang bisa kita lakukan.

Masih ada 4 perspektif lagi. Namun saya harus mengimami tarawih. Lain waktu semoga bisa kita lanjutkan akan kifa bisa tetap bersiul di tengah badai, menari di tengah siraman deras air hujan. Salam hormat, A. I. Mawardi

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *