Dalam beberapa hari terakhir ramai sekali perbincangan di kalangan komunitas keagamaan soal sertifikasi ulama dan istilah ustadz good looking. Dua isu yang sebenarnya sangat berbeda tetapi memiliki keterkaitan objek yang sama. Karena keduanya disematkan pada konsep subjek keagamaan ulama dan ustadz. Dan kita tahu masyarakat kita masih sangat bersemangat dengan isu keagamaan. Mungkin hal ini terjadi karena latar kultur agraris yang begitu kuat di masyarakat kita yang tak juga beranjak berubah menjadi masyarakat industri yang lebih “rasional”. Dalam kultur agraris, konservatisme dan mitos dalam aspek keyakinan adalah nilai budaya yang tertanam sangat kuat dan susah berubah. Lihat saja apa yang terjadi di India, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Orang masih sangat senang “beragama” dibandingkan dengan di China dan negara Timur Tengah yang memiliki catatan awal tentang agama lebih tua. Di pusat peradaban agama lama itu sekarang mereka lebih liberal.
Karena itulah kita tidak perlu heran jika isu sertifikasi Ulama segera memicu perdebatan politis ketimbang “ilmiah”. Karena eksistensi ulama di negeri ini sejak masa kerajaan selalu terkait dengan kekuasaan. Tidak sedikit narasi “pengalihan isu” dalam peristiwa sejarah di masa lalu tetap dipertahankan hingga sekarang ini. Salah satunya adalah isu tentang Raden Patah dengan kerajaan Demaknya yang dikaitkan dengan “pemberontakan” politik para wali terhadap “Majapahit”. Sehingga muncul “kesimpulan bahwa runtuhnya Majapahit karena “Islam” yang datang dari luar (bukan karena salah managemen politik internal). Maka dibuatlah mitos “Sabdo Palon Noyo Genggong” tentang akan kembalinya ratu adil (kejayaan) Majapahit dengan agama lokal Jawanya.
Sekali lagi agama menjadi fokus perhatian dan bukan bukan persoalan ketidakadilan yang disorot. Jadi tradisi pengalihan isu sudah menjadi tradisi para penguasa sejak bangsa kita masih berbentuk kerajaan. Bisa jadi isu sertifikasi ulama ini adalah semacam alat politik untuk menahan laju para “ulama” komunitas muslim hijrah yang nafsu beragama nya sedang mencapai puncak. Apalagi setelah “dimanfaatkan” kaum “khilafer” yang patah hati setelah HTI dikunci mati. Sebab kaum inilah yang memiliki indikasi kuat sebagai pendukung radikalisme. Karena sikapnya yang intoleran, merasa benar sendiri dan suka mengkafirkan golongan yang berbeda pemahaman keagamaannya dengan mereka. Pemerintah memang terkesan kuwalahan mengatasi “proyek radikalisme” kaum yang sering mengidentifikasi kelompoknya sebagai pejuang syar’i ini. Padahal mereka tak lebih dari para pejuang “kekuasaan dan rupiah” yang gagal lewat jalur resmi.
Kita bisa membandingkan fokus kegiatan “dakwah” mereka yang berbeda dengan apa yang diperjuangkan para kiai dengan pesantren nya. Karena hakekatnya, kalau soal memperjuangkan penerapan syariah sebagai “gaya hidup” di masyarakat, maka siapakah yang bisa mengalahkan peran pesantren dan para kiai tersebut? Mereka sudah ratusan tahun mengajarkan Islam dengan wajah ramah dan damai tanpa pernah merasa paling benar dan tidak sedikitpun (jarang sekali) secara provokatif “menyerang” kelompok agama atau kepercayaan lain yang berbeda. Mereka lebih fokus mendidik santri dengan prinsip agama yang rahmatan Lil aalamin. Para kiai pesantren ini tak perlu sertifikat, karena pengakuan yang mereka dapatkan sangat alamiah. Bukan dengan rekayasa gimmick yang memanfaatkan kemasan, tampilan, kepura-puraan, dramatisasi, dengan mencitrakan diri sebagai kelompok yang terdholimi sebagaimana yang sering dilakukan para ustadz nyunnah yang mengaku lebih syar’i dari para kiai.
Sertifikasi ulama ini memang perlu, karena ulama itu konsep “resmi” agama yang menuntut syarat ketat, dimana tidak semua orang bisa masuk dalam kategori tersebut. Termasuk gelar ustadz yang selevel dengan gelar profesor kalau di Timur Tengah. Tetapi eforia beragama masyarakat kita dalam beberapa dasawarsa terakhir, telah melahirkan sebuah gejala involusi ulama dan ustadz, karena begitu murahnya masyarakat kita menggelari orang dengan sebutan ulama dan ustadz. Sampai-sampai penjual obat dan penjaga restoran cepat saji yang disorbani pun disebut dan dibela sebagai ulama. Karena itulah sekali lagi sertifikasi ulama memang harus dilakukan. Meskipun prosesnya nanti harus diawasi secara ketat jangan sampai justru merugikan ummat Islam sendiri.
Namun kita tidak perlu kuatir karena di samping konsep ulama, kita masih juga punya konsep kiai. Konsep yang sangat berbeda dengan ulama. Karena gelar kiai lebih informal dan lokal, bahkan tidak selalu dikaitkan dengan subjek keagamaan, karena bisa melekat pada hewan dan benda , seperti “kiai Slamet” yang berupa kerbau, dan kiai Pleret yang berwujud tombak. Karena itu kaum syar’i tidak tertarik dan bahkan mengganggap sebutan kiai itu bentuk “kesyirikan” karena dianggap pemujaan. Gelar kiai jauh lebih sulit didapat seseorang dibandingkan gelar ulama atau ustadz yang sedang mengalami involusi tersebut. Karena sebelum dia (subjek atau objek) itu benar-benar diakui masyarakat sebagai kiai, dia harus lebih dahulu “membuktikan kesaktian atau kebermanfaatannya”, untuk ummat manusia (mengabdi dan melayani masyarakat dengan tulus dan ikhlas). Itulah kenapa para kiai tidak butuh sertifikasi.
Kondisi inilah yang menjadikan isu sertifikasi ulama ini sangat ditakuti kelompok ustadz selebriti dan “ulama gimmick” yang selama ini selalu tampil penuh dengan simbol yang ke arab-arab an. Meskipun sekarang tampilan fisik ini sudah mulai diganti dengan ekspresi yang lebih “Jawani” (pakai blangkon dan dekat dengan kalangan keraton) oleh sebagian ustadz muda mereka yang konon dipuji para penggemarnya karena “good looking”. Kelompok ustadz inilah yang merasa disinggung oleh pak Mentri agama yang punya latar belakang militer tersebut. Bahkan kemarin salah satu tokoh ustadz muda dengan cukup cerdas memposting sebuah foto dirinya dengan beberapa ustadz muda (idola kaum hijrah) dalam sebuah mobil mewah. Para penggemar segera memenuhi kolom komentar dengan sebutan para ustadz “good looking” dan juga do’a agar mereka tetap berjuang menegakkan syariat khilafah Islamiyyah. Sebuah simbol perlawan terhadap pernyataan pak Mentri yang sebenarnya juga tidak penting dan malah bikin pusing. Sebab pernyataan ini alih-alih memperbaiki keadaan justru membuat banyak orang muda membalas dengan “kekonyolan”.
Untuk diketahui semua nabi itu Good looking, para habib, ulama dan kiai umumnya juga memiliki wajah dan penampilan yang menarik. Karena inilah potensi dasar dari sebuah daya tarik personal. Para artis ganteng dan cantik akan lebih muda digemari ketimbang yang kurang menarik. Apalagi jika dikemas dalam bungkus penampilan yang serba mewah. Meskipun tetap saja ada artis yang tidak menarik secara fisik memiliki penggemar. Tetapi tetap saja membutuhkan energi yang lebih besar untuk memolesnya agar digemari dan semakin menghipnotis para penggemarnya.
Dalam narasi agama para nabi bukan saja dikenalkan sebagai orang yang baik moral ahlaqnya, tetapi juga sosok yang ganteng dan punya istri yang cantik. Demikian juga para habib dan ulama, ini semacam “rekayasa alam” tentang mencintai keindahan yang memang manusiawi. Tuhan itu Maha Indah dan mencintai keindahan. Nah keindahan yang paling “mudah dikenali” adalah bentuk fisik, baru kemudian attitude, kemudian kemasan dan penampilan. Baca saja bagaimana cerita nabi Yusuf dan Zulaikha, atau kecantikan istri nabi Ibrahim Sarah yang membuat seorang raja terpesona untuk merebutnya dan tentang ayahanda Nabi Muhammad ketika masih perjaka yang membawa Nur Muhammad dalam kitab syiir sholawat, yang membuat para perempuan muda secara terbuka menawarkan dirinya pada Abdullah untuk dinikahi. Begitu menikahi Aminah (ibunda nabi Muhammad), maka lenyapkan aura kegantengan Abdullah, karena menurun pada sosok nabi Muhammad. Beruntung saat ini kita punya ustadz macam Gus Nadhirsyah Husain yang cakep, bayangkan betapa susahnya kita jika anak-anak muda kita banyak belajar pada ustadz good looking yang kaku dan intoleran. Dengan adanya Gus Nadhir, anak-anak muda masih bisa menikmati agama dan mau belajar Islam yang ramah dan menyenangkan. #SeriPaijo
Tawangsari 7 September 2020
No responses yet