Kisah ini berangkat dari hadist yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik RA, bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda :
إن أعمال الأحياء تعرض على عشائرهم وعلى آبائهم من الأموات، فإن كان خيرا حمدوا الله تعالى واستبشروا، وان يروا غير ذلك قالوا اللهم لا تمتهم حتى تهديهم هداية
“Sesungguhnya pahala amal seseorang yang masih hidup (bisa) diberikan kepada keluarga dan orang tua mereka yang sudah meninggal dunia. Jika amal itu berupa amal kebaikan maka orang-orang yang sudah meninggal itu segera memuji kepada Allah seraya bergembira (dengan datangnya amal kebaikan tersebut kepada mereka), dan jika berupa amal yang tidak baik, maka mereka berkata, Ya Allah, janganlah Engkau mematikan (mencabut nyawa) mereka sebelum Engkau memberi mereka petunjuk.”
Diceritakan bahwa Tsabit al-Bannaniy rahimahullah, seorang tabi’in dan ahli haits, beliau memiliki kebiasaan berziarah ke pemakaman muslim di setiap malam Jum’at, disana dia bermunajat kepada Allah hingga datang waktu Subuh.
Di suatu malam, saat sedang bermunajat, dia tertidur dan bermimpi bisa melihat semua ahli kubur (penduduk kubur) keluar dari kubur mereka dengan mengenakan pakaian yang serba indah dan wajah mereka terlihat putih bersih, sungguh ceria. Kemudian mereka diberi hidangan dengan berbagai macam makanan.
Namun, diantara mereka, ada seorang pemuda yang berwajah muram, berambut kusut, pakaiannya lusuh, tampak sangat sedih, kepalanya tertunduk, air matanya mengalir, dan tidak pula mendapatkan hidangan.
Tidak berselang lama kemudian, semua ahli kubur kembali ke kubur mereka masing-masing dengan senang dan gembira, sedangkan pemuda itu kembali dengan kesedihan.
Kemudian Tsabit al-Bannaniy bertanya, “Wahai pemuda, siapa nama kamu? Mengapa mereka mendapatkan hidangan dan kembali dengan gembira, sedangkan engkau tidak mendapatkan hidangan, dan engkau terlihat bingung dan sedih.”
Pemuda itu menjawab, “Wahai pemimpin kaum muslimin, aku terasing dari mereka, karena aku tidak memiliki orang yang mengingatku dan bersedia mengirimkan kepadaku berbagai pahala kebaikan dan untaian doa. Mereka semua mempunyai anak, kerabat dan keluarga yang selalu mengirimkan doa, kebaikan dan sedekah setiap malam Jum’at, padahal engkau tahu, segala kebaikan dan pahala sedekah (shodaqoh lil mayyit) itu sampai kepada mereka.
Disisi lain, aku memiliki seorang ibu yang sangat menyayangiku. Sebelum aku meninggal, kami berdua memiliki rencana untuk menunaikan ibadah haji. Namun, ketika sampai di kota ini, ajalku datang menghampiri, dan ibu menguburku di tempat ini. Setelah itu, ibuku menikah dengan seseorang, sehingga dia melupakanku dan tidak mengirimkan kepadaku untaian doa dan sedekah, setiap waktu dan setiap saat. Sungguh, diriku berada dalam kebingungan.”
Mendengar cerita itu, Tsabit al-Bannaniy berkata, “Wahai pemuda, beritahu aku di mana tempat tinggal ibumu! Aku akan memberinya kabar tantang keadaanmu.”
Pemuda itu menjawab, “Wahai pemimpin kaum muslimin, dia tinggal di suatu tempat (pemuda itu menyebutkan alamat ibunya), coba beritahukan kepadanya, jika ibuku tidak percaya kepadamu, katakanlah bahwa di sakunya terdapat seratus mitsqol perak, warisan dari ayahnku, niscaya ia akan percaya kepadamu.”
Ketika terbangun dari tidur, Tsabit al-Bannaniy mencari alamat yang ditunjukkan si pemuda dan berhasil menemui ibu sang pemuda. Beliau menceritakan perihal anaknya yang sudah meninggal dan seratus mitsqol uang perak yang ada di sakunya. Si ibu pun langsung pingsan mendengar cerita itu.
Setelah sadar, si ibu pemuda menyerahkan seratus mitsqol perak kepada Tsabit sambil berkata, “Aku mewakilkan kepadamu untuk mensedekahkan dirham ini untuk anakku yang sudah meninggal, (shodaqoh lil mayyit)” kemudian Tsabit mengambil dan mensedekahkan dirham itu.
Pada malam Jum’at berikutnya, seperti biasa Tsabit al-Bannaniy berangkat untuk berziarah ke makam saudara-saudaranya. Kemudian ia tertidur dan bermimpi seperti mimpinya minggu lalu. Pemuda itu terlihat mengenakan pakaian yang bagus, wajahnya ceria dan hatinya bahagia. Pemuda tersebut berkata, “Wahai pemimpin kaum muslimin, semoga Allah menyayangimu, sebagaimana engkau menyayangiku.”
NB :
1. Jangan lupa untuk selalu mengirimkan semua kebaikan yang kita lakukan di dunia (apapun bentuk dan wujudnya), sekali lagi “apapun bentuk dan wujudnya” kepada orang-orang terkasih kita yang sudah meninggal. Mengapa? karena mereka menunggu kiriman dari kita yang masih hidup.
2. Ingat ya luurs, apapun bentuk amal kebaikan itu, jangan lupa “transfer” kepada mereka. Jangan kuatir, tidak akan berkurang nilai pahala yang sudah kita lakukan karena diberikan kepada mereka. Tidak ada istilah “pahalanya dibagi” dalam masalah ini.
3. Minimal setiap malam Jum’at, jangan lupakan mereka. Buktikan cinta kita kepada mereka. Bacakan yasin atau surat-surat yang lain di malam itu, kirimkan do’a kepada mereka, beri sedekah kepada yang membutuhkan dengan pahala untuk mereka.
4. Jangan lupakan istilah “shodaqoh lil mayyit” yakni memberikan sedekah yang pahalanya diberikan kepada orang yang sudah meninggal. Jangan kuatir, kita yang mengusahakan sedekah itu juga mendapatkan pahalanya.
5. Dalam kebiasaan kita, sajian berbagai makanan dan minuman maupun bingkisan yang kita berikan selama tujuh hari kematian, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, maupun haul kepada para tamu adalah salah satu bentuk “shodaqoh lil mayyit”.
6. Pada titik inilah sebenarnya, penting bagi kita selagi masih hidup untuk segera menyiapkan “amal jariyah” kita nanti, baik berupa shodaqoh jariyyah, ilmu yang bermanfaat, dan menyiapkan anak (baik anak secara biologis maupun ideologis) yang selalu mendo’akan kita dan mau meneruskan perjuangan kita dalam agama. Murid dalam perspektif ini adalah wujud dari anak ideologis.
7. Sebagai sebuah peringatan, hadits diatas menunjukkan adanya dosa jariyah yang mengintai setiap manusia di alam kubur mereka. Imam al-Ghazali(w. 505 H), dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin, 2/74 menyatakan :
طُوبَى لِمَنْ إِذَا مَاتَ مَاتَتْ مَعَهُ ذُنُوبُهُ وَالْوَيْلُ الطَّوِيلُ لِمَنْ يَمُوتُ وَتَبْقَى ذُنُوبُهُ مِائَةَ سنة ومائتي سَنَةٍ أَوْ أَكْثَرَ يُعَذَّبُ بِهَا فِي قَبْرِهِ ويسئل عنها إلى آخر انقراضها
“Sungguh beruntung orang yang ketika ia mati, maka mati juga dosa-dosanya. Dan sebaliknya, celaka bagi seseorang yang mati namun dosa-dosanya tetap (mengalir) seratus tahun, dua ratus tahun atau lebih, dia disiksa dikuburnya karenanya (dosa yang masih mengalir) dan dimintai pertanggungjawaban tentangnya hingga berakhirnya dosa tersebut”
8. Ingat ya luurs, kita harus waspada terhadap potensi dosa jariyah ketika kita share “hoaks maupun ujaran kebencian”, baik dalam bentuk tulisan, photo atau video di media sosial. Sebaliknya, ingatlah betapa besarnya potensi amal jariyah yang bisa kita ambil melalui medsos.
Referensi :
Al Mawa’idl al “Ushfuriyyah
No responses yet