Kemarin saya membuka paket buku “Shalawat Nariyah: Sejarah dan Khasiatnya” (terbit Desember 2020, 396 halaman), buku terbaru, karya Dr. H. Alvian Iqbal Zahasfan, Lc., MA. (Doktor pada Darul Hadits al-Hasani, Rabat, Maroko). Buku ini saya peroleh melalui wasilah Gus Rijal Mumazziq Z (Rektor INAIFAS, Kencong, Jember).

Sebagaimana judul, buku ini menguraikan secara lengkap, tentang Shalawat Nariyah atau Shalawat Tafrijiyah, serta memberikan bantahan terhadap sekelompok orang yang menolak shalawat ini. Sudah maklum, Salafi-Wahhabi menganggap shalawat ini sebagai bacaan syirik. Masalahnya, biasa, soal tawassul, dan redaksi “ramziyyah” yang ada dalam bacaan Shalawat tersebut.

Bagi saya, shalawat Nariyah/ Tafrijiyah adalah amalan sejak kecil. Ulama-ulama Minangkabau, sedari dulu, menjadikan shalawat ini sebagai wirid, di samping Kitab Dalail Khairat. Sampai saat ini, Shalawat Nariyah adalah amal, yang tak lekang karena panas, tak pula lapuk oleh hujan. Meskipun kampung saya termasuk konsentrasi Wahhabi yang paling eksis di alam Minangkabau ini. Kenapa? Karena Shalawat ini diajarkan oleh ulama silam dengan begitu kokoh, makna dan rasa, menyatu.

Bukan hanya di Darek, bahkan daerah lain. Saya pernah berkunjung beberapa hari ke Bidar Dalam, ratusan KM dari kampung. Saya mendengar kaum ibu, ketika selesai membaca al-Qur’an bersama, mereka melantunkan Shalawat Nariyah dengan irama khas Minang. Di sana, terdapat ulama besar, murid Sayyid Muhammad Amin Ridhwan al-Madani, yaitu Syaikh Muhammad Arif Sampu atau Syaikh Sampu, yang wafat 1960-an dalam usia lebih dari 150 tahun; yang tentunya “min ahlis shalawat”.

Salah seorang ulama besar Minangkabau, al-‘Arif billah Maulana Syaikh Mudo Abdul Qadim Belubus Payakumbuh (1875-1957) telah mengabadikan amal Shalawat ini dalam kitab beliau yang berjudul “Tsabitul Qulub” yang terbit pada tahun 1936, dan hingga sekarang menjadi pegangan kuat surau-surau di Darek. Kitab ini terdiri dari 4 jilid, berisi aurad dan zikir, yang beliau terima dari gurunya yaitu al-‘Arif Billah Maulana Syaikh Abdurrahman al-Khalidi Kumango (w. 1932). Syaikh Abdurrahman mengambil ijazah/ berbagai aurad dari Sayyid Muhammad Amin Ridhwan di kota al-Madinah al-Munawwarah, seorang musnid besar dan Syaikh Dalail serta mursyid Thariqat Sammaniyyah Khalwatiyah di Kota Nabi tersebut. Kitab ini ditulis dalam aksara Arab bahasa Minangkabau. Dicetak berulang-ulang kali, di Payakumbuh, Bukittinggi, Padangpanjang, bahkan pernah dicetak di Tapanuli.

Salah seorang ulama yang mengijazahkan Shalawat ini ialah al-Muammar Syaikh Khatib Ilyas Titian Dalam Gunung Omeh (sekarang berusia lebih dari 95 tahun). Beliau mengambil dari Syaikh Mukhtar Ongku Tanjuang Belubus. Syaikh Mukhtar mengambil dari Syaikh Belubus yang disebutkan di atas.

Shalawat ini diantara wirid penting bagi Syaikh Belubus tersebut. Bahkan, ketika beliau wafat, dibuatkan kubah makam sebagai syi’ar. Pada kain kelambu makam beliau, kain beludru hijau, tertulis Shalawat Nariyah/ Tafrijiyah dengan benang kuning keemasan. Sebagai ingatan bagi murid-murid dan penziarah, yang datang mengunjungi “beliau” hampir setiap saat dari berbagai daerah di tanah air bahkan dari semenanjung Malaya.

Pengamalan shalawat ini, dalam Tsabitul Qulub, ialah membaca dengan bilangan ganjil. Sempurnanya ialah bilangan 4444 kali. Pembacaannya disertai dengan Shalawat Sidi Ahmad Badawi dan do’a. 

Semoga kita mendapat keberkahan dengan amal shalawat ini; tercatat sebagai ahli shalawat. Aamiin.

Dan membaca buku “Shalawat Nariyah”, karya Dr. Alvian, menambah himmah dan semangat, untuk lebih kuat lagi, beramal dengan Shalawat Nariyah ini.

Di Pedalaman Minangkabau

Di negeri para auliya’

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *