Kisah ini bertujuan agar generasi muda kita/kami yang memang banyak mempunyai bakat dan ketekunan dalam berbagai bidang bisa mantap dan tekun serta tidak gampang owah atau goyah, apapun itu bidang yang ditekuni. Demikian juga bagi para pengamal wiridan yang merupakan salah satu kekhasan kami.

Saya baru saja didatangi karib lawas yang berkisah pengalaman lawasnya juga. Saat itu beliau sering mengembara ke beberapa pulau di Indonesia dan menemui beragam keilmuan “mistis” yang rerata dipunyai tiap masyarakat di Indonesia. 

Di Sulawesi beliau pernah menjumpai petani Bugis kaya yang mempunyai kebon jeruk luas. Kebon jeruk itu dipasangi penangkal mistis anti maling, karena kalau dibiarkan akan habis buahnya diambili orang. Penangkal mistis anti maling ini adalah  sejenis ilmu tunggeng dimana bila ada yang mau memetik buah, saat tangan mulai dekat dengan buah, maka kayak ada yang menampik. 

Sang karib lawas ini penasaran, maka mendatangi kebun dan tangannya didekatkan dengan buah. Langsung ada yang menampik, untung sang dia sigap karena saat itu masih muda, maka bisa menghindar. Tidak puas, lalu membaca sholawat sekali dan dalam batin berkata silakan ditampik. Saat dekat dengan buah ternyata  tidak ada yang menampik, tapi buah  tidak  dipetik karena kalau dipetik jadinya mencuri. Dengan sholawat, ilmu tunggeng bisa tidak berfungsi. 

Dalam tradisi kita, banyak doa yang bisa difungsikan untuk sejenis ilmu tunggeng. Kami dapat ijazah dari KH. Hannan Kwagean yang berasal dari KH. Jauhari bahwa bilamana Hizib Bahr dibaca bakda maghrib secara rutin, maka orang yang berniat buruk terhadap rumah atau lahan kita akan melihat laut di mukanya. Tapi saya tidak mengamalkan karena saya kira di rumah tidak ada bertumpuk harta hehehe.

Pernah juga sang karib lawas ini mengembara ke Nusa Tenggara menemui kakaknya yang tinggal di sana. Sang kakak yang sudah lama di situ mengingatkan agar hati-hati agar jangan menyentuh pintu apabila berdekatan dengan rumah adat Le’u Le’u yang disakralkan.

Memang saat itu banyak kejadian termasuk kakaknya yang pernah terlempar gegara memegang pintu rumah adat itu. Bahkan ada serdadu yang tidak percaya dengan hal mistis dan dengan percaya diri membaca doa-doa ajaran ustadnya lalu dia menendang batu kecil di sekitar rumah adat itu. Apa yang terjadi, dia kesurupan.

Sang karib lawas ini penasaran dan memang dasarnya agak mbandel tapi sembodo dengan amalannya. Lalu dengan tiga kali membaca sholawat, pintu dipegang tidak terlempar dengan badan tetap berdiri tegak. Lalu dia bilang kepada tetua suku, “Apa saya tendang pintunya?”

Masih terkait sholawat, di Nusa Tenggara ada tradisi membuat minyak penyembuh  yang yang disebut minyak sandro atau minyak Sumbawa yang terdiri dari sekian puluh ramuan dedaunan dan pepohonan. Uniknya, diantara cara menggorengnya harus pakai tangan dengan api yang membara. 

Iseng, sang karib lawas mendatangi dan bertanya, “Kok tangannya dicelupkan pasti gak panas minyaknya”. Tentu sang empu minyak tersinggung dan berkata, “Ini panas sekali kalau tidak percaya silakan dicoba.’  Sang karib lawas membaca sholawat dan tangannya dicelupkan lalu mengaduk minyak dengan tangan  dan berkata, “Benar tho tidak panas”. Tentu sang pembuat minyak heran dengan anak muda ini yang bisa meniru bagiamana panas minyak bisa menjadi dingin.

Sang karib lawas juga bilang bahwa sholawat juga bisa menatas kekebalan. Seperti di suatu pulau ada tarian dimana para turis memegang tombak dan menusukkan ke perutnya penari. Itu kalau ditatas bisa, tapi akibatnya nanti bisa luka dan mati, maka tidak dia lakukan.

Alhamdulillah para sesepuh kita masih nguri-nguri tradisi menjaga sholawat ini yang memang faedahnya banyak sekali. Saya punya guru sekaligus kiai kampung usia 85 tahun yang  memberi saya ijazah sholawat agar dibaca 12 ribu kali tiap hari. Waktu itu saya kaget, kok sebanyak itu, belum kuat. Langsung sang kiai bilang bisa dibagi dengan keluarga atau murid. 

Dasar saya ini model arek agak mbeling, saya bertanya, kalau Panjenengan bagimana mengamalkannya. Dengan halus dan sabar beliau menjawab bahwa selesai subuh bisa menuntaskan sampai sekitar pukul  8 tiap hari. Alhamdulillah beliau hidupnya tenang di usia sepuh hingga saat ini.

Tentu banyak konco-konco ngopi di gubuk yang saya tahu baik dengan mata kepala sendiri atau berdasar intuisi saya yang juga pengamal wiridan, sebut saja Gus Gembong Pagar Nusa, Gus Pelapak Sholawatt, Raden Bagus Padepokan Jabalahad, Mbah Bisri Choiron, Mbah Gampil Yasir Yasir, Mbah Ban, Mbah Ami dll anggota jamaah fesbukiyyah ataupun yang tidak punya FB.  

Kalau kita mendengar lelakon mereka, tentu kita bersyukur. Mereka Istiqomah semisal  membaca sholawat tiap hari ribuan kali, atau yang Istiqomah ratiban atau manaqiban  plus doa hizib yang  sekian jam membacanya. Atau ada kawan yang puluhan tahun saya kenal dan selama saya temui jarang makan, ternyata puasa, dan kalau ketemu saya waktu malam atau dolan ke gubuk saya, ternyata ngrowot.  Atau juga ada yang topo mbisu kalau jagongan dengan kami ya hanya sekian jam duduk tanpa bicara hanya suara wiridan pelan. Jadi jagongan sekian jam dalam kondisi santai hanya membisu tidak omong. Ada juga pengamal asror yang dulu bergurunya di Tegal Gubuk sekitar tahun 1985 an yang lelakonnya berat.

Dan ingat, kehidupan ekonomi mereka ya kayak kita, ada yang sangat lemah tapi santai, ada juga yang sedang dan ada yang kaya,  malah ada yang punya beberapa rumah besar dan kapal ikan. Mari jaga tradisi amalan para kiai kita..lahumul Fatihah.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *