Tangerang Selatan, jaringansantri.com – Perdebatan istilah Islam Nusantara yang berkembang dipenuhi dengan perdebatan semantik. Berbeda dengan diskursus yang terjadi di lingkungan akademik. Pertanyaan yang muncul adalah apakah konsep Islam Nusantara ini memiliki signifikansi teoritis? Apakah Memiliki landasan teori yang kuat?

Hal ini dibahas oleh Dr. Syafiq Hasyim Ph.D dalam diskusi buku karyanya berjudul “Islam Nusantara dalam Konteks Multikulturalisme dan Radikalisme” di Islam Nusantara Center (INC). Jum’at, (09/03).

Dosen FISIP UIN Jakarta ini mengatakan “buku saya ini lahir untuk menjawab keresahan akademik. Bukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan awam tentang Islam Nusantara.”

Islam Nusantara sebagai konsep akan diuji dengan pertanyaan-pertanyaan akademis. Apakah “barang baru” ini bisa laku dan bertahan serta bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. “Ketika konsep itu muncul agar kemunculan konsep itu tidak dianggap sebagai hal yang bersifat reaktif dan hal yang tidak berguna,” kata Syafiq.

“Reaktif dalam arti didorong oleh persoalan-persoalan seperti kepentingan politik atau persoalan lain, yaitu persoalan identitas dan lain sebagainya,” imbuhnya.

“Karena ketika wacana Islam Nusantara ini digulirkan, responnya sangat beragam. Sebagaimana kita ketahui pada muktamar NU di Jombang, ada yang menduga konsep ini dimunculkan sebagai alat politik salah satu calon ketua PBNU,” tambahnya.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul, apakah kita membutuhkan konsep baru, identitas baru, framing baru untuk perjuangan yang selama ini dilakukan NU. Baik dalam konteks yang terkait konteks isu politik, ekonomi maupun persoalan-persoalan keagamaan.

Syafiq Hasyim yang juga menjabat sebagai wakil ketua LPTNU ini menjelaskan bahwa kritik para akademisi mengatakan bahwa Islam Nusantara tidak memiliki jejak teoritis. “Atas dasar inilah buku saya hadir,” tandasnya.

Di dalam bukunya ia menjawab  bahwa Islam Nusantara memiliki signifikansi teoritis. Untuk menguatkan itu, ia menghadap-hadapkan Islam Nusantara dengan setiap permasalahan-permasalahan modern. Bertaruh seberapa dewasa Islam Nusantara menjawab persoalan baru. Seperti persoalan budaya, lingkungan, radikalisme, dll.

“Persoalan-persoalan baru tersebut, menjadi tantangan konsep Islam Nusantara untuk menjawabnya. Ini akan membuat Islam Nusantara menjadi konsep atau teori yang lebih kuat,” pungkasnya.

Sementara itu, Zainul Milal Bizawie sebagai pembanding menilai buku karya Syafiq Hasyim ini penting. “Buku ini mengajak untuk menemukan identitas Islam Nusantara itu seperti apa. Harus dijelaskan secara ilmiah agar dapat menjadi konsumsi ilmuan Islam secara lebih luas,” ujarnya.

“Inilah yang harus dilakukan untuk membawa Islam Nusantara sebagai identitas kuat. Tidak hanya menjadi komunitas, tapi juga bisa masuk dalam ranah diskursus ilmiah,” kata sejarawan yang akrab disapa Gus Milal ini.

Tulisan dalam buku ini, lanjut Gus Milal, memberi tantangan pada para cendekiawan NU penggiat Islam Nusantara. Apalagi di dalamnya sudah jelas memberikan posisi Islam Nusantara sebagai identitas dan teori. Sehingga dapat dikembangkan menjadi bagian dari strategi perjuangan NU.

“Islam Nusantara adalah sebuah strategi perjuangan, maka harus diperjuangkan terus menerus,” pungkas penulis buku Masterpiece Islam Nusantara ini.(Zainal Abidin/Damar).