Syaikh Yusuf al-Makasari menjadi salah satu tokoh penting pada abad ke-17 M dalam menghubungkan mata rantai keilmuan ulama Nusantara dengan ulama Haramain dan negeri Timur Tengah, serta menjadi salah satu ulama Nusantara perintis dalam mendapatkan posisi pengajaran di Masjidil Haram.

Syaikh Yusuf al-Makasari dilahirkan pada 8 syawal 1036 H bertepatan pada 3 Juli 1626 M. Ayahnya bernama Abdullah dan ibunya adalah Putri Gallarang Moncongloe yang bernama Aminah. Disebut al-Makasari karena ia berasal dari Makasar, salah satu kota besar yang terdapat di pulau Sulawesi Selatan Indonesia.

Sejak usia 3-4 tahun Yusuf al-Makasari telah mulai belajar al-Qur’an kepada seorang guru bernama Daeng Ri Tasammang. Kemudian pada usia 8-9 tahun ia belajar kepada Syaikh Sayyid Ba Alawi as-Segaf di Bontoala Makasar; seorang ulama besar dari Haramain yang berdakwah di Makasar sejak tahun 1625 M. dia tercatat sebagai orang yang pertama mendirikan pendidikan agama Islam di Bontoala pada tahun 1635 M. Kepadanya ia belajar dasar-dasar agama yang meliputi ilmu fikih, tauhid, tasawuf, nahwu, sharaf, mantiq, dan lainnya.

Pengembaraan Mencari Ilmu ke Jazirah Arabia

Pada usia 18 tahun tepatnya tanggal 22 September 1644 M, Yusuf al-Makasari meninggalkan Gowa menuju Makkah. Dengan menunpang kapal Melayu, ia menuju Banten , sebagaimana jalur niaga pada saat itu di Laut Jawa. Dari Banten Yusuf alMakasari melanjutkan perjalanannya menuju Aceh yang saat itu terkenal sebagai kerajaan Besar Islam dan pelabuhan internasional yang menghubungkan Nusantara dengan Makkah dan Timur Tengah.

Yusuf al-Makasari tiba di Aceh pada masa pemerintahan Sultanah Tajul Alam Shafiyatudin Syah (1641-1675 M). Selama kurang lebih lima tahun berada di Banten dan Aceh, ia berkesempatan bertemu dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniry; seorang ulama besar dari Ranir India yang datang ke Aceh pada 1637 M, yang kemudian berkedudukan sebagai mufti kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Tsani dan terus berlanjut hingga masa Sultanah Shafiyatuddin Syah. Tetapi pada tahun 1644 M, ia kembali ke India dan tidak pernah kembali lagi ke Aceh.

Namun menurut Azra, pertemuan antara Yusuf al-Makasari dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniry terjadi saat ar-Raniry telah kembali ke India. Dan disinilah ia menerima ijazah Tarekat Qadiriyah dari ar-Raniry serta berkesempatan bertemu dan belajar kepada gurunya ar-Raniry yang bernama Syaikh Umar bin Abdullah bin Syaiban. Silsilah Tarekat Qadiriyah ini kemudian ia tuangkan dalam karya Safinah al-Nazah.

Selanjutnya dari India Syaikh Yusuf al-Makasari menuju Yaman dan Zabid. Di sana ia banyak belajar kepada para ulama besar negeri itu seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Baqi al-Mizjaji al-Naqsyabandy. Dari Syaikh ini, Yusuf al-Makasari menerima ijazah Tarekat Naqsyabandiyah, yang kemudian ia tulis juga di kitabnya Safinah al-Nazah.

Ia juga berguru kepada Syaikh Sayyid Imam Abdullah bin Alawi bin Ahmad al-Muhajir al-Haddad al-Husaini al-Yamani (1634-1720 M), seorang ulama pembaharu Islam pada abad ke-17 M yang tinggal di Tarim Hadramaut. Imam al-Haddad inilah yang telah memberi pengaruh besar kepada Yusuf al-Makasari. Bahkan menurut Habib Umar bin Hafidz, Syaikh Yusuf lah yang telah mengenalkan karyakarya dan ajaran-ajaran Imam al-Haddad seperti Zikir pagi dan petang yang dikenal dengan Ratib al-Haddad.

Setelah menimba ilmu di negeri Yaman, Syaikh Yusuf melanjutkan perjalanannya menuju Haramain; Makkah dan Madinah untuk melaksanakan ibadah haji serta menimba ilmu kepada para ulama Haramain seperti Syaikh Muhammad Muraz al-Syami, Syaikh Hasan bin Ali bin Yahya al-Ujaimi, dan Syaikh Ibrahim al-Kurani. Di bawah bimbingan Syaikh Ibrahim al-Kurani ini ia mempelajari filsafat, kalam, dan tasawuf. Di catat pula oleh Syaikh Yusuf dalam kitabnya Safinah al-Nazah bahwa ia mendapatkan ijazah Tarekat Syattariyah dari gurunya Syaikh Ibrahim al-Kurani.

Meski telah banyak belajar kepada para ulama di Aceh, Yaman dan Haramain, Syaikh Yusuf tetap merasa perlu untuk melanjutkan perjalanan menuju Damaskus. Dan berguru kepada Syaikh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad al-Damasyqi (158-1661 M), seorang ulama bermazhab Hanafi dan Mursyid Tarekat Khalwatiyah. Dari Syaikh Ayyub inilah, ia mendapat ijazah Tarekat Khalwatiyah hingga dirinya disebut Abu al Mahasin Taj al-Khalwati. Silsilah ini juga ia catat dalam kitabnya Safinah al-Nazah. Selain ijazah tarekat tersebut (Ginanjar, 2017), Syaikh Yusuf juga mendapat ijazah dan silsilah tarekat lainnya seperti Dasuqiyah, Syadzilliyah, Rifaiyah. Idrusiyah, Ahmadiyah, Suhrawardiyah, Mulawiyah, Kubrawiyah, Naqsyabandiyah dan ijazah Tarekat al-A’rabiyyah yang dinisbatkan kepada Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi.

Setelah kurang lebih 20 (dua puluh) tahun perjalanan mencari ilmu dari satu guru ke guru lainya dan dari satu negara ke negara, diyakini telah mendapat banyak ilmu dan menguasai berbagai disiplin ilmu seperti syariat, akidah, tasawuf, dan lainnya dari ulama Timur Tengah dan Haramain, Syaikh Yusuf ditunjuk untuk mengajar di Masjidil Haram, sehingga banyak jamaah haji dari Nusantara memanfaatkan ilmunya untuk belajar agama dan untuk belajar bahasa arab agar bisa belajar kepada ulama Haramain lainnya. Di antara muridnya di Makkah adalah Syaikh Abdul Basyir al-Dlarir dari Rappang, Sulawesi Selatan, yang kemudian hari bertanggungjawab sebagai Khalifah Tarekat Naqsyabandiyah dan Khalwatiyah di Sulawesi Selatan.

Dakwah bil Kitabah (Karya Tulis)

Pada usia ke-38 tahun tepatnya pada tahun 1664 M, Syaikh Yusuf kembali ke Nusantara untuk berdakwah dan mengajarkan Islam kepada masyarakat. Ketinggian ilmunya telah menjadikan dirinya terpandang di mata masyarakat, bahkan ia diangkat untuk menjadi penasehat dan mufti pada Kerajaan Islam Banten pada masa Sultan Ageng Tirtayasa. Kehidupannya yang dipenuhi dengan dakwah, jihad dan pengasingan mulai dari Batavia, Srilangka, hingga Cape Town Afrika Selatan tidak serta merta menghentikan dirinya untuk berdakwah. Justru pada kondisi tersebut, ia alihkan dari dakwah fisik kepada dakwah kitabah (intelektual). Dan sebagai hasilnya, ia banyak menuliskan karyakarya yang bermanfaat ketika berada di tempat-tempat pengasingan. Tercatat lebih dari 30 (tiga puluh) kitab yang ditulis oleh Syaikh Yusuf dalam berbagai disiplin ilmu.

Karya yang ditulis Syaikh Yusuf al-Makasari selama di pengasingan baik ketika di Srilangka maupun di Cape Town menjadi salah satu sebab tersebarnya Islam di dua Negara (Indonesia dan Afrika Selatan) tersebut. Bahkan sampai sekarang, Syaikh Yusuf selalu dikenang di Cape Town sebagai dai penyebar Islam dan makamnya yang berada di sana sering dikunjungi oleh umat Islam dari berbagai Negara. Perjalanan intelektual dan spiritual yang dilakukan Syaikh Yusuf al-Makasari dan satu tempat ke tempat lainnya di Timur Tengah dan Haramain, hingga berhasil memperoleh banyak ilmu dan menguasai berbagai disiplin bidang keilmuan seperti fikih, ushul, hadis, ilmu hadis, tafsir, bahasa arab, nahwu, sharaf, mantiq, sirah, tasawuf dan ilmu lainnya bahkan bisa mendapatkan kedudukan keilmuan yang tinggi untuk mengajar di Haramain, memberi dorongan yang kuat kepada para murid-muridnya di Nusantara guna melakukan perjalanan keilmuan ke Timur Tengah dan Haramain pada masa-masa berikutnya.

Buku “99 Tokoh Muda Inspiratif NU” hlm. 2

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *