-
Dokumentasi Ulama Nusantara di Biografi Ahli Qiro’at Dunia
Pada malam Idul Fitri , kami kembali menemukan nama ulama Nusantara yang mendunia lewat karyanya, yakni Syaikh Mahfudz bin Abdullah bin Abdul Mannan Dipomenggolo at-Tarmasi (1868-1920). Namanya masuk dalam Tarajim Qurro’ (Biografi Ahli Qiro’at) Abad ke-14 Hijriyah dalam kitab berjudul
تاريخ القراءات والقراء: وجهودهم في القراءة والتاليف في القراءات وعلومها منذ العهد النبوي وحتى اليوم
Kitab ini merupakan karya Dr. Mahmud Ahmad Said Al-Atrasy yang dicetakan oleh Penerbit Darul Iman, Iskandariyah, Mesir. Kitab tersebut merupakan koleksi dari H. Muhammad Agus Salim, Lc, MA. Pengasuh Pondok Pesantren Ihsan Wat-Taqwa, Kebumen, Jawa Tengah.
Di dalam kitab setebal 352 halaman tersebut, Syekh Mahfudz disebutkan sebagai ulama di Negeri Hijaz yang bermukim di Makkah al-Mukarromah. Beliau (Syekh Mahfudz) mengajarkan ilmu Al-Qiro’at menghasilkan karya tentang Qiro’at Imam Ibnu Kastir, Imam Nafi, Imam Abu Amr, Imam Hamzah kemudian juga menyusun kitab yang membahas tentang Qiro’at Asyr (Bacaan Imam Sepuluh).
Sebelumnya, saat berkunjung ke Kantor Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama di kompleks Taman Mini Indonesia, Jakarta Timur beberapa waktu silam, kami juga mendapati nama Syekh Mahfudz juga tercatat dalam sebuah kitab berjudul
إمتاع الفضلاء بتراجم القراء فيما بعد القرن الثامن الهجري
Kitab ini disusun oleh Syekh Ilyas bin Ahmad Husin Al-Barmawi (Lahir 1386 H /1967 M), seorang ulama berdarah Birma (Myanmar). Bersama ratusan Ulama Ahli Qiro’at lainnya, nama Syekh Mahfudz tercantum dalam kitab 4 jilid tersebut yang didalamnya memuat kisah singkat perjalanan hidup, rihlah ilmiyah, guru, murid, karya dan kewafatannya.
Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad (Lahir 1956 Masehi) Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Qur’an, Arjowinangun, Cirebon juga masuk dalam jajaran deretan nama-nama ulama dalam kitab yang memuat profil Ahli Qiro’at dari Abad ke-8 hijriyah tersebut. Selain dikenal sebagai kawan dari Syekh Ilyas al-Barmawi, beliau juga tergolong produktif menulis dalam kajian ilmu Qiro’at. Manba’ul Barokat fi Sab’i al-Qiro’at adalah salah satu karyanya yang masih banyak menjadi pegangan mereka yang mendalami bacaan Al-Qur’an riwayat tujuh Imam ini.
Menurut Kyai Agus Salim, sampai sekarang Kitab GhunyahThalabah karya Syekh Mahfudz yang memuat penjelasan (syarh) Thayyibatin Nasyr fil Qira’at Asyr karya Imam Abu al-Khair Muhammad bin Muhammad al-Dimasyqi yang lebih dikenal dengan Ibn al-Jazari (751-833 H) masih menjadi materi diktat kuliah di Kulliyatul Qur’an wal Qira’at Universitas Al-Azhar, Mesir. Insyirah al-Fu`ad fi Qira`ati al-Imam Hamzah Riwayati Khalaf wa Khallad, Al-Badru al-Munir fi Qira`ati al-Imam Ibnu Katsir, Ta’mimu al-Manafi’ bi Qira`ati al-Imam Nafi, Tanwiru ash-Shadr fi Qira`ati al-Imam Abi ‘Amr adalah karya yang membuatnya Syekh Mahfudz layak masuk jajaran al-Muqri’ (Ahli Qiro’at) dunia.
Kisah kegemilangan Syekh Mahfudz yang karyanya dicetak di Al-Azhar, mungkin adalah juga hasil riyadhoh ilmiah kakeknya, Kyai Abdul Mannan Dipomenggolo, yang merintis riwaq al-Jawi di Al-Azhar sebelum muncul gerakan pembaharuan. Dikutip dari Jejaring Ulama Diponegoro karya Zainul Bizawie dikisahkan bahwa Kyai Abdul Mannan pernah berguru langsung dengan Syekh Ibrahim Bajuri (Syaikhul Azhar 1847-1860, penulis kitab Hasyiyah Bajuri dan Fathul Mubin syarah Ummu Barahin).
Melalui peran Kyai Abdul Mannan kitab-kitab Syekh Bajuri diajarkan di pesantren-pesantren Indonesia. Kitab Ithaf Saadatul Muttaqin karya Syekh Az-Zabidi yang mengomentari atau syarah dari Ihya Ulumuddin, masterpiece karya Imam Abu Hamid al-Ghazali dibawa pertama kali ke Indonesia. Benarlah kata pepatah buah tak jatuh dari pohonnya. Kealiman Syekh Mahfudz adalah selain karena usaha dan doa beliau, juga ditopang dari tirakat para pendahulunya.
Selain Ghunyah Thalabah, karya ulama nusantara lainnya yang juga dikaji di Al-Azhar adalah Kitab Sirojut Thalibin karya Syekh Ihsan bin Dahlan Jampes, (w. 1952). Syarah Kitab Minhajul Abidin karya Hujjatul Abu Hamid al-Ghazali yang disusun oleh kakak kandung KH. Marzuqi Dahlan Lirboyo. ini menjadi salah satu rujukan utama di kampus islam terbaik dunia tersebut. Dalam Catatan A. Ginanjar Sya’ban di dalam kolofon kitab tersebut didapati keterangan jika karya agung ini diselesaikan di Kampung Jampes, Kediri, pada siang hari Selasa, 29 Sya’ban tahun 1351 Hijri. Data ini bertepatan dengan 28 Desember 1932 Masehi.
Pada tahun 2018 silam Faidh al-Barokat fi Sab’i Al-Qiro’at karya al-Muqri’ KH. Arwani Amin, Kudus juga lolos diajukan menjadi judul tesis oleh H. Muhammad Agus Salim, Lc, MA di Universitas Al-Azhar Mesir. Kitab yang ditulis saat Kyai Arwani belajar kepada Al-Muqri’ KH. Munawwir bin Abdullah Rosyad pada medio tahun 1930-1941 ini juga beberapa kali mendapatkan apresiasi dari beberapa ulama Timur Tengah. Mereka pun sempat bertanya-tanya, siapa itu Kyai Arwani, siapa gurunya, dan berapa lama tinggal di Timur Tengah? Kabarnya Faidh al- Barokat sudah mendapatkan penawaran untuk diterbitkan oleh beberapa percetakan terkemuka di Mesir.
Guru Ilmu Qiro’at, Syekh Mahfudz yang masyhur adalah Syeikh Ahmad al-Minsyawi (ahli Qira’at asal Iqrit, Palestina) dan Syeikh Muhammad as-Syarbini ad-Dimyathi (Ahli Qira’at asal Mesir). Dalam Risalah At-Tabsyir fi Sanadi at-Taisir karya Abuya Muhammad Dimyathi Amin, Pandeglang, Banten disebutkan bahwa beliau menerima sanad dari gurunya KH. Nahrowi Dalhar dari Syekh Mahfudz at-Tarmasi dari Syekh Syarbini ad-Dimyathi. Syekh Syarbini juga termasuk menjadi guru dari ulama nusantara lain seperti Tubagus KH. Ma’mun Serang Banten dan KH. Munawwir Krapyak, Jogjakarta. Namun KH. Munawwir menisbatkan sanad qiro’atnya ulama dari Provinsi Dimyath, Mesir lainnya Syekh Yusuf Husain Abu Hajar Ad-Dimyathi.
Dalam Risalah At-Tabsyir fi Sanadi at-Taisir karya Abuya Muhammad Dimyathi Amin, Pandeglang, Banten disebutkan bahwa beliau menerima sanad dari gurunya KH. Nahrowi Dalhar dari Syekh Mahfudz at-Tarmasi dari Syekh Syarbini ad-Dimyathi. Syekh Syarbini juga termasuk menjadi guru dari ulama nusantara lain seperti Tubagus KH. Ma’mun Serang Banten dan KH. Munawwir Krapyak, Jogjakarta. Namun KH. Munawwir menisbatkan sanad qiro’atnya ulama dari Provinsi Dimyath, Mesir lainnya Syekh Yusuf Husain Abu Hajar Ad-Dimyathi.
Saat kami menemukan sanad Qiro’at Syaikh Mahfudz lain di dokumen milik Kyai Mustamir, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta didapatkan keterangan bahwa KH. Muhammad Sulaiman (seperguruan dengan KH. Umar Abdul Mannan di Krapyak) pernah bertalaqqi kepada KH. Dimyati Abdullah, yang sanadnya bersambung dengan kakaknya yakni Syekh Mahfudz Tremas yang dikatakan berguru kepada Syaikh Amin bin Ridhwan al-Madani. Namun saat membuka Kifayatul Mustafid tertulis bahwa Syekh Mahfudz belajar kepada Syekh Amin kitab Dalail Khairat, al-Burdah, al-Muwattha’ dan lain-lain.
Di Indonesia, Syekh Mahfudz yang dilahirkan di Desa Termas Kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan, Propinsi Jawa Timur pada 12 Jumadil Al Ula 1285 H bertepatan 31 Agustus 1868 M. (Dalam Kitab Imta’ Fudhola yang merujuk kepada Kifayatul Mustafid beliau lahir di Tremas Solo. Pernyataan ini perlu dimaklumi karena Syekh Mahfudz pada zaman penjajahan Belanda yang memberlakukan sistem karesidenan dimana Pacitan saat itu masuk Kerasidenan Solo). Beliau ini lebih banyak dikenal sebagai Ahli Hadist.
Hal diatas dikarenakan sanad beliau banyak tersebar di Indonesia salah satunya lewat peran Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari. Jika diriwayatkan melalui jalur Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha (Pengarang I’anatut Thalibin) guru Syekh Mahfudz di Haramain, maka mata rantainya sanadnya dengan sang penyusun Shohih Bukhari, Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari, beliau berada diurutan ke- 20. Adapun jika melalui jalur Sayyid Husain bin Muhammad bin Husain al-Habsyi, maka mata rantainya lebih dekat lagi yaitu berada diurutan ke- 15. (Infografis Sanad Syekh Mahfudz bisa disimak di album foto).
Dikutip dari laman nuonline, Kedekatan Syekh Mahfudz dengan muridnya, KH Hasyim Asy’ari sebagai seorang murid ternyata sangat unik. Sebagai ungkapan rasa sayang pada muridnya, Syekh Mahfudz lantas mewariskan kitab pribadinya sebagai kenang-kenangan kepada KH Hasyim Asy’ari. Di antara pemberian Syekh Mahfudz kepada KH Hasyim Asy’ari yaitu berupa kitab berjudul Hasyiyah al-Futuhat al-Ilahiyah ‘ala al-Jalalayn karya Syekh Sulaiman bin Umar bin Manshur al Ajily
Pada halaman akhir kitab itu terdapat goresan tangan indah dan ungkapan doa Syekh Mahfudz saat mengkhatamkan kitab tafsir tersebut dibawah bimbingan gurunya, Sayyid Abi Bakar Syatha Makkah, Pengarang Kitab I’anah Tholibin pada tahun 1306 H atau 1889 M. Kitab tersebut ditemukan di antara koleksi kitab milik KH Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
Manhaj Dzawi an-Nazhar fi Syarhi Manzhumati ‘ilmi al-Atsar adalah salah satu masterpiece lain karya cucu Kyai Abdul Mannan Dipomenggolo, Perintis Pesantren Tremas, Pacitan yang didirikan pada tahun 1820. Dalam Ensiklopedi Penulis Pesantren disebutkan bahwa, Manhaj Dzawi Nadzar yang merupakan syarah terhadap Kitab Manzumat ‘Ilm Al Athar yang dikarang oleh Imam As-Suyuti dalam bentuk syair yang hampir berisi 1000 bait. Kitab yang berisikan ilmu-ilmu tentang hadist ini ditulis dalam waktu 4 bulan 14 hari. Karya besar ini beliau selesaikan di Makkah pada hari Jumat tanggal 14 Rabiul Awwal 1329 H bertepatan 1911 M. Kitab sudah dicetak dan disebarluaskan di Mesir sebelum tahun 1919 M.
Sanad kitab-kitab (tsabat) yang dikaji Syekh Mahfudz juga diabadikan di kitabnya Kifayatu al-Mustafid fima ‘Alaa min al-Asanid. Kitab telah ditahqiq oleh ulama berdarah Indonesia lainnya seperti Syekh Muhammad Yasin bin Isa Al-Fadani, ulama besar keturunan Padang, Sumatera Barat yang dikenal sebagai Musnid ad-Dunya. Dari berbagai disiplin keilmuan seperti tafsir, hadist, fiqh, tasawuf, alat, dan lain-lain termaktub dalam kitab Kifayatul Mustafid yang sanadnya sudah banyak beredar luas di dunia ini.
Bukan hanya dikenal sebagai al-Muqri’ (Ahli Qira’at) dan Muhaddits (Ahli Hadist) beliau juga dikenal sebagai al-Faqih (Ahli Fiqh) dan al-Ushulli (Ushul Fiqh) lewat karyanya Is’aful Mathali’ bi syarhi al-Badru al-Lami’ Nazhmu Jam’u al-Jawami, Nail al-Ma`mul bi Hasyiyati Ghayatu al-Wushul fi ‘ilmi al-Ushul dan Hasyiyah at-Tarmasi. Melihat dari kecerdasan luar biasa ini gelar Al-Mutabahhir (Ilmunya Bak Samudera) dan Al-Mutafannin (Ahli Berbagai Disiplin Keilmuan).
Semenjak usia muda, Syekh Mahfuzh telah dikirim ke Makkah untuk melanjutkan pendidikannya pada ulama terkemuka Mazhab Syafi’i di sana, antara lain Sayyid Bakri (Abu Bakar bin Muhammad al-Syatha ad-Dimyathi). Sayyid Bakri juga merupakan anak dari guru kakeknya Syekh Mahfuzh pada waktu silam di Makkah. Syekh Mahfuzh juga belajar pada kolega Sayyid Bakri, yakni Syekh Muhammad Sa’id Ba Bashil (yang merupakan pengganti Ahmad bin Zaini Dahlan selaku mufti Mazhab Syafi’i di Makkah). Beliau juga menimba ilmu dari ulama Al-Azhar, Kairo, Syekh Ibrahim Bajuri yang wafat 1277 H/1860 M. (Republika.com)
Selain itu, Syekh Mahfuzh juga menimba ilmu pada sejumlah ulama asal Indonesia yang bermukim di Makkah dan mengajar di Masjidil Haram. Mereka antara lain Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Abdul Ghani al-Bimawi, dan Syekh Muhammad Zainuddin al-Sumbawi. Sebelum pergi Tanah Suci, Syekh Mahfuzh belajar agama kepada ayahnya sendiri, Kiai Abdullah, dan Kiai Saleh Darat Semarang, Jawa Tengah.
Adapun karya Syekh Mahfuzh lainnya adalah Nayl al-Ma’mul, yang membahas soal ushul fikih. Karya itu terdiri atas dua jilid dan isinya banyak mengomentari karya Syaikhul Islam Zakaria Ansari, Lubb al-usul. Dalam berbagai koleksi tim Sanad Qiro’at Nusantara mayoritas masyayikh kita termasuk Syekh Mahfudz, sanad Al-Qur’annya bersambung kepada pengarang Fathul Wahhab ini. Selain itu, Syekh Mahfuzh juga menulis kitab Is`af al-Mutali`, yang berisi analisis beliau atas karya Imam Taqiyuddin as-Subki, Jam`ul Jawami.
Syaikh Mahfudz at-Tarmasi berpulang ke Rahmatullah pada tahun 1 Rajab 1338 H bertepatan pada 20 Mei 1920 dan dikebumikan di Ma’la, Makkah Al-Mukarramah. Samsul Munir Amin dalam Karomah Para Kyai, memaparkan bahwa saat Syekh Mahfudz wafat ribuan orang menshalatkan dan menghantarkannya jenazahnya ke kompleks pemakaman mendapatkan kemuliaan untuk dimakamkan Sayyid Abu Bakar Syatha. Dikisahkan bahwa saat itu Syekh Mahfudz berjalan diatas kepala para pelayat yang membanjir itu. Syekh Mahfudz mendapatkan kemuliaan bisa dikebumikan di pemakaman para sahabat Rasulullah SAW, auliya’ dan ulama’ karena kedekatannya dengan gurunya, Syekh Abu Bakar Syatha, yang karyanya juga banyak dikaji di berbagai pesantren di Indonesia.
Sampai saat ini, karya-karya beliau masih terus dinikmati oleh kaum muslimin di penjuru dunia hingga saat ini. Keturunannya juga terus berjuang dalam mensyiarkan Islam, seperti yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Bustanul Usyaqil Qur’an (BUQ), Betengan, Demak, Jawa Tengah. Pesantren yang berlokasi tak jauh dari Makam Sunan Kalijogo ini didirikan oleh putra bungsu Syekh Mahfudz, yakni KH. Muhammad yang atas wasiat ayahandanya pulang ke tanah air bersama gurunya KH. Munawwir Krapyak. Saat pesantren yang telah berusia 84 tahun ini diasuh cicit Syekh Mahfudz yakni, KH. Muhammad bin Harir bin Muhammad bin Mahfudz.
Murid-murid Syekh Mahfudz juga berperan penting dalam keberlangsungan transmisi keilmuannya sampai sekarang. Diantaranya santri beliau yang masyhur adalah Tubagus Ahmad Bakri as-Sampuri Purwakarta, Syekh Muhammad Mukhtar bin Atharid al-Bughuri, Bogor, Syekh Ali al-Banjari, KH. Muhammad Dimyathi at-Tarmasi, KH. Dahlan at-Tarmasi (keduanya adalah adik kandungnya), Syekh Umar Bajunaid al-Hadhrami, Syekh Muhammad Habib asy-Syinqithi, Syekh Muhammad Baqir al-Jawi, KH. Muhammad Baqir Jogja, KH. Hasyim Asy’ari, Syekh Umar bin Hamdan al-Mahrasi, Syekh Ahmad Makhlalati asy-Syami, Syekh Ihsan al-Jampasi, KH. Abdul Muhith Panji Sidoarjo, KH. Baidhawi Lasem, KH. Ma’shum Lasem, KH. Shiddiq Lasem Jember, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Kholil Lasem, KH. Nahrowi Dalhar, KH. Faqih Maskumambang dan lain-lain. Dari jaringan murid-muridnya tersebut, juga terus lahir ulama’ dan pejuang Islam Ahlussunnah wal Jama’ah lewat keturunan dan santri-santri mereka yang bertebaran di penjuru dunia.
Harapan ke depan akan lahir kembali ulama-ulama dari Indonesia yang meramaikan jagad intelektual dunia. Meski sebagai negara ‘ajamy (non-arab), namun ulama’ karya Indonesia telah lama diperhitungkan di percaturan keilmuan dunia. Sosok ulama kontemporer seperti Dr. KH. Afifuddin Dimyati dari Rejoso, Peterongan, Jombang dengan karyanya Asy-Syami fi Balaghatil Qur’an dan Jam’ul Abiir fi Kutubi Tafsir yang sampai dicetak di Mesir, bisa menjadi salah satu sinyal positif akan kebangkitan ulama penulis Nusantara.
Semoga Bermanfaat
Kebumen, 1 Syawal 1441 H
No responses yet