Salah satu isu kontroversial terkait dengan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) adalah mengenai tafsir terhadap frasa “Ketuhanan Yang Berkebudayaan”. Salah satu tokoh yang bersuara lantang menolak HIP adalah Habib Rizieq, dengan alasan RUU tersebut mengganti Ketuhanan “Yang Maha Esa” dengan “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” sebagaimana dinyatakan dalam suatu seminar daring: “jadi bukan lagi ketuhanan yang Maha Esa, tapi ketuhanan yang berkebudayaan. Menurut saya ini merupakan pelecehan terhadap agama dan nilai-nilai luhur Ketuhanan yang Maha Esa, yang selama ini dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia. Dari pernyataan tersebut jelas telihat Habib Rizieq menafsirkan “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” sebagai antitesa atau lawan dari “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Tafsir yang sama juga diberikan oleh MUI. Ini tercermin dari pernyataan Wakil Sekjen MUI Zaituna Rasmin yang menafsirkan Ketuhanan Yang Berkebudayaan yang di RUU HIP sebagai upaya terselubung melumpuhkan keberadaan Sila Pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa yang telah dikukuhkan dengan Pasal 29 Ayat (1) UUD Tahun 1945 serta menyingkirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Sejauh penelusuran kami di berbagai portal media online, hampir semua argumen yang menolak frasa “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” menafsirkan bahwa frase tersebut merupakan cerminan dari pandangan sekuler dan pikiran Komunis, melecehkan dan mengesampingkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan ada yang beranggapan frasa ini merupakan pemikiran komunis kerena sarat dengan nuansa sosialisme.. Sehingga timbul tuduhan RUU HIP disusupi faham komunisme dan menjadi indikasi kebangkitan PKI.
Agar tidak terjebak pada penafsiran pejoratif dan insinuatif yang menghilangkan spirit dan makna dari frasa Ketuhanan Yang Berkebudayan, meskipun secara teoritik hal seperti ini sah-sah saja dilakukan, ada baiknya melihat secara penuh teks pidato Bung Karno beserta konteks historisnya (asbabul wurud). Dari sini akan terlihat kandungan makna dan kerangka filosofis dari frasa Ketuhanan Yang Berkebudayaan.
Secara historis, frasa ini marupakan bagian dari pidato Bung Karno yang disampaikan di hadapan sidang BPU-PKI pada tanggal 1 Juni 1945, ketika sedang membahas dasar negara. Teks pidato Bung Karno tersebut adalah sebagai berikut:
“ ….Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-tuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.
Tapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya menyembah Tuhan dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama.” Dan hendaknya negara Indonesia suatu Negara yang ber-Tuhan.
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen dengan cara berkeadaban . Apakah cara yang berkeadaban itu ? Ialah hormat menghormati satu sama lain. (tepuk tangan sebagian hadirin).
Dari teks tersebut jelas terlihat, bahwa berTuhan secara kebudayaan adalah cara mengekspresikan kepercayaan pada Tuhan, cara memeluk agama dan menjalankan agama yang manusiawi, bukan beragama yang menghilangkan dimensi kemanusiaan, mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Melalui berTuhan secara kebudayaan inilah manusia tetap menjadi manusia karena kebudayaan dan peradabanlah yang membedakan manusia dengan makhluk lain; hewan, malaikat, iblis dan sebagainya.
Dalam konteks ini, Bung Karno mengingatkan bahwa berTuhan yang tidak berkebudayaan bisa membuat manusia terjebak pada “egosime agama” sehingga menafikan dan menista kelompok lain yang berbeda. Pengamalan agama sebagai manifestasi dari sikap berTuhan harus bisa memberikan manfaat pada yang lain dan masing-masing bebas mengekspresikan cara beragama dan berTuhan.
Dalam teks tersebut juga dijelaskan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara yang berTuhan. Artinya setiap warga negara Indonesia harus beTuhan, dengan memberikan kebebasan bagi warganya untuk memilih dan menentukan Tuhannya dan kekebasan dalam mengamalkan keyakinannya pada Tuhan masing-masing tanpa harus saling menegaskan. Pernyataan ini secara tegas menunjukkan bahwa Indonesia menolak faham atheisme.
Dengan demikian tafsir yang menyatakan “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” merupakan pengganti atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa” atau cerminan dari pemikiran komunisme-atheisme jelas tidak sesuai dengan spirit dan kerangka filosofi yang dimaksudkan oleh Bung Karno. Sebaliknya justru melalui frasa “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” itu Soekarno menginginkan agar praktek kehidupan berKetuhanan bangsa Indonesia memberikan manfaat secara nyata bagi seluruh warga bangsa Indonesia.
Melalui frase Ketuhanan yang berkebudayaan, Bung Karno menginginkan beragama dan berTuhan itu tidak harus memaksa manusia berubah menjadi malaikat, atau membuat bangsa Indonesia menjadi tersekat-sekat oleh agama dan keyakinan terhadap Tuhan. Ketuhanan Yang Berkebudayaan menurut Bung Karno merupakan sikap toleran dan moderat, memberikan ruang bagi kelompok lain untuk mengekpresikan keTuhannya secara bebas. Selain itu, Bung Karno juga menginginkan munculnya kretifitas yang membawa manfaat bagi kehidupan warga bangsa Indonesia sebagai cerminan dari kepercayaan kepada Tuhan.
Dari paparan di atas jelas terlihat, frasa Ketuhanan Yang Berkebudayaan merupakan pengejawantahan dari keyakinan terhadap Tuhan melalui laku hidup yang berbudaya. Dengan kata lain produk kebudayaan bangsa Indonesia merupakan cerminan dari keyakinan terhadap Tuhan.
Tafsir pejoratif terhadap frasa “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” juga dikaitkan dengan posisi sila Ketuhanan versi Bung Karno dengan versi Piagam Jakarta dan Pembukaan UUD 45. Mereka menafsirkan Pancasila versi Bung Karno mengabaikan Ketuhanan, dan sekuler, karena meletakkan sila Ketuhanan sebagai sila terakhir yang posisinya di bawah. Agar tidak terjebak pada penafsiran yang banal (ngawur), ada baiknya kita lihat penggalan pidato Bung Karno berikut ini.:
Nabi Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia merdeka yang kita susun ini –sesuai dengan itu—menyatakan bahwa prinsip kelima dari negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan. Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa !
Di sinilah, dalam pengakuan azas yang kelima inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang mendapat tempat sebaik-baiknya. Dan negara kita ber-Tuhan pula! Ingatlah, prinsip ketiga –permufakatan, perwakilan—di situlah tempatnya kita mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam yaitu dengan cara yang berkebudayaan (Pidato 1 Juni 1945).
Teks ini secara tegas menjelaskan Negara Indonesia berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa yang diekspresikan melalui tindakan yang berbudi pekerti luhur yang dalam Islam dikenal dengan istilah akhlakul karimah. Bentuk dari akhlakul kariman dalam kehidupan berbangsa adalah saling mengormati terhadap perbedaan keyakinan atau agama dan perbedaan dalam berketuhanan. Jelas di sini pengertian Ketuhanan Yang Berkebudayaan bukan sebagai pengganti terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi justru sebagai bentuk pengejawantahan dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini terlihat dalam teks pidato Bung Karno yang menyebut frasa Ketuhanan Yang Berkebudayaan disebut satu paragraf (senafas) dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pancasila Ekspresi Sufistik Bung Karno
Dari pidato itulah Soekarno merumuskan Pancasila dengan meletakkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila terakhir. Ini bisa dimaknai, Asumsi dasarnya, Ketuhanan merupakan tujuan akhir dari sila-sila yang ada. Artinya, pelaksanaan keempat sila versi Bung Karno; Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau perikemanusiaan; Mufakat atau demokrasi dan Kesejahteraan Social merupakan ekspresi kebudayaan yang semuanya harus ditujukan kepada Allah sebagai tujuan akhir. Jadi penempatan Sila Ketuhanan diakhir sila bukan berarti merendahkan atau mengabaikan Tuhan, tetapi justru bentuk pemuliaan karena didudukan sebagai fondasi dan menjadi tujuan akhir dari pengamalan keempat sila.
Melihat isi pidato Bung Karno di atas, bisa dikatakan spirit dari susunan Pancasila versi Bung Karno merupakan ekspresi sufistik, yang menganggap Tuhan (Allah) adalah tujuan akhir dari setiap amal berbuatan manusia. Bagi kaum sufi Allah tidak ditaruh di depan, tetapi diujung perjalanan sebagai tujuan utama dan terakhir. Ini bisa kita lihat pada tahapan laku hidup (maqamat) sufis, misalnya Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan urutan qamat sufi , mulai al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan berujunga pada al-ridla. Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat tasaawuf itu ada delapan, dimulai dari al-taubah, al-shabr,al-zuhud, al-tawakkal,al-mahabbah, alma’rifah, dan pada akhirnya adalah al-ridla. Dalam spirit inilah sebenarnya Bung Karno meletakkan Ketuhanan sebagai sila terakhir, sebagaimana terlihat dalam pidatonya. Inilah spirit dari Ketuhanan Yang berkebudayaan.
Penempatan sila Ketuhanan sebagai sila terakhir dan diletakkan di bawah ini ditentang para tokoh Islam dan ulama. Mereka menginginkan Ketuhanan di taruh sebagai sila pertama dengan asumsi ketuhanan harus menjadi yang utama, yang menjiwai sila-sila yang ada di bawahnya. Artinya keempat sila itu harus mencerminkan nilai-nilai Ketuhanan, dengan demikian dia harus diletakkan yang paling atas. Perdebatan muncul dalam sidang tim sembilan yang membahas rumusan Pancasila Bung Karno. Pandangan para ulama dan golongan Islam ini diterima sehingga sila Ketuhanan ditempatkan di atas menjadi sila pertama dan berlaku hingga sekarang.
Sila Ketuhanan Pola Pikir Perpektif Fiqh
Penempatan Sila Ketuhanan sebagai sila pertama ini bisa dikatakan sebagai cerminan pola pikir perpektif fiqh yang simbolik formal. Dalam pandangan kaum fiqh, kemuliaan sila Ketuhanan harus dicerminkan secara simbolik dalam tata urutan sila Pancasila. Kalau sila Ketuhanan di letakkan sebagai sila terakhir dan ditaruh di bawah, dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahan persepsi, timbul anggapan melecehkan Tuhan dan agama, atau muncul pemikiran Ketuhanan tidak penting. Dengan meletakkan sila Ketuhanan pada sila pertama maka tafsirnya bukan lagi “Ketuhanan yang Kerkebudayaan” tetapi menjadi “Kebudayaan Yang Berketuhanan”
Melihat spirit, kerangka pikir filofis secara mendalam, sebenarnya tidak ada perbedaan prinsip dan mendasar antara Pancasila versi Bung Karno dan Pancasila yang ada sekarang terkait dengan asumsi mengenai sila Ketuhanan. Keduanya samaa-sama menginginkan negara ini berdasarkan Ketuhanan dan menginginkan semua warga bangsa bertuhan. Keduanya juga sama-sama menempatkan sila Ketuhanan di tempat yang mulia dan skral. Baik perspektif bung Karno yang sufistik maupun perspektif fiqh yang simbolik-formal keduanya sama-sama sepakat bahwa Ketuhanan menjadi azas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ini artinya, baik frasa “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” maupun “Kebudayaan yang berketuhanan” sama-sama cerminan dari spirit religiusitas. Perbedaan terjadi pada tataran perspektif. Memang dengan susunan Pancasila yang ada sekarang akan lebih tepat penggunaan frasa Kebudayaan Yang Berketuhanan. Tetapi melihat fenomena umat beragama yang anti kebudayaan, sehingga dengan gampang menista, mecaci, menebar kebencian dan memfitnah sesamanya atas nama agama, maka bisa difahami kalau muncul inisiatif mengaktualisasikan gagasan Bung Karno mengenai Ketuhanan Yang Berkebudayaan.
Rasanya tidak perlu menentang inisitif tersebut dengan membuat tuduhan dan tafsir tafsir yang distirotif untuk melegitimasi tuduhan tersebut. Akan lebih baik jika dilakukan dialog dan tabayyun untuk menentukan langkah terbaik agar Pancasila dapat diwujudkan dalam laku hidup. Menolak inisitif tersebut dengan cara menafsirkan frasa Ketuhanan Yang Berkebudayaan sebagai bentuk sekularisasi Pancasila, disusupi atheisme, melecehkan agama dan berbagai tudingan negatif lainnya sama saja dengan mencabut spirit religiusitas dari frasa tersebut. Dan ini artinya tafsir tersebut tidak saja a historis tetapi juga distortif, sehingga cenderung menjadi plintiran daripada tafsiran
No responses yet