Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan gabungan dari Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah (TQN) yang didirikan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas (1802-1872 M.) yang dikenal sebagai penulis kitab Futûh al-‘Arifîn. Sambas merupakan sebuah nama kota di sebelah Utara Pontianak, Kalimantan Barat.

Syaikh Naqib al-Attas mengatakan bahwa Syaikh Sambas adalah seorang mursyid dari kedua tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah yang kemudian oleh beliau diajarkan dalam satu versi dengan mengajarkan dua jenis zikir sekaligus, yakni zikir dengan lisan (jahr) dalam tarekat Qadiriyah dan zikir dengan hati (khafi) dalam tarekat Naqsyabandiyah.

Setelah menyelesaikan pendidikan agama dasar di kampung halamannya pada usia 19 tahun, Syaikh Sambas berangkat ke Kota Mekah di Saudi Arabia untuk melanjutkan pendidikannya sekaligus menetap di sana sampai wafatnya pada tahun 1289 H./1872 M.

Di kota Mekah, Syaikh Sambas mempelajari ilmu-ilmu Islam, termasuk ilmu tasawuf yang sampai pada akhirnya mencapai kedudukan tinggi sehingga sangat disegani oleh teman-temannya saat itu. Beliau kemudian juga menjadi seorang tokoh yang sangat berpengaruh di seluruh wilayah Nusantara.

Diantara guru-guru Syaikh Sambas adalah Syaikh Daud bin Abdullâh bin Idris al-Fattani (1843), dan Syaikh Syamsuddin Muhammad Arsyad al-Banjari (1812). Diantara semua murid Syaikh Syamsuddin, Syaikh Khatib Sambas berhasil mencapai tingkat yang tertinggi yaitu Syaikh Mursyid Kamil Mukammil.

Selain itu, beliau juga pernah belajar kepada Syaikh Muhammad Shalih RAys (seorang mufti Syafi’i), Syaikh Umar bin Abdul Karim bin Abdur Rasul (w. 1249 H.), Syaikh Abdul Jami (w. 1235 H). Di samping itu, beliau juga pernah menghadiri kuliah-kuliah yang diberikan langsung oleh Syaikh Bisri al-Jabbati (seorang mufti Maliki), Syaikh Ahmad al-Marzuqi (seorang mufti Hanafi), dan Syaikh Abdullah Muhammad al-Mirghani (w. 1273 H.) serta Usman bin Hasan Dimyati (w. 1266 H).

Dari keterangan guru-guru beliau di atas, dapat diketahui bahwa beliau telah belajar kepada tiga dari empat madzhab fiqih terkemuka. Kebetulan al-Attar, al-Jami, dan RAys, terdaftar sebagai guru dari teman beliau, yakni Muhammad bin Ali bin al-Sanusi (w. 1276 H). dan juga pendiri Tarekat Sanusiyah (Muhammad Utsman al-Mirghani) dan juga pendiri Tarekat Khatmiyah. Sehingga, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dikalangan ulama Nahdlatul Ulama diakui sebagai Tarekat Mu’tabarah.

Metode Zikir Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

Khataman

Dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam Tanwîr al-Qulûb fi Mu’amalati ‘Allimil Ghuyub menjelaskan berbagai pengertian dan proses khataman yang intinya sebagai berikut: khatam artinya penutup atau akhir.

Zikir dengan sistem khataman ialah sejumlah murid atau salik duduk dalam suatu majelis (majelis zikir), berbentuk lingkarandengan dipimpin oleh seorang syaikh (mursyid) dan duduk menghadap kiblat. Di sebelah kanan duduk khalifah-khalifah, adapun yang tertua duduk di sebelah kanan syaikh. Sistem zikir ini dikatakan khataman, karena selesai zikir, syaikh meninggalkan majelis itu, maka ditutuplah dengan zikir-zikir tertentu.

Kegiatan khataman ini biasanya juga disebut mujahadah atau hususiyah karena memang upacara dan kegiatan ini dimaksudkan untuk mujahadah bersungguh-sungguh dalam meningkatkan kualitas spiritual para salik, baik dengan melakukan zikir dan wirid, maupun dengan pengajian dan bimbingan ruhaniyah oleh mursyid secara khusus.

Adab Khataman

Menurut Syaikh al-Kurdi dalam kitabnya Tanwîr al-Qu1ûb fi Mu’amalati ‘Alamil Ghuyub halaman 520 menyebutkan ada 8 adab khataman, yaitu:

Suci dari hadats dan najis

Di ruangan khusus, sunyi dari keramaian manusia

Khusyu’ dan menghadirkan Allah Swt, dengan cara beribadah kepada-Nya seolah-olah anda melihat-Nya. Jika anda tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat anda.

Peserta yang hadir harus dengan seijin syaikh.

Pintu ditutup karena menurut Hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan Ya’la bin Syidad:

بَيْنَمَا أَنَا عِنْدَ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ، إِذْ قَالَ: هَلْ فِيْكُمْ غَرِيْبٌ؟، قُلْنَا: لَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَأَمَرَ بِغَلْقِ الْبَابِ، وَ قَالَ: ارْفَعُوْا أَيْدِيَكُمْ الحديث.

Tatkala aku berada di sisi Rasulullâh saw. tiba-tiba beliau bertanya: Adakah orang asing di antara kamu? Kami menjawab: Tidak ada, Rasulullah saw. “Lantas beliau memerintahkan supaya pintu ditutup dan bersabda: “Angkat tangan kamu”.

دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ الْبَيْتَ هُوَ وَ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ وَ بِلَالٌ وَ عُثْمَانُ بْنُ طَلْحَةَ فَاَغْلَقُوْا عَلَىْهِمُ الْبَابَ فَلَمَّا فَتَحُوْا كُنْتُ اَوَّلَ مَنْ وَلِجَ فَلَقِيْتُ بِلَالًا فَسَأَلْتُهُ هَلْ صَلَّى فِيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ؟ قَالَ نَعَمْ صَلَّى بَيْنَ الْعَمُوْدَيْنِ الْيَمَانِيَّيْنِ

Rasulullâh saw. telah memasuki Baitullâh bersama dengan Usâmah bin Zaid, Bilâl, Utsman bin Thalhah. Mereka menutupkan pintu. Tatkala mereka membukanya, sayalah orang pertama masuk, kujumpai Bilal dan kutanyakan: Apakab Rasulullâh saw. salat di dalamnya? Bilal menjawab: “benar, di antara dua tiang Yamani”.

  1. Memejamkan mata mulai awal hingga selasai.
  2. Berusaha dengan sungguh-sungguh meniadakan segala sesuatu yang timbul di dalam hati, sehingga hatinya hanya disibukkan dengan berzikir kepada Allah.
  3. Duduk tawarruk, kebalikan dari duduk tawarruk dalam salat.

Pembaiatan

Dalam pelaksanaan zikir, Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah melakukan beberapa tata acara amaliyah yang sudah ditetapkan, seperti baiat. Prosesi pembaiatan dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah biasanya dilaksanakan setelah calon murid mengetahui terlebih dahulu hal ihwal tarekat tersebut, terutama menyangkut kewajiban-kewajiban,  termasuk tata cara berbaiat. Setelah merasa mantap dan mampu, murid pun datang menghadap mursyid untuk dibaiat.

Menurut KH. Ramli Tamim dalam kitabnya Tsamrah al-Fikriyah halaman 1-3, bahwa proses pembaiatan mursyid kepada muridnya dilakukan sebagai berikut:

Dalam keadaan suci, murid duduk menghadap mursyid dengan posisi duduk tawarruk (kebalikan duduk tawarruk dalam shalat). Dengan penuh kekhusyukan, taubat, dan menyerah diri sepenuhnya kepada mursyid untuk dibimbing.

Selanjutnya murid bersama-sama dengan mursyid membaca kalimat berikut ini;

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اللهم افْتَحْ لِيْ بِفُتُوْحِ الْعَارِفِيْنَ 7×

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ لِلهِ وَ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَى الْحَبِيْبِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَلْهَادِيْ إِلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. أَسْتَغْفِرُ اللهِ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ 3×

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ 3×

Kemudian syaikh (mursyid) membaca;

لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ 3×

Dan kemudian murid (salik) menirukan ucapan syaikh (mursyid);

لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ 3×

Selanjutnya diakhiri dengan bacaan;

سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ

Kemudian keduanya (mursyid dan murid) membaca Salawat Munjiyat seperti di bawah ini;

اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تُنْجِيْنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ الْأَهْوَالِ وَ الْآفَاتِ وَ تَقْضِى لَنَا بِهَا جَمِيْعَ الْحَاجَاتِ وَ تُطَهِّرُنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ وَ تَرْفَعُنَا بِهَا عِنْدَكَ أَعْلَى الدَّرَجَاتِ وَ تُبَلِّغُنَا بِهَا أَقْصَى الْغَايَاتِ مِنْ جَمِيْعِ الْخَيْرَاتِ فِي الْحَيَاةِ وَ بَعْدَ الْمَمَاتِ 1×

Kemudian membaca ayat;

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً، (الفتح: 10) 1×

Setelah itu menghadiahkan al-Fatihah kepada Rasulullâh saw, para masyayikh ahli silsilah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah khususnya kepada syaikh Abdul Qâdir al-Jailani dan syaikh Abu Qâsim al-Junaidi a1-Baghdadi, 1 x

Kemudian syaikh (mursyid) berdoa untuk muridnya

Selanjutnya syaikh (mursyid) memberikan tawajjuh kepada murid (salik) sebanyak 1000 x atau lebih.

Tawajjuh ini dilaksanakan dengan cara memejamkan kedua mata rapat-rapat, mulut juga ditutup rapat-rapat, dengan menyentuhkan lidah ke langit-langit mulut. Dengan menyebut nama Allah (Allah.Allah.Allah) dalam hati 1000 kali, dengan dikonsentrasikan (terfokus) ke arah sanubari. Demikian juga murid melaksanakan hal yang serupa.

Itulah prosesi pembaiatan yang merupakan pembelajaran (talqin) dua macam zikir sekaligus yaitu Nafi Itsbat (Qadiriyah) dan Zikir Latha’if (Naqsyabandiyah). Baru pembaiatan selanjutnya hanya untuk zikir latha’if saja, sampai tujuh kali. Dan pembaiatan untuk mengamalkan murâqabah.

Dari segi prosesinya, pembaiatan yang ada dalam tarekat ini jelas berbeda dengan prosesi yang ada dalam tarekat induknya. Di dalam Tarekat Qadiriyah, pembaiatan hanya untuk zikir nafi itsbat dengan didahului salat sunnah dua rakaat. Prosesi ijab qabul pun eksplisit, serta pemberian wasiat dan pesan-pesan yang berlaku kesufian oleh mursyid kepada murid (salik) yang menandai berakhirnya pembaiatan.

Demikian juga ritual tersebut berbeda dengan yang ada dalam tradisi Tarekat Naqsyabandiyah.

Selain adanya perbedaan dalam proses pembaiatan antara ketiga tradisi tersebut, tentu terdapat banyak persamaan, yaitu:

  1. Murid harus duduk menghadap mursyid dalam keadaan suci
  2. Hadiah al-Fatihah dan istighfâr sebelum pentalqinan zikir
  3. Mendengarkan dan menirukan talqin zikir bagi murid, dalam keadaan mata terpejam
  4. Adanya kesetiaan murid terhadap semua aturan dan kebijaksanaan mursyid
  5. Doa mursyid untuk murid

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *