Alam semesta termasuk manusia di dalamnya, itu makhluk yang punya spek kurang adaptif dengan perubahan yg sangat ekstrim dan cepat (revolusioner). Perubahan yg ekstrim akan membunuh makhluk dgn cepat. Misal kalo pancaroba, beberapa orang akan meriang karena perubahan cuaca yg cepat.

Maka dari itu, alam ini diciptakan Gusti Allah bekerja dengan mengikuti hukum sebab musabab atau sebab akibat yg sifatnya mungkin, agar makhluk tidak cepat hancur secara cepat. Hukum sebab musabab itu termasuk di dalamnya hukum2 fisika, kimia dan matematika yg ada di sekitar kita. Artinya, setiap kejadian, pasti ada rentetan latar belakang yang mengawali dan pasti ada rentetan akibat yang mungkin ditimbulkan. Dan semua ini bisa diketahui silsilah sebab-sebabnya.

Nah, diciptakannya asbab atau rentetan sebab2 itu adalah Af’al Gusti Allah yang biasa disebut sunnatullah atau hukmullah. Menurut Imam Ghozali, tawakal ini mengikuti sunnatullah tersebut atau tauhidul fi’li. Namanya sunnatullah, sifatnya mungkin atau yang biasanya terjadi. 

Misal kalo mau kaya, biasanya ya lewat kerja. Mau gak lapar, biasanya pakai perantara nasi. Mau selamat di jalan, kemungkinan ya pake helm, dan sebagainya.

Tawakal ini tidak mengikuti hukum tajrid yang tidak mengikuti hukum sebab akibat atau tauhidudz dzat. Maka seyogyanya, orang tawakal kudu memperhatikan, memperkirakan dan menganalisa sesuatu berdasarkan kebiasaan dan hubungan sebab akibat.

Karena, mau tidak mau, manusia akan dipaksa untuk berbuat dan beramal karena manusia berada dalam ruang dan waktu yg gak bisa lepas dari sebab akibat. 

Kalo gak makan, kemungkinan ya lemes. Kalo gak kerja, kemungkinan nganggur. Kalo gak tidur, biasanya jadi ngantuk. Begitu terus sehingga manusia dipaksa untuk beramal untuk mengatasi kemungkinan-kemungkinan.

Sehingga kita gak bisa ngaku tawakal tapi gak mau beramal. Tetap mau gak mau, kita akan dipaksa untuk beramal, walau prosentase keberhasilannya 50:50. Misal saat dikejar anjing, kita kudu lari dan nyari jalan biar lolos sehingga ada kemungkinan selamat.

Karena sudah sunnatullah bahwa alam ini sifatnya serba mungkin yang tidak bisa dipastikan, kita beramal melalui analisa dan dugaan kuat setelah melihat kebiasaan dan sejarahnya. Saat beramal berdasarkan dugaan kuat itulah kita dituntut untuk tawakal pada Gusti Allah. Agar kita tetap sadar bahwa, sekuat apapun dugaan itu, alam semesta termasuk manusia ini selamanya bersifat serba mungkin. Yang pasti hanya Gusti Allah.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *