Sebagai penutup, kita rangkum semua hal yg udah kita bahas.
- Hakikat tawakal adalah “Gambaran perilaku kesadaran atas prinsip ketauhidan dan teraplikasikan dalam amal lahiriah”
- Dari hakikat tawakal tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa tawakal itu punya 3 rukun : makrifat, ahwal dan amal.
- Rukun pertama adalah Makrifat yg jadi pokok tawakal. Menyadari sepenuhnya bahwa posisinya sebagai makhluk dan Gusti Allah sebagai Tuhan.
- Makrifat dibagi 4 : Munafik, ilmul yaqin, ainul yaqin dan haqqul yaqin.
- Rukun kedua adalah Ahwal atau sikap hati sebagai cerminan makrifat. Ada 4 sikap orang tawakal : Memasrahkan urusan pada Gusti Allah, mempercayai Gusti Allah dalam hati, memunculkan ketenangan dalam jiwa saat memasrahkan urusan, tidak berpaling (menggantungkan diri) kepada selain Gusti Allah secara hakikat
- Ada 3 derajat dalam ahwal : derajat tawakal seperti investor dengan obyek investasi, derajat tawakal seperti ibu dan anak, derajat tawakal mayat dan yg memandikan mayat.
- Rukun ketiga adalah amal. Haram hukumnya meninggalkan amal dan kasab. Tanpa kasab maka bukan tawakal.
- Amal itu ada 4 dimensi : jalbun nafi’, hafdzun nafi’, daf’udh dhoror dan qoth’udh dhoror.
- Masing2 amal itu bisa bersifat maqtu’ bih, yutsiqu bih atau mawhum.
- Menumpuk harta bisa membatalkan tawakal jika niatnya takut miskin. Bisa tidak membatalkan tawakal bila niatnya untuk membantu agama dan orang lain.
- Orang lemah haram hukumnya beramal seperti orang kuat karena bisa membunuh dirinya dan menyalahi maqom.
Kesimpulannya, di atas itu semua, tawakal harus berdasarkan ilmu, tetap manusiawi dan tidak boleh menyalahi asbab. Karena itulah, tawakal harus sejalan sunnah Kanjeng Nabi Muhammad SAW sebagai sosok yg jadi panduan mutawakkil (orang yg bertawakal) seluruh dunia. Dan bukan tawakal jika tidak selaras dgn sunnah Kanjeng Nabi SAW dan shohabat beliau.
Saya jadi teringat pada waktu Pilpres, teman saya yang santri nyeletuk, “Pokoknya nanti saya milih presiden yang ditakuti oleh orang-orang, pokoknya yang pinter bikin orang ketar-ketir,” Saya pun cuma mengernyitkan dahi, bingung dengan perkataannya.
“Kok gitu, kang?” Tanya saya. Teman saya terkekeh.
“Iya, dengan bikin orang ketar-ketir, maka orang-orang itu jadi banyak menyebut nama Allah, orang-orang jadi banyak sambat (mengadu) sama Allah, ” katanya, saya pun terkekeh.
Ada lagi anekdot dari Almaghfurlah Gus Dur.
Alkisah terjadi pada saat seleksi penerimaan penghuni surga. Sampai akhirnya tiba pada 2 anggota peserta terkhir yang akan terseleksi, yakni seorang Kyai dan seorang sopir bis Lorena yang terkenal suka ngebut dan ugal-ugalan dalam mengemudikan kendaraaannya sewaktu masih hidup.
Alhasil ternyata yang masuk menjadi penghuni surga adalah si Sopir Bis Lorena. Sang kyai akhirnya protes keras kepada Gusti Allah, kenapa tidak dirinya yang masuk surga, padahal sewaktu di dunia dia terkenal sebagai mubaligh yang giat menyebarkan islam dan mengisi khutbah jum’at? Kenapa yang masuk surga malah seorang sopir yang record ugal-ugalannya tertinggi di catatan kantor polisi?
Akhirnya Gusti Allah menjawab “Kamu tidak Aku masukkan surga, karena ketika kamu berkhutbah di dunia, kamu tidak pernah memperhatikan jamaahmu, kamu terlalu panjang dalam berkhutbah yang akhirnya banyak jamaahnya jadi tertidur dan terlupa kepada-Ku. Wahai Pak Kyai, Si Sopir Bis Lorena ini karena ugalan-ugalannya dan ngebutnya, justru jadi sebab para penumpangnya tidak henti-hentinya menyebut nama-Ku.”
Tentunya, anekdot di atas gak diartikan berbuat ugal-ugalan itu sangat sunnah. Anekdot ini ingin mengatakan, nilai orang dilihat dari seberapa besar dampak perilakunya bagi orang lain dan perbuatan baik yg proporsional dan tidak berlebihan, sesuai realita dan standar sunnah Kanjeng Nabi SAW, itu sangat disukai dan sangat dimuliakan oleh Gusti Allah.
Hikmah lainnya, ada kalanya keburukan orang lain itu menjadi wasilah bagi orang lain untuk lebih dekat dengan pencipta-Nya. Jadi sebagai umat Islam, gak perlu kita memaki berlebihan pada orang yang telah berbuat buruk pada kita. Asal selalu ingat Tuhan, ta’alluq dengan rasa mahabbah (cinta) pada Sang Juragan, insya Allah ada nilai tersendiri di sisi Gusti Allah.
No responses yet