Catatan Singkat Khataman Sorogan Kitab al-Qanun al-Asasi Karya Hadlaratussyaikh Hasyim Asy’ari (1871-1947)

Di tahun 2015, saat menyikapi kekurang berkenannya sebagian pihak atas buku “Titik Temu Wahabi-NU”, Kiai Ali Mustafa Yaqub (1952-2016) menyatakan bahwa tujuan beliau menulis buku tersebut adalah untuk khidmah kepada umat. Menguatkan persatuan dan persaudaraan antar sesama muslim, meskipun ada perbedaan manhaj dan cara pandang. Perbedaan ini sudah ada sejak era Nabi dan para sahabat. Jauh sebelum adanya Wahabi dan Nahdlatul Ulama. Meskipun keduanya memiliki perbedaan, bukan berarti tidak memiliki kesamaan. Lantas mengapa perbedaan itu saja yang senantiasa ditabrakan. Bukan didialogkan untuk saling memperkaya.

Terkait kesadaran visioner ini, di tahun-tahun akhir hayat Kiai Ali Mustafa Yaqub yang merupakan santri kinasih Kiai Idris Kamali (1887-1987) itu banyak menaruh perhatian terhadap karya-karya Hadlaratussyaikh Hasyim Asy’ari. Bentuk kongkritnya adalah keinginan beliau agar mahasantri Ma’had Darus-Sunnah membaca serius karya-karya tersebut. Salah satunya adalah melalui kajian tahqiq dan takhrij hadis. Dengan cara ini, harapanya, generasi muda dapat mewaris gagasan dan jalan dakwah Hadlaratussyaikh. Yakni mengedepankan spirit persatuan dan cinta tanah air.

Terkait hal ini, satu judul tulisan Hadlaratussyaikh yang bisa kita sebut adalah “Muqadimah al-Qanun al-Asasi Li Jam’iyah Nahdlah al-Ulama”. Karya setebal 10 halaman yang dibacakan pada 31 Januari 1926 ini sangat kuat memancarkan semangat persatuan dan cinta tanah air. Jika kita telaah, setidaknya ada tiga hal menarik. Pertama, secara sistematis, Hadlaratussyaikh memaparkan dasar perjuangan NU. Di bagian awal, ada 33 ayat al-Qur’an yang dinukil, diikuti kutipan hadis, qaul sahabat, pendapat ulama, serta syair kalam hikmah. Kesemuanya mengandung prinsip dakwah dan nilai perjuangan. Di antaranya adalah mengedepankan dakwah dengan hikmah dan mauidhah hasanah, mengikuti jalan persatuan, menjauhi perpecahan, taat kepada pemimpin, menghargai perbedaan, berdakwah dengan ilmu, meneguhkan amar ma’ruf nahi munkar, dan lain sebagainya. 

Kedua, di sela-sela pemaparan Hadlaratussyaikh, kita dapat menangkap nilai-nilai humanisme universal. Di halaman kelima, secara tegas, ditekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon). Manusia tidak akan dapat hidup sendiri. Karena itu, saling tolong menolong dalam kebaikan adalah niscaya. Sebuah bangsa dan peradaban tidak mungkin dapat dibangun kecuali dengan dasar ini. Prinsip ini sejalan dengan strategi yang telah dicontohkan Baginda Nabi (shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah) ketika membangun Madinah. Setiba hijrah di Yatsrib, dengan segera, Kanjeng Nabi menjalinkan tali pesaudaraan antara sahabat Muhajirin dan Anshar. 

Ketiga, jika dibaca secara sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge), dapat kita tangkap betapa cerdas dan strategisnya teks yang dianggit Hadlaratussyaikh di atas. Di tahun-tahun pergerakan kemerdekaan, semangat persatuan dan cinta tanah air adalah prasyarat. Sebagai tokoh agamawan, Hadlaratussyaikh mampu menggali kekayaan nilai Islam. Lebih dari itu, nilai ini terejawantahkan dalam wadah pergerakan. NU menjadi salah satu bagian untuk merekatkan persatuan antar anak bangsa serta mengokohkan cinta tanah air. Demikian halnya, saat mempertahankan kemerdekaan, semangat cinta tanah air kembali digelorakan. Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 menjadi mesiu perang Surabaya. Persatuan dan cinta tanah air terbukti mampu melucuti kepongahan kekuatan penjajah.

Lantas tertarikkah anda?

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *