Apakah shalatmu diterima ? apakah  ibadah haji, puasa dan sedekahmu diterima ? Siapa bisa memastikan ? Tapi teruslah shalat, puasa, haji dan sedekah meski belum ada kepastian diterima. Kita terus beribadah dan bertawakal kepada Allah tabaraka wataala. 

*^^^*

Lantas bagaimana dengan nasib bacaan Quran yang dikirimkan atau dihadiahkan kepada si mayit ? Siapa bisa menjamin pahala itu sampai dan siapa pula menjamin bahwa pahala itu tak sampai? Siapa berani jamin apalagi memastikan sampai atau tak sampainya, lantas para ulama pun berikhtilaf. Ada yang bilang sampai ada yang bilang tak sampai. Bahkan fatwa tarjih pun tidak mesmastikan, hanya ‘cenderung’ pada yang tak sampai tapi tidak mengikat menjadi sebuah putusan. 

Fatwa Majelis tentang hadiah pahala sebagai berikut: ‘Adapun menghadiahkan pahala bacaan al-Quran –termasuk surah al-Fatihah, surah Yasin dan lainnya— itu adalah masalah khilafiyah (masalah yang diperselisihkan oleh para ulama). Sebagian ulama seperti Imam Ahmad bin Hambal mengatakan pahalanya sampai kepada si mayit. Dan sebagian ulama lainnya seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan tidak sampai. Tim Fatwa Agama ‘cenderung’ kepada pendapat yang kedua. 

*^^^*

Secara umum fatwa Majelis Tarjih memberi kesimpulan, bahwa mendoakan orang yang sudah meninggal dunia itu ada tuntunannya, dilakukan oleh Nabi saw dan para sahabatnya secara mutawatir yang sahih. Lantas para ulama berikhtilaf tentang ‘hadiah pahala’. Apakah sampai apa tidak.

Saya berpendapat sampai dengan tidak bermaksud menyelisihi— bukankah fatwa tarjih adalah ‘cenderung’ yang berati tidak mengikat karena berada pada ranah ikhtilafiyah. 

Argumen saya adalah 

  1. Karena sama-sama tidak bisa memastikan — maka saya ‘cenderung’ pada pendapat yang pertama yaitu sampai — seperti halnja saya juga berhusnudzan bahwa shalat, puasa, haji dan sedekah saya juga diterima meski tidak ada kepastian. 
  • Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna,” [QS. an-Najm (53): 39-41].
  • Para sahabat tidak melakukan berati ini adalah soal ijtihadiyah, bukan perkara bid’ah karena tiadanya dalil. 
  • Dengan berhusnudzan hadiah pahala itu sampai kepada si mayit akan menumbuhkan sikap optimis,  roja’, semangat ta’awun, saling mendoakan dan menghilangkan sikap egoisme ingin masuk surga sendiri. 
  • Tidak semua perkara baru dalam Islam adalah bid’ah — karena bisa juga bermakna sunah hasanah sebagaimana sabda Rasulullah saw : Barangsiapa yang membuat sunnah hasanah dalam Islam maka dia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang membuat sunnah sayyi’ah dalam Islam maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun” (HR Muslim). Maka saling mendoakan dan beirkirim pahala adalah sunah hasanah yang baik. Perkara baru yang baik. 
  • Ada tujuh perkara yang pahalanya terus mengalir kepada si mayit : Ketika anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang selalu mendoakannya.” HR. Muslim.

Dalam riwayat lain Rasulullah saw juga bersabda, ‘Sesungguhnya diantara amal kebaikan yang mendatangkan pahala setelah orang yang melakukannya wafat ialah ilmu yang disebarluaskan, mushaf (kitab-kitab agama) yang diwariskan, anak yang saleh dan senantiasa mendoakan, masjid yang dibangun, rumah yang dibangun untuk penginapan orang yang sedang dalam perjalanan (musafir), sungai yang dialirkan untuk kepentingan orang banyak dan harta yang disedekahkan.” (HR. Ibn Majah)

Meski berpendapat ‘cenderung tidak sampai’ majelis tarjih tidak pernah menghukumi bid’ah apalagi mengharamkan terhadap kebiasaan menghadiahkan pahala bacaan Quran atau lainnya — 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *