Cerpen Karya

Ananda Fitria Ramadhanti
Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Mentari pagi yang mulai menampakan kecantikannya, tipis sinar arunika merembetkan kehangatan yang merasuki dinding kulit, gemercik air bisa menjadi irama penenang bagi jiwa yang tak senang, sepoi angin memberikan dorongan padi-padi yang menguning, lambai-lambaiannya seakan mengisyaratkan bahwa ia siap untuk di panen.
Setiap hari, ketika fajar telah memamerkan dirinya, ku langkahkan kaki menuju halaman menghirup oksigen dari sang ilahi, ku rentangkan tangan sembari memejamkan mata, membayangankan kehidupan yang bahagia bersama keluargaku kedepannya. Namun seketika bayangan itu membuyar ketika dikagetkan oleh suara yang menyambutku dengan teriakan seperti terompet rusak.
“Kakaaaaa seelamat pagi!!” Ucapnya yang masih agak sedikit cadel, sembari memberi pelukan yang cukup hangat dari belakang.
Ya, dia adalah Adel berumur 3 tahun, adiku, kebahagiaanku, dan teman hidupku. Jika memandang wajahnya ku teringat perjuangan ibu. Ibu yang pada saat itu berumur paruh baya harus melahirkan Adel dan rela bertaruh nyawanya. Semua temanku mengira bahwa kedua orang tuaku adalah nenek dan kakeku. “Ya, jelas aku menyadari itu”. Kulit yang mulai mengeriput, mata yang sayu, badan yang hitam legam jelas membuat orang-orang tak percaya jika ia masih memiliki anak sekecil Adel. Bagiku,Ibu dan Bapak adalah wanita dan pria yang sempurna, tetapi karena pekerjaan yang mengharuskan mereka berdua berada di sawah, menjadikan mereka tujuh tingkat lebih tua dari umurnya.
Aku dan Adel terpaut umur 7 tahun, jarak yang cukup jauh bagiku. Aku memahaminya ketika aku diceritakan oleh Nenek. Ibu dan bapak adalah pasangan yang tidak mendapatkan restu dari orangtuanya, sehingga membuat mereka saling menunggu dan saling memperjuangkan, hingga akhirnya mereka mendapatkan restu pada saat kepala tiga setengah, aku tidak mengerti apa yang membuat Nenek luluh dan memberikan restunya pada Bapak, yang ku tau mereka adalah sesosok yang hebat hingga dititik memiliki buah hati Adel dan juga aku.
Aku adalah Nindi, anak dari seorang petani. Hidup dirumah tak mewah dipinggir pematang sawah, dari anyaman bambu yang memberikan hawa-hawa sejuk dari setiap anyaman yang tak rapat, karena angin yang masi mampu masuk melalui celah lubang-lubang mengisi seisi ruangan. Bagiku hidup adalah tentang bagaimana kita menikmati dan bersyukur atas segala nikmat yang diberikan, maka tentu saja kebahagiaan itu akan datang. Hidup sederhana bukan masalah besar bagiku, karena kebahagiaan yang sesungguhnya bagiku adalah Ibu, Bapak dan juga Adel.
Kedua orangtuaku belum memiliki rumah, sehingga mengharuskan kami untuk menumpang dirumah Nenek, semasa itu aku benar-benar bahagia karena bisa menikmati hari-hariku bersama mereka.
“Adelllll, Bapaaaa, Nindii…sini makan, sudah ibuk siapkan lo!!”
“Baik Ibu…”
Kamipun masuk ke dalam rumah, makan bersama, sembari menikmati pemandangan sawah dan mendengarkan burung-burung yang bercericau. Lauk pauk yang dihidangkan selalu sama dengan hari-hari biasanya, tempe dan tahu, tetapi menurutku itu adalah makanan yang paling mewah di keluargaku, karena biasanya kami hanya memakan sayur singkong yang diambil dari pekarangan rumah.
“Waduhhh uenakk sekali lo istriku makananya, bisa jadi masakan restoran ini!”
“Iyalo bu uenakkk sekali, seperti makan Ayam goreng” sautku
“Halaahhhh meledek saja kalian ini, cepat habiskan”
Adelpun menanggapinya dengan tawa yang seakan-akan ia tau apa yang sedang di bicarakan, Bapa dan aku memang memiliki humor yang sama, hobby yang sama pula yaitu meledek ibu, aku merasa aku adalah anak yang paling bahagia bisa dikelilingi oleh kasih sayang yang ibu dan bapak berikan ditengah-tengah kesederhanaan keluarga kami.
Kebahagiaan itu mulai memudar. Ketika ibu menyadari bahwa ia dan bapak sudah tidak sanggup bila harus membiayai dua anak sekaligus, ibu khawatir apabila diantara aku ataupun Adel pada nantinya hidup tidak bahagia dan tidak berkecukupan.
Bude Retno adalah Kaka dari Bapaku, aku biasa memanggilnya Bure. Aku tidak begitu paham banyak mengenai Bure, yang ku tau semasa hidupnya beliau sama sekali belum dikaruniai anak. Pada hari minggu Bure datang bersama suaminya kerumah Nenek menggunakan mobil yang mewah menemui ibu dan bapak, aku sama sekali tidak tau apa maksud kedatangan Bure ke kampung halamannya dan rela menempuh perjalanan sekitar tiga jam.
“Bagaimana tawaranku kemarin, apakah diterima?” tanya Bure
Yang ku lihat pada saat itu Bapak dan Ibu hanya saling tatap ketika mendengar pertanyaan Bure, aku sama sekali tidak mengerti tawaran apa yang sedang mereka bicarakan.
“ Aku terima tawaranmu” Ucap bapak dengan berat hati, seakan terlihat dari raut wajahnya bahwa ia tidak ikhlas mengatakan itu. Aku semakin bergelut dengan pikiranku “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Pada saat itu Bure membawa Adel kedalam mobilnya, Adel memang anak yang mudah akrab dengan siapa saja, ia pergi menaiki mobil dengan menggendong tas kesayangannya yang merupakan pemberianku pada saat ulangtahunnya yang ke empat. Pada jendela mobil ku lihat Adel melambaikan tangan seakan menandakan bahwa aku dan Adel tlah berpisah. Akupun berlari mengejar mobil itu sembari memberikan balasan lambaian tangan pada adikku.
Hari-hari ku lalui tanpa Adel, semua terasa sepi. Ketika aku bertanya pada ibu, ibu hanya menjawab bahwa Adel sedang liburan untuk beberapa hari saja. Yang ku pikirkan pada saat itu “Aku tidak diajak karena harus bersekolah”. Ibu dan bapak memang orangtua yang selalu mementingkan pendidikan anaknya, ia sama sekali tak mau jika aku harus membolos sekolah jika bukan karena kepentingan. Tiap waktu ku jalani dengan kerinduan dan melampiaskannya dengan sebuah tangisan.
“Nindi mafkan ibu, harus memisahkan kalian berdua. Percayalah ini hanya untuk sementara saja. Bure akan membantu Ibu dan Bapak untuk membesarkan dan memberikan pendidikan yang layak pada Adel, kamu jangan bersedih, kita bisa menemuinya kapanpun kita mau, dan Bure juga berjanji akan menyempatkan waktunya untuk mengunjungi kita dengan membawa Adel”
Mendengar penjelasan ibu aku semakin menangis tersedu-sedu, ibu hanya memelukku dan berusaha menenangkan. Aku tau sebenarnya hati ibu lebih rapuh, maka ku balas pelukan itu sehangat mungkin.
Ibu mulai mencari kerja tambahan yaitu sebagai pembantu rumah tangga dan juga buruh cuci disisi lain ibu juga membuat jajanan pasar, aku membantu ibu dengan membawa jajanan tersebut ke sekolahku. Ibu selalu menyisihkan uangnya untuk tabungan masa depanku. Hingga pada akhirnya kami bisa memiliki rumah sendiri di sudut perkotaan, rumah satu petak yang tak begitu mewah, tetapi tentu saja lebih layak dibanding dengan rumah nenek pada saat itu. Rasa nyaman dirumah nenek tidak bisa digantikan dengan apapun, terlagi ketika aku mengingat adikku.
Aku, ibu dan bapak amat merindukan Adel, kamipun berusaha menghubungi Bure untuk menanyakan kabar Adel, tetapi entah mengapa setiap dihubungi Bure selalu menolaknya, dan menghindar dari kami. Aku semakin tidak paham dengan perlakuan yang Bure berikan. Tiga tahun berlalu, Bure sama sekali tidak pulang ke kampung halamannya, kami semua sama sekali tidak tau kabar Adel, karena Bure selalu tidak mau memberikan kabar dan selalu mengalihkan pembicaraan.
Setiap hari pemandangan yang ku lihat adalah Ibu yang selalu memandangi foto Adel dengan tangisan kerinduan. Akhirnya aku dan bapak memutuskan untuk mengunjungi adel tanpa ibu, karena ibu ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Sesampainya di rumah Bure betapa terkejutnya aku, saat ku tau adiku sudah besar dan semakin cantik. Aku berlari memeluknya, Adelpun membalas pelukan itu, aku sangat bersyukur karena Adel masih mengingatku selama bertahun-tahun tidak pertemu, ditengah kerinduan itu, aku dan adel dipisahkan, Bure mendorongku menjauh dari Adel.
“Sudah…..sudah tidak usah berlama-lama”
Aku terdorong hampir terjatuh, aku sedih dengan apa yang dilakukan Bure padaku, aku merasa Bure seperti ingin aku dan Adel jauh dan terpisah. Tidak lama kemudian aku menguping pembicaraan Bapak dan Adel.
“Adel sayang, apakah kau merindukan Ibu?, ibu disana sangat rindu, tapi sayang sekali ibu tidak bisa ikut karena ibu ada pekerjaan yang tak bisa diselesaikan”
“Aku tidak merindukan Ibu pak, aku hanya merindukan Kaka dan Bapa saja, aku membenci ibu karena ibu membuangku”
“Nakk percayalah ibu tidak bermaksud seperti itu, yang kamu pikirkan itu salah” Ucap Bapa.
Mendengar jawaban Adel, aku tertegun, aku semakin yakin bahwa Bure mencuci otak Adel untuk membenci ibu, hingga ia bisa memberikan pernyataan yang sama sekali tidak benar adanya. Melihat kejadian itu aku teringat dengan cerita yang diceritakan oleh tetanggaku pada saat dirumah nenek dulu, Bure dan Ibu memang ada konflik, namun aku hanya tau kulitnya saja tidak sampai permasalahan yang secara mendalam. Bure sangat membenci ibu, karena Bure tidak rela jika adiknya menikahi gadis biasa yang baginya tidak cantik dan kaya.
Sesampainya dirumah aku selalu terbayang-bayang dengan kalimat yang dilontarkan oleh Adel, betapa sakitnya jika ibu tau bahwa Adel membencinya. Tahun demi tahun berlalu, saat itu Bure datang ke kampung halaman untuk menjenguk nenek, sehingga kamipun bertemu kembali disana, tetapi betapa pedihnya ketika melihat Adel sama sekali tidak mau bersalaman dengan Ibu, yang ku lihat Adel dan ibu bukan lagi seperti orangtua dan anak, melainkan seperti orang asing yang baru saja kenal, rasa canggung yang timbul, suasana yang sudah lagi berbeda membuat raut wajah ibu terlihat menahan air mata.
Hari demi hari ibu mulai terbiasa dengan keadaan yang menimpanya, ia menganggap bahwa aku adalah anak satu-satunya, meskipun ku tau direlung batinnya akan selalu ada Adel. Teman dan tetangga-tetanggaku yang baru selalu mengira bahwa aku adalah anak tunggal, ia sama sekali tau dengan permasalahan hidup yang menimpa keluargaku hingga harus memberikan Adel untuk sementara waktu.
Melihat ibu dan bapak yang semakin tua, sungguh membuatku tidak tega, mereka yang sudah lesu dan mulai sakit-sakitan. Sesekali saat ibu tertidur ia selalu menyebut nama Adel,
“Adel..Adel..ibu rindu nak”
Ibu selalu mengigau dan ada air mata yang menetes dipelupuk matanya, memandangnya seperti itu sungguh membuat hatiku teriris, di usianya yang semakin tua tetapi sangat rindu dengan anak yang dilahirkannya, aku sungguh tidak bisa membayangkan apabila ada diposisi ibu.
Setiap hari ku coba mencari informasi mengenai Adel, yang ada dipikiranku saat itu, “Adel sudah dewasa, dia pasti memiliki hp sendiri”, ku mencoba mencari username di instxxram, ku ketik namanya “Radellya griandra”. Betapa senangnya ketika ku temui adikku sudah mulai bermain sosmed. Tak lupa ku follow dan ku kirimkan beberapa pesan.
“Hallo dek, ini kakaa. Bagaimana kabar Adel?”
“Baik ka, kaka sendiri bagaimana?.
“Alhamdullilah baik del, Adel sejak kapan pegang hp?”
“Baru sekitar satu minggu ka dibelikan Bure”
Percakapan kamipun berlanjut melalu whaxsxxp, aku memberi taunya bahwa ibu sedang sakit. Tapi ia sama sekali tak peduli. Aku bingung harus menjelaskannya seperti apalagi, aku sudah seberusaha mungkin menceritakan apa yang dulu terjadi, tapi ia sama sekali menganggap apa yang aku katakan adalah omong kosong. Tak lama dari percakapan tadi, tiba-tiba aku diblokir oleh Adel, aku tau ini adalah tindakan Bure. Ia takut aku akan menghasut Adel agar bisa luluh pada Ibu.
Hari-hari aku selalu memikirkan apa yang harus dilakukan agar Adel bisa tersadar bahwa Ibu sama sekali tidak bermaksud membuangnya. Satu minggu setelah percakapan itu, ku tekadkan untuk menemui Adel seorang diri, sesampainya disana aku sama sekali tidak diperbolehkan masuk oleh Bure, ia mencemooh dan mencaciku.
“Hei kamu berani-beraninya kamu kesini, dasar anak tidak tau diri, kamu itu sama persis seperti ibumu, pulang sana, aku tak akan mengizinkanmu menemui Adel!!”
Akupun pulang dengan langkah yang berat, karena rencanaku digagalkan oleh Bure, sepanjang jalan pulang aku hanya menangis mengingat kata-kata yang Bure lontarkan, betapa kejamnya ia menghasut adikku untuk membenci Ibunya sendiri. Ku tau aku dan ibu terlahir dari wanita biasa sehingga Bure merasa tidak selevel denganku, tapi aku tidak tau ada masalah apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu hingga Bure sebegitu bencinya pada ibu yang tlah berbaik hati padanya memberikan kesempatan agar merasakan rasanya dikaruniai seorang anak.
Bulan depan adalah ulang tahun Adel yang ke-17 tahun, yang berarti perjanjian itu telah selesai, Bure harus mengembalikan Adel pulang ke pelukan keluarganya, tetapi aku sudah tau jawabannya, Adel jelas tidak mau jika harus serumah dengan ibu. Aku semakin merasa tak ter arah, aku takut jika nanti ibu tiada tetapi Adel sama sekali tak mengenali jati diri orang yang melahirkannya sungguh sosok yang luar biasa. “Tuhan, apa yang harus ku lakukan?”

Biodata Penulis
Ananda Fitria Ramadhanti, mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Lahir di Banyumas, 18 Desember 2001. Agama Islam. Hobi menulis, dan menyanyi. Berdomisili di Desa Tambak Sari Kidul Rt 07/03, Kembaran, Banyumas (53182). No. Rek. 682901031211539/BRI an. Ananda Fitria Ramadhanti. HP. 089612916743. Instagram: @ananda.afr . Ponsel: anandafitriaramadhanti101@gmail.com

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *