Di hari ulang tahun Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi, kami ucapkan Barakallahu fi Umrika. Tokoh karismatik dari bumi Lombok ini adalah lokomotif Islam Washathiyah di Indonesia. Peran dan kontribusinya di lembaga legislatif dan eksekutif begitu nyata depan mata. Perjuangannya menebar luas Islam Washathiyah (Moderat) meninggalkan jejak-jejak yang tidak bisa dihapus.

Semenjak menjadi Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), beberapa prestasi yang telah di torehkan. Tahun 2008, NTB telah bebas dari statusnya sebagai provinsi tertinggal. Tahun 2013, NTB dicatat sebagai provinsi pertama yang berhasil mencapai sasaran tujuan pembangunan milenium (MDGs). Kemudian Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menobatkan TGB sebagai Gubernur Terbaik tahun 2017. Kini NTB istiqomah menerapkan konsep pariwisata halal.

Di bawah kepemimpinan TGB Majdi, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi NTB non-tambang tumbuh 7,1%, angka kemiskinan turun drastis menjadi hanya 3,25. Itu belum lagi urusan pembangunan manusia yang berhasil melalui peningkatan layanan dasar, pengurangan kesenjangan antar wilayah, peningkatan sektor pertanian, industri, dan jasa produktif (Republika, 6/3/2018).

Dilihat dari perjalanan karier kepartaiannya, TGB Majdi menggunakan beberapa parpol, seperti Partai Bulan Bintang (PBB), lalu Partai Demokrat (PD), dan Golkar (Kompas, 12/12/2018). Partai demi partai ini dicobanya tidak lain sebagai sarana perjuangan untuk menebarkan Islam Washathiyah. Dalam pandangannya, Islam bukan saja alat perekat melainkan juga hakikat dari kerekatan itu sendiri. Islam adalah solusi, yang memiliki manhaj dakwah tidak instan, berjangka panjang, dan menuju perubahan sangat sistematis (Republika, 17/3/2015).

Perjuangan menegakkan Islam Washathiyah ini merupakan amanah, salah satunya dari, Al-Azhar, Kairo, Mesir. Tahun 2019, TGB Majdi dinilai sukses oleh Al-Azhar sebagai alumni yang berhasil, dan karenanya mendapat penghargaan istimewa sekali. Grand Syeikh Universitas Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmed Al-Tayeb, M.A., menilai tokoh al-Azhar yang satu ini menonjol dalam mengukuhkan moderasi beragama (wasathiyyah al-Islam), nilai-nilai kebangsaan (muwathanah), dan nilai-nilai hidup berdampingan secara rukun dan damai (ta’ayusy silmi).

Dalam konteks sosial-politik-religius di Indonesia, wasathiyyah Islam akan terus menemukan kontekstualisasinya. Kekerasan atas nama agama, intoleransi beragama, dan ekstimisme destruktif masih menghantui kebangsaan kita semua. Kasus terakhir, tahun 2020, kekerasan agama kembali mencuat di India. Padahal, masyarakat dunia sedang menderita wabah pandemi Covid-19. Ini artinya intoleransi beragama adalah penyakit menahun akut.

Tidak heran apabila Menteri Agama (Menag) RI, Fachrul Razi, turut serta prihatin melihat India begitu bringas terhadap umat muslim. Padahal, sejarah panjang mereka dalam hidup berdampingan tercatat dalam sejarah. Dengan kata lain, wabah dan pandemi kemanusiaan ini tidak memandang situasi dan kondisi. Jika ingin meledak, perhatian dunia pada Covid-19 tetap tidak mampu menghentikannya. TGB Zainul Majdi adalah figur yang dipercaya Al-Azhar untuk terus berjuang di garda depan penegakan Islam Washathiyah, yang toleran, humanis, serta menjunjung kerukunan dan keadilan.

Tahun 2020 di tengah pandemi Covid-19, kekerasan atas nama agama di Indonesia cukup mereda. Namun, di tahun 2019, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan tingginya angka kekerasan yang mengatasnamakan agama di masa Presiden Joko Widodo jilid I. KontraS mengatakan, “pelaku kekerasan dilakukan oleh sesama masyarakat sipil (163 kasus). Kemudian Pemerintah (177 kasus), Ormas (148 kasus), dan Polisi (92 kasus),” (Republika, 22/10/2019).

Khusus tekait Covid-19 dan kebijakan New Normal dari pemerintah, TGB Majdi mengatakan, “tidak sesederhana tulisan-tulisan di media massa. Perubahan pasca Covid-19 memiliki implikasi sangat luas dalam kehidupan kegamaan. Oleh sebab itlah, seluruh Azhariyyin (alum al-Azhar) harus lebih serius lagi berkontribusi, baik dalam bentuk pemikiran maupun program kemasyarakatan, negara dan bangsa.” Ini dapat diartikan, jiwa pandemi Covid-19 tidak ditangani dengan baik maka tidak tertutup kemungkinan terjadi protes massa yang melahirkan chaos dan konflik sosial.

Selama ini kita tahu bersama, penanganan kekerasan oleh pemerintah tidak maksimal. Hal itu dibuktikan, setiap kali ada aksi kekerasan, cara aparat keamanan menertibkannya pun dilakukan dengan cara-cara represif. Ini mengingatkan pada Dalai Lama, spiritualis Buddha itu, “don’t let the behavior of others destroy your inner peace (jangan biarkan kekerasan orang lain merusak kedamaian batinmu).” Dalam konteks ini, pemerintah yang melakukan represi dalam menertibkan kekerasan sipil tidak dapat dibenarkan.

TGB Zainul Majdi tidak demikian. Karenanya, ia mengajar seluruh Azhariyyin berkontribusi dalam segala bidang. Sebab, Islam adalah solusi yang memiki manhaj dakwah tersendiri, yang sistematis, bervisi jangka panjang, tidak instan apalagi represif. Islam harus menjadi solusi, bukan bagian dari stimulan kekerasan. Itu baru berhasil bila Islam Washatiyyah ala Al-Azhar diterjemahkan bersama-sama oleh Azhariyyin ke dalam nilai-nilai dan aksi-aksi perjuangan di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang plural dan majemuk ini. Suatu bangsa yang sangat rentan perpecahan dan dirundung masalah.

Semangat keagamaan dan kebangsaan TGB Zainul Majdi sudah inheren dan genetis di dalam dirinya. Ia merupakan tokoh karismatik keturunan tokoh karismatik. Ia adalah putra dari Hajjah Rauhun Zainuddin Abdul Madjid, putri dari TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid (Tuan Guru Pancor), pendiri organisasi Islam terbesar di NTB, Nahdlatul Wathan (NW). Sementara Tuan Guru Haji (TGH) Pendiri NW ini adalah keturunan sultan Selaparang, sebuah kerajaan Islam di Lombok. Dari sanalah, genetika kepemimpinan TGB. Zainul Majdi sudah tidak diragukan lagi.

Pada masa penjajahan, TGH menjadikan madrasah-madrasah NW sebagai tempat latihan para santri sebelum melawan penjajah. Bahkan, tahun 7 Juli 1946, TGH turun tangan sendiri memimpin penyerbuan barak-barak militer pasukan NICA (Netherlands ndies Civiele Administration) di Selong. Adik kandungnya sendiri yang bernama TGH. Muhammad Faisal Abdul Madjid bersama dua santri NW wafat sebagai syuhada’.

Tidak berlebihan, dengan segudang pengalaman, prestasi semasa mengembang amanah sebagai ekskutif, sebagai agamawan karismatik dengan nasab keluarga yang terhomat, penulis menyebut TGB Majdi merupakan tokoh ideal di masa depan. Hari ini, di hari ulang tahunnya yang ke-48, semoga ia membawa berkah di masa-masa mendatang, dan mendapat amanah menjadi pemimpin masa depan. Demi mengahiri masa-masa paceklik kedamaian dan kerukunan hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia ini.[]

Pernah dimuat di tribunnews 19 Mei 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *