” Suatu hari aku menghadiri sebuah jamuan bersama Rasulullah Saw ” kenang Anas Bin Malik ” ketika beliau selesai menyantap hidangan, aku melihat beliau memungut satu-persatu potongan buah labu (Dubba’) yang ada di nampan.. Mulai saat itu aku mulai menyukai buah labu.. ” 

” فيه انه يستحب ان يحب المرء الدباء و كذلك كل شيئ يحبه صلى الله عليه و سلم ” 

” dari sini bisa kita ambil kesimpulan bahwa disunnahkan bagi seseorang untuk menyukai buah labu, begitu pula semua hal yang disukai Rasulullah Saw ” begitu dawuh Imam Nawawi mengomentari kisah Sayyidina Anas itu.. 

Jika Anas Bin Malik sebegitu cintanya terhadap Baginda Nabi, bahkan dalam urusan rasa suka terhadap makanan sekalipun. Abu Mahdzurah juga memiliki “tanda” cinta yang begitu menakjubkan. Di usia senjanya, Salah satu Tukang adzan Rasulullah Saw ini dikenal memiliki jambul yang sangat panjang. saking  panjangnya, jika diturunkan, rambutnya itu dapat menyentuh bumi. Setiap ada orang yang bertanya mengapa ia tak pernah mau memotong rambutnya itu, Ia menjawab .. : 

” waktu itu aku masih kecil.. ” ia menceritakan kenangan indahnya ” waktu itu aku berkata kepada Rasulullah Saw :

 ” wahai Rasulullah, ajarkanlah aku beradzan.. ” . Beliau lantas mengusap rambutku, lalu berkata : 

” katakanlah Allaahu Akbar Allahu Akbar… Dan angkatlah suaramu..” 

” Rasulullah Saw telah mengusap jambul-ku ini dengan tangan mulianya. maka aku tak kan pernah memotong rambut ini sampai kapanpun, sampai aku mati sekalipun.”

Kekuatan cinta juga memilki pengaruh yang sangat dikuat dalam diri Amirul Mu’minin Sayyidina Umar Bin Khattab Radhiyallahu Anhu.. kala itu ia memangku jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin di seluruh dunia. Suatu hari ia  hendak pergi ke masjid untuk melaksanakan khutbah Jum’at, sampai disuatu jalan, baju putihnya dihujani air bercampur darah yang berasal dari saluran air sebuah rumah yang menjorok ke jalan raya.. Karena menganggap letak saluran air itu akan membahayakan pejalan kaki disekitar situ, Sayyidina Umar langsung saja memerintahkan untuk menurunkannya, ia lalu pulang untuk mengganti bajunya.. 

Rupa-rupanya saluran air itu adalah milik Sayyidina Abbas, pamanda Baginda Nabi Saw. Di Jum’at itu ia baru saja meyembelih dua ekor burung yang darahnya “jatuh” tepat mengenai baju Umar melalui saluran itu. Mengetahui pipa airnya dicopot atas perintah Umar, ia segera mendatangi Rumah Umar dan berkata : 

” ( Kau tau siapa yang meletakkan saluran air itu disana..?) demi Allah, Rasululllah Saw sendiri yang meletakkan saluran air itu di tempat itu.. ” 

Mendengar itu,Sayyidina Umar langsung saja mengajak Sayyidina Abbas kembali ke tempat asal saluran air itu. Ia berjongkok dan memberikan pipa air itu kepada Abbas.. 

” Naiklah ke pundakku, letakkan pipa itu di tempat dimana Rasulullah Saw meletakkannya..” 

Allahu A’lamu Haitsu yaj’alu risaalatah.. Sebagaimana Allah maha tahu dalam memilih siapa yang paling layak menjadi Rasul-Nya, begitu pula Allah telah menentukan manusia-manusia pilihan untuk menemani perjuangan Utusan Agung-Nya itu.. Dalam urusan cinta dan rindu kepada Baginda Nabi, -tidak seperti kita- mereka bukanlah orang-orang yang banyak ucap dan ungkap. namun setiap inci dari tubuh mereka seakan menunjukkan betapa meluapnya totalitas dan rasa Cinta mereka kepada Rasulullah Saw.. Rasa Cinta itu benar-benar menjadi penguasa dan penentu dalam setiap perkataan, perbuatan, jejak langkah dan gerak-gerik mereka.. 

” jika kelak di hari kiamat Allah mentakdirkan diri ini bertemu dengan Baginda Nabi, aku tak akan mendekat. Aku hanya ingin memandangnya dari kejauhan.. ” Ucap salah seorang Ulama ..

” mengapa begitu.. ?” 

” Aku malu.. Bagiku diriku sama sekali tidak pantas berdesak-desakan dengan para sahabat-sahabat Nabi yang mulia itu.. ” 

Pun begitu, ketika Syaikh Ali Gomaa mantan Grand Mufti Mesir itu ditanya : 

” Apakah yang akan anda lakukan seandainya anda ada pada hari dimana Nabi Saw memasuki kota Madinah .. ?” 

Mahluk-mahluk gombal tak tau malu seperti kita mungkin akan menjawab :  aku akan mencium tangan Baginda Nabi, memeluknya, mengungkapkan cinta padanya.. Tapi beliau bukanlah kita, beliau malah menjawab : 

”  seandainya aku berada di momen itu, aku akan bersembunyi di balik tembok atau pepohonan.. Aku hanya berani untuk memandang beliau dari kejauhan.. Seperti inilah realita kita bersama Rasulullah Saw.. Karena anugrah untuk melihat dan berdekatan dengan Rasulullah hanya layak didapatkan oleh manusia-manusia agung itu. Sedangkan kita sama sekali belum bisa menyamai derajat mereka. Jika memang kita layak mendapatkan itu semua, Allah pasti akan menciptakan kita pada zaman itu..” 

Habib Umar pernah mengomentari demo-demo yang dilakukan kaum muslimin di seluruh dunia setelah munculnya karikatur di Denmark yang melecehkan Baginda Nabi Saw : 

” sebuah perkumpulan yang baik jika tak menyebabkan kerusakan dan didasari atas rasa cemburu terhadap Baginda Nabi Saw.. Tapi (mengapa baru sekarang?). kemanakah kalian selama ini.. ? Rasulullah tidak dikenal oleh kalian.. Rasulullah tidak dikenal di rumah-rumah kalian, Rasulullah tidak dikenal oleh anak-istri kalian..Rasulullah tidak dikenal oleh teman-teman dekat kalian.. ? ” 

Di bulan kelahiran Baginda Nabi ini.. Sepertinya kita masih hanya bisa mengaku-ngaku rindu dengan hati hampa dan semu, Dengan mudah kita mengungkap cinta, sedangkan hal-hal tak penting lebih kita ketahui dari sejarah hidup baginda. Mengatakan Rasulullah adalah panutan, nyatanya kita malah sering menuruti nafsu dan kelalaian. Satu kalimat yang mungkin bisa menjelaskan realita kita adalah apa yang diucapkan Habib Ali Al-Jufri waktu itu.. 

” Maa Ajhalana Bi Rasulillah.. Betapa bodohnya kita akan Rasulullah Saw.. !!”

Sekali lagi, jika kelak Allah mentakdirkan kita untuk bertemu dengannya, kita harus sadar, bahwa kita bukanlah mereka, yang layak mengungkap rindu dan cinta lantas kemudian dibalas oleh senyum indah Sang Baginda. orang-orang seperti kita lebih pantas terdiam, menangis dan mendunduk malu. Meminta ridho dan maaf atas segala kelalaian dan dosa..

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *