Limapuluh Kota, daerah Pedalaman Minangkabau, ialah salah satu basis Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Sejak abad 19 hingga saat ini, Limapuluh Kota tetap menjadi konsentrasi pengamal thariqat mu’tabarah tersebut. Beberapa nama ulama terkemuka yang menjadi tokoh Thariqat Naqsyabandiyah di Limapuluh Kota, diantaranya (1) Maulana Syaikh Abdurrahman al-Khalidi Batuhampar, wafat 1899 M, yang tidak lain ialah kakek dari Moh. Hatta, Proklamator RI, (2) Syaikh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka, wafat 1920 M, yang disebut syaikhul masyaikh Ulama Minangkabau, dan (3) Maulana Syaikh Mudo Abdul Qadim Belubus, wafat 1957 M, ulama sufi berpengaruh luas.

Menarik untuk disimak, bahwa ulama-ulama Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, terutama setelah kemerdekaan, mempunyai nasionalisme yang tinggi; bagaimana kesetiaan mereka terhadap RI. Ini dapat dilihat, antara lain bahwa anak keturunan dan murid-murid mereka menjadi garda terdepan dalam mempertahankan kemerdekaan. Kita ingat Lasymi (Laskar Muslimin Indonesia) yang berjuang di garis depan ketika agresi Belanda. Lasymi dipimpin oleh Angku Hasan Basri Sa’adi, seorang ‘alim ternama, anak Syaikh Jamil Sa’adi dan Maulana Syaikh Abdul Wahid Asshalihi Tobek Godang, dua ulama sufi dalam Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah.

Ini juga dapat dilihat dari teks ijazah irsyad Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Thariqat Sammaniyah Khalwatiyah. Setelah kemerdekaan, teks ijazah ini ditambah dengan bagian berbahasa Indonesia, selain berbahasa Arab. Pada bagian teks ijazah berbahasa Indonesia tersebut tertulis kalimat “Patuh dan taat kepada pemerintah Republik Indonesia yang sah berdasarkan kepada Undang-undang Dasar 1945”. Ini merupakan bukti kecintaan ulama-ulama tersebut kepada negara.

Selain itu terdapat pidato kemerdekaan dari seorang tokoh Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Taeh Baruah – Payakumbuh. Tokoh tersebut ialah Inyiak Ahmad Sanusi Hamid, yang sebelumnya belajar agama, termasuk juga Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, di Surau Baru, Mungka Tuo. Pidato tersebut ditulis pada 1947, terdiri dari tiga teks, dalam Arab Melayu – Minangkabau. Sepertinya teks ini dibacakan dalam sebuah kerapatan umum.

Diantara isi pidato tersebut:

“……Angku-angku yang mulia! Dengan ini hamba sampaikan ke muka angku-angku bahwa sekarang kita telah merdeka, maka sewajibnya bagi kita semua apabila bertemu dengan kawan-kawan kita mestilah kita baca salam kemerdekaan pula yaitu: Merdeka!”

“….. oleh sebab itu hendaklah kita semuanya bersifat takut. Takut itu adapula bertingkat-tingkat. Tingkat itu adalah dengan sekira tajam ma’rifat kita kepada Tuhan. Kalau sekira tipis ma’rifat kita, tentu takut itu tipis pula. Kalau sekira tebal ma’rifat kita tentu takut tebal pula.

….. oleh sebab itu pula, dari sekarang hendaklah kita pertebal ma’rifat kita kepada Tuhan. Mempertebal ma’rifat itu ialah dengan banyak muraqabah, artinya sehadap hati kita kepada Tuhan, setiap nafas kita keluar masuk.

….. buat mendapat muraqabah ini adalah dengan mencempungkan diri ke dalam Thariqat Ahlussunnah wal Jama’ah, setengah thariqat itu ada di negeri kita yaitu Thariqat Naqsyabandiyah.

….. sekian dahulu, salah janggal perkataan hamba harap maafkan. Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa-barakatuhu. Merdeka!!!”

Tiga teks pidato tersebut berisi (1) seruan untuk mengingat akhirat sebagai kampung sebenarnya, (2) selalu taat kepada Allah dan Rasul, (3) pentingnya pendidikan bagi generasi muda, dan (4) penjelasan untuk selalu bersifat takut pada Allah. Setiap akhir pidato selalu dengan kalimat: Merdeka!!!

Semoga kita dapat bertauladan kepada ulama-ulama tersebut, mengenai ilmu dan amal, berikut kecintaan mereka kepada agama, bangsa dan negara.

SELAMAT HUT KEMERDEKAAN RI KE-75 TAHUN.

MERDEKA!!!!

Foto: Teks Pidato Inyiak Sanusi Hamid, 1947.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *