Ketika sowan ke para kiai, saya membiasakan membawa dua benda. Pertama, buku catatan. Buat menulis poin-poin penting yang disampaikan, juga mencatat dawuh yang quotable, alias layak dijadikan kata mutiara di meme di media sosial atau Medsos.

Kedua, handphone, fungsinya untuk merekam pembicaraan, selebihnya buat jeprat-jepret bersama shahibul bait. Sebuah tradisi baru yang muncul setelah populernya Medsos.

Hal ini saya lakukan agar silaturahim tidak ‘sia-sia’ dan sepulangnya ada tambahan ilmu maupun ‘ngelmu urip’ yang saya dapatkan. Jadi, biasanya ketika sowan durasi bisa berlangsung minimal satu jam dan pernah dalam beberapa pisowanan, durasi obrolan berlangsung hingga 2 sampai 3 jam. Itu pun karena kiainya ada kegiatan lain yang sudah terjadwal, andaikan tidak, bisa lebih lama lagi.

Saya menganggap pisowanan semacam ini sebagai ajang unduh ilmu. Sayang jika hanya ngobrol ngalor ngidul tidak jelas topiknya. Apalagi jika kiainya hanya diajak rasan-rasan tokoh A, B, dan C, atau bicara soal teori konspirasi yang tidak jelas. Supaya proses ngangsu kaweruh berjalan dengan hasil maksimal, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama. Jika kiainya belum kenal, kita perlu memperkenalkan diri, berikut asal dan almamater pondok yang pernah kita belajar di dalamnya. Agar lebih akrab cari satu hal yang membuat lebih dekat. Misalnya, kesamaan hobi. Ini bisa kita dengar dari beberapa orang yang pernah sowan. Ada kiai hobi pelihara ikan koi dan burung, koleksi akik, maupun otak atik onderdil mobil klasik. Bisa juga langsung bicara soal idolanya, misalnya kiai A, habib B, atau syekh C. Kita bisa mengawalinya dari topik ini. Secara psikologis, orang lebih asyik dan larut jika diajak berbincang topik yang dia sukai dan dia kuasai. Jika sudah klik, dan kiai kita posisikan sebagai penikmat hobi yang mengetahui seluk-beluk kegemarannya, atau sosok yang dekat dengan idolanya, maka obrolan berikutnya bisa dijamin lancar dan betah.

Dalam teori psikologi-komunikasi ini disebut appreciative inquiry. Yaitu membicarakan sebuah topik disesuaikan dengan lawan bicaranya. Membicarakan sesuatu yang menjadi kekuatan dan kesenangannya, bukan kelemahan dan hal yang tidak disukainya.

Kedua, tentukan tema keilmuan yang hendak didiskusikan dengan melihat latarbelakang keilmuan yang dimiliki oleh kiai yang hendak disowani. Jika kiai suka kajian sejarah, maka kita bisa memancing diskusi ini dengan sebuah pertanyaan kunci. Biasanya nanti akan mengalir hangat. Gayeng penuh ilmu. Ketika saya sowan Prof Dr KH Imam Ghazali Said  misalnya, satu pertanyaan tentang daerah di Mesir, Asyuth, dijawab oleh beliau dengan komplit. Dari sejarah kota dan negara Mesir, kaitan Imam As-Suyūthi dengan keilmuan ulama al-Azhar dan sebagainya. Karena beliau pernah tinggal lama di Mesir dan suka kajian sejarah dan geopolitik Timur Tengah, maka mengalir pula kajian ideologis di kawasan ini. Satu pertanyaan dijawab oleh Kiai Ghazali Said dengan rentetan jawaban dan menakjubkan. Saya keteteran mencatat, untunglah ada handphone yang saya gunakan merekam. Sebagai bonus, saya diberi oleh-oleh buku oleh Pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo Surabaya ini.

Tatkala sowan ke Dr KH Afifuddin M Afifudin Dimyathi , Januari 2020, saya ingin kulak ilmu tentang perkembangan kitab tafsir. Sangat tepat karena selain beliau menguasai topik ini, ulama muda asal Jombang ini juga menulis kitab bertema al-Qur’an dan tafsirnya. Obrolan 1 sampai 2 jam serasa kuliah beberapa SKS. Pulang juga diberi buah tangan berupa karya beliau. Nikmat betul, kan? Dapat ilmu, dikasih kitab pula.

Kemarin, ketika bersama istri sowan ke KH Masrukhin, Kradenan Jetis Ponorogo, saya sengaja bertanya sejarah lokal Ponorogo. Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an al-Mardliyyah ini menjelaskan dengan gamblang historiografi kota Reog. Termasuk ketika saya diminta menghadap bagan silsilah nasab yang tertempel di dinding ruang tamunya. Beliau menjelaskan dengan detail jejaring ulama Ponorogo abad ke-18 dan 19 beserta keterkaitan nasab biologis dan ideologis satu sama lainnya.

Pengetahuan saya soal sejarah Islam lokal di Ponorogo juga bertambah setelah malam harinya saya bersama Mas Anis Dardiri sowan selama 2,5 jam ke ndalem KH Hanif Abdul Ghofir Ma’ruf, Pengasuh Pondok Pesantren Darun Naja, Jalen, Mlarak, Ponorogo. Keterangan dua kiai ini soal kesejarahan dan perkembangan Islam di Ponorogo layak dibukukan, dengan catatan disertai referensi kesejarahan yang melimpah.

Dari sini kita paham apabila fondasi sejarah lokal seringkali bukan berada pada meja-meja akademisi kampus, melainkan di dampar ndalem para kiai. Mereka memahami urat nadi masyarakat sekaligus mengerti jantung kesejarahan di daerahnya karena kesehariannya mendampingi umat dan punya cantolan historis berdasarkan cerita tutur dari keluarganya.

Ketiga, jika sowan kepada ulama sepuh, saya memilih topik Ngelmu Urip alias tips menjalani kehidupan agar selamat dunia akhirat. Ini saya lakukan saat sowan ke KH Husein Ilyas, Mojokerto; KH A Mustofa Bisri, Rembang; maupun ke (almaghfurlah) KH Mahsun Masyhudi, Ujungpangkah, Gresik; (almaghfurlah) KH Dahlan Basuni, Peneleh, Surabaya; KH Wahib Syafaat (ayahnya Mas Atabik Faza ), Gandu, Mlarak, Ponorogo; dan beberapa kiai sepuh lain.

Asam-garam kehidupan yang beliau-beliau jalani sangat pantas diekstrak untuk kita terapkan dalam menjalani hidup. Ada banyak ngelmu urip yang saya unduh, dan sebagian sudah saya tulis dalam beberapa artikel. Dalam tradisi intelektual Islam-Jawa, hal ini disebut piwulang. Pelajaran hidup, pitutur yang bisa disusun menjadi partitur kehidupan agar bisa menjadi manusia yang baik di hadapan Gusti Allah.

Keempat, banyak kiai kita yang multitalenta, mutafannin, punya banyak kemampuan. Selain kulak ilmu, kita bisa minta ijazah mengamalkan amalan rutin. Beliau-beliau biasanya tidak pelit berbagi ijazah. Ingin bisa haji-umrah, diberi amalan khusus. Ingin rezeki melimpah, juga dikasih bacaan aurad. Termasuk andaikan mau berbaiat tarekat, para kiai juga mempersilahkan, juga siap membimbing.

Ini di antara beberapa tips agar pisowanan kita kepada para kiai bukan diakhiri sesi foto bersama saja, melainkan juga punya oleh-oleh ilmu. Berbincang 1 sampai 2 jam dengan topik yang difokuskan serasa kuliah beberapa SKS. Pahala silaturahmi didapat, nge-charge ilmu juga diperoleh. Manfaat ganda!

Wallahu a’lam bishshawab.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *