Dalam hampir lebih dua dasawarsa terakhir ramai sekali perdebatan tentang peran alumni pesantren yang mulai tergusur dengan hadirnya ustad selebritis dan ustadz kampus (alias produk perguruan tinggi umum). Ikutilah dialog Paijo dan Jama’ah salafi berikut ini.

Jama’ah : ” Jo kayaknya para ustadz pesantren mulai tidak menarik perhatian masyarakat kota dan bahkan di desa-desa yang sudah maju. Sekarabgbgikiran ustadz seleb dan kampus yang salafi yang ramai dijadikan rujukan bergama. Bagaimana menurutmu ?”

Paijo : “Jujur saja saya tidak terlalu paham dunia pesantren dan perguruan tinggi, tapi saya bisa merasakan bahwa sekarang memang sedang terjadi pendangkalan “ilmiah” di kedua lembaga pendidikan tersebut. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sudah sedikit sekali santri dan mahasiswa yang secara serius memahami hakekat ilmu sekaligus pengetahuan. Padahal kedua lembaga itu seharusnya bisa melahirkan “ulama” yang tidak saja menguasai ilmu tetapi juga sekaligus pengetahuan.”

Jama’ah : ” Waduh Jo, kok jadi bingung saya, bisakah kamu menjelaskan dengan cara yang lebih sederhana?”

Paijo : “Lha katanya kalian ornag modernis salafi kok malah bingung. Begini lho kang ; Seorang ulama harusnya merupakan orang yang bijak (karena memiliki pengetahuan) dan tawadhu’ (karena berilmu), karena dia tahu ilmu memiliki dimensi spiritualitas yang terkadang tidak rasional. Ilmu adalah cahaya, itulah yang dahulu ditekankan untuk dipahami oleh setiap santri pesantren. Siapapun akan susah memahami konsep ilmu sebagai cahaya dengan nalar rasional. Karena itulah para santri lebih suka mengejar ilmu dengan cara riyadoh yang kadang tidak masuk akal. Sehingga terkadang para santri “lupa” sisi pengetahuan dari ilmu yang membutuhkan nalar rasional. Sedangkan para mahasiswa terlalu sibuk “mengumpulkan” pengetahuan sehingga lupa terhadap hakekat ilmunya yang mengandung sisi irasional/spiritual.

Jama’ah : “Lantas hubungannya dengan kami ini apa Jo?”

Paijo : ” Kalian kang sering mengaku lebih modernis, padahal masyarakat modern itu dibangun dengan paradigma pengetahuan yang rasional untuk kepentingan material. Akibatnya ustadz kampus yang menekankan pada aspek simbol material sekarang lebih “laku”, ketimbang ustadz pesantren yang masih belum terbiasa melampaui teks yang mereka kuasai, sebab terlalu sibuk mencari “kegaiban” ilmu. Padahal masyarakat membutuhkan kedua aspek ilmu dan pengetahuan secara seimbang. Karena itulah ke depan kalian yang alumni pesantren harus menambah wawasan pengetahuan dengan sungguh2 tanpa meninggalkan akar keilmuan kalian. Sedangkan para sarjana harus mulai memikirkan hakekat ilmu, sehingga tidak terjebak pada nalar meterial yang juga menipu.” #SeriPaijo

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *