Sumbangan Syaikh Zakariya Abdullah Bilah Dalam Karyanya I’lam Dzawi al-Ihtisyam bi Ikhtishar Ifadah al-Anam bi Jawaz al-Qiyam li Ahl al-Fadhl wa al-Ihtiram

Dalam lingkungan yang agamis, ditemukan sebuah kebiasaan yang baik, dimana seorang akan berdiri sebagai sambutan atas orang lain yang datang kepadanya, dimana secara derajat lebih tinggi dan mulia darinya. Tradisi ini berlaku dari lingkungan yang lebih kecil, seperti satu keluarga dimana seorang anak menyambut kedatangan orang tuanya dengan berdiri, atau bahkan yang lebih luas, seperti negara, dimana para raja dan pemimpinnya akan dihormati oleh bawahannya. Dalam dunia pesantren –tanpa menafikan lembaga pendidikan lainnya- kebiasaan ini menjadi cerminan tersendiri dari kehidupan santri ketika bertemu dengan para kiai dan guru.

Namun, apakah perbuatan tersebut sudah menjadi kesepakatan antara ulama atas kebolehannya atau termasuk persoalan yang diperdebatkan. Dalam karya Syaikh Zakariya Abdullah Bilah yang berjudul I’lam Dzawi al-Ihtisyam bi Ikhtishar Ifadah al-Anam bi Jawaz al-Qiyam li Ahl al-Fadhl wa al-Ihtiram setidaknya menjelaskan adanya polemik ulama terkait status hukumnya, dimana penulisnya memilih pendapat yang membolehkan. Dalam mukadimah, ia menjelaskan alasan penulisan kitab tersebut.

قد رأيت كثيرا من الناس فى هذا الزمان, إذا دخل عليهم ملك, أو أمير, أو وزير, أو عالم, أو صاحب جاه وإحسان, يقفزون قياما على أقدامهم, احتراما لهذا القادم عليهم, وتكرمة وتقديرا لمقامه. وفى مثل هذا القيام, قال بعض العلماء إنه حرام وفاعله آثم, لإتيانه فعلا منهيا عنه, بدليل ما أخرجه أبو داود فى سننه عن أبى أمامة -رضى الله عنه- قال, خرج رسول الله –صلى الله عليه وسلم- متوكئا على عصاه, فقمنا أليه, فقال: (لا تقوموا كما تقوم الأعاجم, يعظم بعضه بعضا). ولما كان هذا الفعل قد عم وطم, وحل بين طبقات الأمم,حتى بين طبقات العلماء, والمتعلمين فى المحافل والمجالس والاستقبال. والقول بالتحريم له خطورته العظيمة فى الحال والمآل, حفزنى الدافع العلمى الى البحث فى هذه المسألة.

(pada zaman ini, saya banyak melihat, apabila seorang raja, amir, menteri, ulama, pejabat dan orang baik datang, banyak orang menyambut mereka dengan berdiri, sebagai penghormatan kepada mereka. Sebagian ulama mengatakan, hal tersebut adalah haram dan pelakunya berdosa, sebab melakukan sesuatu yang dilarang, dengan dalil sebuah hadis riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya, dari Abu Umamah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW keluar dengan menggunakan tongkatnya. Kami kemudian berdiri menyambutnya, tetapi nabi bersabda (jangan kalian berdiri sebagaimana berdirinya orang-orang asing, yaitu mereka saling membesarkan satu dengan yang lainnya). Padahal, perbuatan ini sudah menjadi tradisi dan dilakukan antara bangsa, bahkan ulama, pelajar dalam setiap perkumpulan, majelis dan perjumpaan. Sementara, pendapat yang mengharamkan adalah sesuatu yang berbahaya. Oleh karenanya, atas dasar keilmuan, saya menulis persoalan ini).

Dari penggalan mukadimah di atas, ditemukan bahwa penulis melihat perbuatan tersebut sudah menjadi tradisi di hampir semua tempat, tetapi ada sebagian ulama yang tidak membolehkannya. Saya tidak mengetahui kapan tepatnya ia menyelesaikan karya ini, sehingga tidak diketahui siapa ulama pada zaman penulis yang mempertentangkan dan mempersoalkannya.

Dalam karya tersebut, masih dalam mukadimah, penulisnya menyebutkan bahwa ia menggunakan 36 rujukan setelah membaca kurang lebih kitab terkait pembahasan. Setelah selesai ditulis, ia mengirimkan naskah tersebut kepada beberapa ulama besar di Mekkah dan Madinah; baik ulama yang berasal dari dua kota suci umat Islam tersebut atau ulama yang sedang datang dan berziarah. Tanggapan ulama atas karya ini dinilai positif oleh penulisnya. Kitab ini yang semula berjudul Ifadah al-Anam bi Jawaz al-Qiyam li Ahl al-Fadhl wa al-Ihtiram (penjelasan kepada manusia terkait bolehnya berdiri kepada orang saleh dan terhormat). Oleh karena pembahasan terlalu panjang, penulisnya kemudian meringkas kitab tersebut menjadi judul di atas yang memuat 28 halaman.

Apa yang dibahas penulis dalam karya tersebut, tidak lain adalah perdebatan dan polemik atas status hukum berdiri ketika menyambut orang yang lebih mulia darinya. Dalam membahas polemik tersebut, setidaknya penulis menampilkan pendapat-pendapat ulama-ulama terkemuka dan kemudian menganalisa sumber hadis yang dijadikan rujukan oleh kedua belah pihak.

Ulama-ulama yang dirujuk adalah ulama-ulama klasik dan juga termasuk guru langsung penulisnya. Mereka adalah Imam al-Khattabi dalam Syarh ala Sunan Abi Dawud, Imam Nawawi dalam Al-Adzkar, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Imam Abdullah al-Maqdisi dalam Al-Adab al-Syar’iyah wa al-Minah al-Mar’iyah, Imam al-Safarini dalam Gidza al-Albab, Imam al-Qarafi dalam al-Furuq, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki (gurunya di Mekkah), Syaikh Husain al-Maliki dalam Fatawa Ulama al-Haramain, Syaikh Habibullah al-Syanqiti dalam Fath al-Mun’im, Imam Abdullah al-Murdawi dalam Manzhumah al-Adab dan lainnya. Ulama-ulama tersebut semunya mengatakan status hukum kebolehan melakukan hal tersebut.

Menurut mereka, orang-orang mulia yang dibolehkan berdiri menyambut mereka adalah pemimpin negara bagi rakyat, kedua orang tua bagi anak, mertua bagi menantu, guru bagi murid, orang yang lebih tua, orang saleh, terhormat, dermawan. Sebagian ulama memberi batasan tertentu, seperti pemimpin (baik raja, sultan, presiden dan lainnya) harus yang adil dan bijaksana. Penghormatan dengan berdiri tersebut juga untuk menghormati dan berbuat baik kepada mereka, bukan sebagai mengagungkan dan membesarkan. Oleh karenanya, penghormatan tersebut karena terdapat unsur keilmuan, kesalehan, keutamaan, kemuliaan, hubungan darah dan pernikahan, dan umur. Sebagai contoh, akan diberikan 3 pendapat ulama-ulama tersebut:

  1. Imam Nawawi dalam Al-Adzkar mengatakan bahwa memuliakan orang yang datang dengan berdiri sebagai penyambutan dibolehkan bagi mereka yang memiliki keutamaan yang jelas, seperti keilmuan, kesalehan, kemuliaan, wilayah hubungan darah dan pernikahan dan lainnya. Sikap berdiri tersebut karena berbuat baik, menghormati dan memuliakan, bukan untuk membesarkan dan menampilkan sikap riya’. Pendapat yang kami pilih adalah perbuatan ulama salaf dan juga khalaf.
  2. Imam al-Qarafi yang menyaksikan secara langsung pendapat gurunya, Imam Izuddin Abdul Salam, ketika ditanyakan kepadanya. Soal, apakah pendapat ulama dalam persoalan berdiri yang dilakukan orang-orang zaman sekarang, padahal hal tersebut tidak ditemukan dalam amalan dan perbuatan ulama salaf. Ia menjawab bahwa tidak melakukan penghormatan dengan berdiri di zaman sekarang menyebabkan sikap dan perbuatan yang memutuskan hubungan.
  3. Syaikh Muhammad Habibullah al-Syanqiti dalam Fath al-Mun’im memberikan standar boleh-tidaknya perbuatan tersebut dengan mengatakan bahwa standarya adalah tradisi baik menurut masyarakat setempat. Apabila masyarakat menganggap baik perbuatan tersebut, maka ia menjadi boleh. Tetapi, apabila sebaliknya, seperti yang terjadi di negeri asal penulisnya, yaitu Syanqit, maka perbuatan tersebut tidak termasuk yang boleh dilakukan.

Menurut ulama asal Bilah Labuhan Batu ini, meskipun termasuk persoalan yang diperdebatkan status hukum, tetapi mayoritas ulama membolehkannya. Penulis juga menampilkan sumber hadis dari kedua belah pihak dan menganalisa sesuai dengan keilmuannya. Oleh karenanya, ia memilih pendapat mayoritas ulama yang membolehkan.

Siapakah Syaikh Zakariya Abdullah Bilah. Menurut saya, namanya tidak sepopuler temannya di Mekkah, yaitu Syaikh Muhammad Yasin Padang yang dikenal dengan musnid dunia. Tetapi, keduanya merupakan diantara ulama Nusantara yang bermukim di Mekkah pertengahan dan ujung abad 20 masehi. Keduanya sering melakukan perjalanan ke Nusantara. Beberapa foto yang beredar luas di media sosial menunjukkan kedekatan mereka, seperti kunjungan mereka ke pesantren tertua di Sumatera Utara, Mustafawiyah Purba Baru, tampak yang menyambut mereka adalah Syaikh Muhammad Jakfar Mandailing (alumni Mekkah dan Mesir), Syaikh Abdullah Mustafa Husain (anak kandung pendiri pesantren), dan lainnya.

Biografi ulama asal Bilah ini sudah ditulis secara lengkap oleh Prof. Dr. Ibrahim Abu Sulaiman ketika memberikan tahkikan dan komentar atas karya monumental penulis tentang biografi ulama Nusantara dan Arab di Haramain, yang berjudul Al-Jawahir al-Hisan fi Tarajim al-Fudhala’ wa al-A’yan min Asatidaz wa Khillan (mutiara yang elok dalam membahas biografi ulama dan tokoh dari kalangan guru dan sahabat).

Nama lengkapnya adalah Syaikh Zakariya bin Syaikh Abdullah bin Syaikh Hasan Bilah. Ia dilahirkan di Mekkah pada malam Jumat, 7 Jumadil Ula 1329 H/ 1911 M. Belajar kepada ayahnya, Syaikh Abdullah Bilah, kakeknya dari jalur ibu, Syaikh Abubakar Tambusai dan beberapa ulama besar Mekkah dan Madinah, seperti Umar Bajunaid, Syaikh Umar Hamdan al-Mahrasi, Syaikh Abdullah al-Bukhari, Syaikh Abdullah al-Syafi’i, Syaikh Hasan Masyath, Syaikh Mukhtar Makhdum, Syaikh Muhsin al-Musawa Palembang, Sayyid Abubakar Salim, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki, Syaikh Muhammad Fathani, Syaikh Mahmud Zuhdi Fathani, Sayyid Ahmad Abdullah Dahlan, Syaikh Abbas al-Maliki, dan lainnya. Menurutnya, riwayat ini merupakan tulisan tangan langsung Syaikh Zakariyah Bilah yang ditemukannya.

Ia melakukan kunjungan ke Indonesia selama 3 kali: 1) pada tahun 1396 H bersama beberapa ulama Nusantara lainnya, seperti Syaikh Muhammad Yasin Padang, KH. Ahmad Dahlan Kediri, Sayyid Hamid al-Kaff, Syaikh Abdul Rahim Timur, Syaikh Mukhtar Palembang, dan Syaikh Muhammad Adenan. Kunjungan ini atas undangan dari menteri agama saat itu, Prof. Abdul Mukti Ali. Dalam kunjungan pertama ini kesan yang disampaikan sangat baik, bahwa ia menemukan manuskrip Gayah al-Wusul Syarh Lubb al-Ushul karya Syaikh Muhammad Mahfuzh Termas yang saat itu berada di tangan cucunya di Jakarta, 2) undangan ketua umum Nahdatul Ulama (NU) saat itu, KH. Idham Khalid, dan 3) undangan menteri agama RI saat itu, Jenderal Alamsyah. Kunjungan-kunjungan tersebut dimanfaatkan untuk bertemu sanak saudaranya di Jakarta dan Medan. Sebab, dua pamannya berada di Sumatera Utara dan berhasil mengembangkan bisnis perniagaan di beberapa wilayah ini.

Medan, Senin, 12 Muharram 1442/ 31 Agustus 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *