120 tahun silam dikampung Cikaroya babakan Tipar Sukabumi,tepat tahun 1900 silam telah lahir sosok Muhammad Masthuro.Ia adalah putra alm.Kamsol seorang amil desa, Masthuro sejak kecil sudah diwarisi segudang ilmu agama oleh ayahandanya,hingga mengantarkan dirinya sukses mengukir karya gemilang mendirikan Pondok Pesantren Al-Masthuriyyah 01 Januari 1920 sampai kini.
Almasturiyah dulu, saat pertama kali berdiri 100 tahun sila, punya nama awal Pondok Pesantren Sirojul Athfal.
Berbekal ilmu yang didapat dari sang ayah, Muhammad Masthuro pun mulai keliling menyambangi ulama-ulama besar yang ada disukabumi kala itu.Berawal dengan menimba ilmu H.Asy’ari tahun 1909-1914, ia lanjutkan menyambangi KH.Katobi 1911-1914.
Tak cukup ilmu yang diperolehnya, membuat Muhammad Masthuro kian semangat menyerap ilmu agama.Tahun 1914-1915 giliran K.H. Hasan Basri dijadikan panutan ilmunya, menyusul berikutnya K.H. Muhammad Kurdi.
Nyaris tak ada yang terlewatkan, semua ilmu-ilmu ulama sukabumi olehnya terus digelutinya. Begitupun sederet keilmuan K.H. Ghazali berhasil terserapnya tahun 1915-1916. berhasil juga menimba ilmu penting K.H. Muhammad Sidiq sekitar tahun 1916-1916.
Bahkan yang membuat sosok pendiri Pondok Pesantren Almasthuriyyah, makin mantaf memiliki keilmuan soal-soal agama, ternyata putra alm.Kamsol itu pernah digodok ilmu-ilmu penting K.H. Ahmad Sanusi tahun 1918-1920 silam
Semangat menempa ilmu agama, menjadikan KH.Muhammad Masthuro terus tak lelah mendalami ilmu-ilmu agama.Sampai akhirnya ia menyerahkan dirinya untuk di didik guru para ulama sukabumi, Habib Syekh Ibnu Salim Al Attas hingga wafatnyapun dikebumikan berdampingan dipemakaman komplek pondok pesantren Almasthuriyyah Cisaat Sukabumi.
Pendiri Pondok Pesantren kenamaan sukabumi, Almasthuriyyah rupanya dikarunia 13 putra dan putri.Menyamai kiprah sang ayah salah satu putranya alm. KH E. Fachrudin Masthuro, sempat menduduki Wakil Rais ‘Aam PBNU, sampai akhir hidupnya beliau tercatat selaku MusytasayarPBNU.
Meraih Kedudukan selaku wakil rais aam, bukanlah kedudukan yang main-main di NU, soalnya memiliki peranan penting kedua dalam pimpinan tertinggi,setelah rais aam.Maka siapapunyang terpilih menjadi wakil rais aam adalah kiai yang secara terstruktur dan keilmuan telah teruji dalam segala hal
Ia, merupakan putra sukabumi yang tumbuh dan besar kala zaman kolonolial Belanda,dirinya gigih berjuangmembela rakyat.Tak jarang Belanda merasek memasukilingkungan pesantren binaannya, sambil mengancam untuk mencari para pejuang kala itu.Namun Masthuro tak gentar membela rakyat dan para pejuang hingga kini.
Enam hal dijadikan pedoman utama putra-putrinya,sebagai penerus kelanjutan perjuangan KH.Muhammad Masthuro. Diantaranya bersatu untukkemajuan pesantren,jangan hasud,harus menutupi aib orang lain,mestisaling mengasihi, sukamemberi, harus mengikuti tarekat orangtuanya.
Implementasi pesan Alm. KH.Muhammad Masthuro, rupanya direspon cepat oleh putra-putrinya hingga kini.Semua hidup bersama dikomplek ponpes dengan tujuan memajukan dan menjalankan amanah ayahandanya terus membangun dan mengembangkan Al-Masthuriyah.
Tak ayal, dalam waktu singkat Al-masthuriyah mengalami kemajuan pesat diawali lahirnyaLembaga pendidikan di Pesantren mulai dari Raudhatul Athfal (RA) hingga perguruan tinggi,
Sederet torehan karya pendiri pondok pesantren Almasturiyah, mulai berhasil menerbitkan kitab Kaifiyatus Solat disajikan dalam bentuk bahasa arab tebal 89,akumulasi berbagai sumber keilmuan.
Soal politik bagi putra alm.Kamsol itu, tak usah diragukan lagi, kiprah politiknya diawali saat pemilu yang pertama kali dihelat di negeri ini.KH.Muhammad Masthuro menambatkan hati politiknya membesarkan partai NU tahun 1955, mengikuti jejak sang kakek.
Seiring terjadinya pasang surut perubahan gelombang politik di Indonesia, rupanya tak merubah haluan politik keluarga besar keturunan ulama besar pendiri Almasturiyyah.tak pelak saatPemilu tahun 1971 suara keluarga besar dan santri Al-Masthuriyah tetap disalurkan pada NU
Seiring dengan perubahan sistem politik ditanah air,saat NU berhaluan ke partai berlambang ka’bah, kembali politik keturunan KH.Muhammad Masthuro dan Ponpes Al-Masthuriyyah makin kuat memberikan dukungan ke partai tersebut.
Inilah potret kiprah politik KH.Muhammad Masthuro dan NU, sampai akhirnya tahun 1999 usai bangsa ini mengalami perubahan secara menyeluruh, Ketiga putra pendiri Almasturiyah, saling berbagi resep politik yakni KH Syihabudin, KH Fakhrudin dan KHAziz Masthuro. KH Masthuro mengarang kitab berjudul Kaifiyatus Shalat, tebal 89 halaman, yang ditulis dengan bahasa Arab yang mudah dipahami. Kitab ini merupakan tukilan dari berbagai kitab yang membahas bab shalat, mulai dari Safinatun Naja, Sulam Munajat, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, tapi lebih banyak dari kitab Bajuri. Ajengan Muhammad Masthuro wafat pada 27 Rajab 1968. Makamnya berdampingan dengan sang Guru yakni Habib Syekh bin Salim di sebelah Utara, depan kompleks Pondok Pesantren Al Masthuriyah (Pintu masuk Pondok Putri), Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat.
No responses yet