Oleh : Ulil Abshar Abdalla*
Salah satu puncak kebenaran yang dikehendaki oleh Islam untuk dicapai oleh semua umat Islam adalah hikmah. Sebenarnya Hikmah adalah tujuan akhir beragama. Dalam bahasa hadis nabi disebut Ihsan. Jadi itu adalah puncak kebenaran yang hendak dituju oleh Islam.
Hikmah tidak visa dicapai dengan cara “ujuk-ujuk”. Orang yang ingin mencapai ihsan dengan instan, sudah pasti tidak bisa dan tidak mungkin. Kalau kita berislam dengan cara instan sudah pasti tidak akan sampai pada hikmah.
Proses mencapai ihsan, yang pertama, untuk permulaan adalah sikap hati yang disebut Iman. “Saya memaknai Iman di sini adalah sikap hati yang tepat menghadap Tuhan. Ini adalah syarat utama. Jika orang tidak punya ini (iman) maka tidak punya orientasi atau kompas untuk menuju pada hikmah.”
Iman ini adalah strat awal. Orang yang punya modal iman yang kuat, Tidak bisa menempuh jalan lain menuju ihsan kecuali dengan Syariat. Tidak mungkin hikmah itu dicapai tanpa syariat. Tanpa syariat, ibarat orang mau menuju sebuah kota tapi tidak mau naik mobil.
Syariat itu sebetulnya, dalam bahasa filsafat kontemporer sekarang, bisa disebut proses pendisiplinan. Karena hikmah itu adalah hasil disiplin. Usaha panjang syariat yang konsisten atau istiqomah. Harus istiqomah salam waktu cukup lama.
Syariah ini sebetulnya adalah semacam struktur, pertama Muamalah, yang mengatur manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Kedua, pendisiplinan di aspek batin yang lebih penting.
Hikmah adalah hasil akhir yang merupakan konsekuensi alamiah logis dari proses panjang tersebut. “Menurut saya, problem keberagamaan kita saat ini adalah orang tidak sabar mengikuti proses itu.”
Kita Sekarang menyaksikan proses keberagamaan yang ingin meloncat. Ingin melakukan akselerasi. Sehingga korban dari perilaku akselerasi beragama adalah orang kehilangan momentum untuk mengalami pendisiplinan diri.
*Disampaikan dalam Kajian Islam Nusantara Center (INC), 31 Maret 2018. – Video 》》 Islam Hikmah, Problem Islam Nusantara yang Terlalu Rendah Hati
No responses yet