(Kaligesingan, Purworejo)
Banyak orang yang tidak tahu kalau Kabupaten Purworejo yang dulu masuk karesidenan Bagelen dan kantor Residen Bagelen ada di purworejo, Kabupaten Purworejo sebagai pusat pemerintahan karesidenan bagelen dimana kantor eks Residen Karesidenan bagelen sekarang digunakan sebagai Kantor Bupati Purworejo, Kabupaten Purworejo adalah wilayah Karesidenan Bagelen sebelah Timur yang punya gaya Style gagrag Ringgit Purwo sendiri yang terkenal dengan gaya Gagrak Kaligesingan yang Diciptakan dan dirintis oleh dalang Ki Warsoguno desa kaligono, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo.
Ki Warsoguno Belajar membuat Ringgit Purwo dengan tehnik seni tatah dan sungging dengan Dalang Ki Gondo Grumbung dari Loano, eyang Gondo Grumbung adalah Abdi dalem Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan adanya kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat itu menandakan era itu setelah perjanjian Giyanti.
Setelah Mbah Warsoguno belajar membuat wayang dengan tehnik seni tatah dan sungging dengan eyang Gondo Grumbung, lalu Ki warsoguno membuat Ringgit Purwo sendiri serta menciptakan gaya style ciptaan beliau sendiri yang dikenal dengan style gaya Gagrak Kaligesingan.
Foto cover: Dalang Ki Kartoguno alias Ki Darmo sentiko Alias Ki Gethok Desa pacor, Kecamatan Kutoarjo Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah bin Ki Tirtosono. Mbah Gethok kelahiran tahun 1876, wafat tahun 1976*
Wayang kulit dalam bahasa jawa disebut ringgit. Ringgit purwo atau wayang kulit purwa. Kata purwa (pertama) dipakai untuk membedakan wayang jenis ini dengan wayang kulit yang lainnya. Banyak jenis wayang kulit mulai dari wayang wahyu, wayang sadat, wayang gedhog, wayang kancil, wayang pancasila dan sebagainya. Purwa berarti awal, wayang purwa diperkirakan mempunyai umur yang paling tua di antara wayang kulit lainnya. Kemungkinan mengenai berita adanya wayang kulit purwa dapat dilihat dari adanya prasasti di abad ke 11 pada zaman pemerintahan Erlangga yang menyebutkan:
“Hanonton ringgit manangis asekel muda hidepan, huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap”
yang artinya:
“Ada orang melihat wayang menangis, kagum, serta sedih hatinya. Walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit yang dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara”
Seni tatah dan sungging wayang gaya (Kaligesingan, Kabupaten Purworejo) Bagelen ciptaan Mbah Warsoguno lalu dilanjutkan saudara nya yang ada di Kabupaten Kutoarjo yaitu dalang Mbah Gethok alias Ki Darmo Sentiko Alias Ki Kartoguno yang masyarakat menyebutnya Mbah Gethuk yang tinggal di desa pacor kutoarjo, saat era itu sebelumTahun 1934 Kutoarjo adalah Kabupaten tersendiri.
Hubungan Mbah Gethok alias Mbah Darmo Sentiko alias Ki Kartoguno dengan Mbah Warsoguno adalah Mbah Warsoguno adalah Paman mertua dari Mbah Gethok.
Sejarah nya Mbah Ghetok alias Ki Darmo Sentiko alias Ki Kartoguno yang tinggal di desa Pacor, kutoarjo punya mertua seorang dalang dari tuk songo (Purworejo), dan mertuanya ini punya adik perempuan yang menikah dengan dalang Ki Warsoguno dari desa Kaligono, Kaligesing.
Jadi kesimpulannya Ki Warsoguno Karyo kaligono Kaligesing adalah Paman mertuanya Mbah Gethok alias Ki Darmo Sentiko alias Ki Kartoguno Desa Pacor, Kutoarjo, Yang setelah Tahun 1934 Kabupaten Kutoarjo digabungkan dengan kabupaten Purworejo, dan Kutoarjo status nya menjadi setingkat Kawedanan, di era Presiden Gusdur Kawedanan dihapus dan kutoarjo turun status dari kawedanan menjadi kecamatan.
Sekarang Desa Pacor ada di Kecamatan kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.
Ki Warsoguno Karyo dari desa kaligono, Kaligesing Punya Istri Dua tapi tidak dikaruniai keturunan.
Di Kabupaten Purworejo masyarakat hanya mengenal wayang gagrak Yogyakarta dan wayang gagrak Solo, atau pun wayang gaya gagrak Yogyakarta yang di bawa oleh Ki Timbul Hadiprayitno dan Ki Hadi Sugito, Ki Timbul adalah dalang kelahiran Jenar Purwodadi, Purworejo.
Ringgit Purwo Yasan/Buatan Ki warsoguno dan Mbah Gethok alias Ki Darmo Sentiko alias Ki Kartoguno berbahan dari kulit kebo bule dan sungu/tanduk kerbau bule dengan ciri khas warnanya coklat dan hitam.
Kebo bule mempunyai papit/gapit warna putih.
Kalau tidak ada kerbau bule bisa dengan kulit kebo gudik/gudiken karena kulitnya kering.
Berikut sejarah dan silsilah Mbah Gethok alias dalang Ki Darmi sentiko yang nama kecilnya bernama Ki Kartoguno diawali dari kakek(Simbah) Buyutnya yang bernama Hardi Wijoyo alias Ki Redi Wijoyo alias Ki Redi bethitit Dalang dari Mataram, jadi Mbah Gethok adalah cicit alias buyut dari Mbah Redi Bethithit :
Mbah Redi Bethitit adalah seorang Dalang yang asal-usulnya dari Mataram yang bernama Ki Dalang Hardi Wijoyo atau Redi Wijoyo tinggal di desa Wonoroto Ngombol, Dalang ini cukup terkenal di daerah Bagelen terutama di Purworejo dan Semawung (Kutoarjo) yang saat itu menjadi Kabupaten sendiri-sendiri.
Ki Dalang Redi Wijoyo alias Ki Hardi Wijoyo, mendengar sayembara dari Bupati Semawung (Kutoarjo) yaitu Bupati Tumenggung Bantjik Kertonegoro Sawunggaling I, dan beliau berminat untuk mengikutinya dengan tujuan untuk menolong penduduk yang ketakutan karena ular raksasa yang ganas dan besar.
Kemudian Ki Dalang Hardi Wijoyo menghadap Kanjeng Adipati Tumenggung Bantjik Kertonegoro Sawunggaling I untuk mengikuti sayembara dan mohon ditunjukkan tempat ular besar ganas itu berada, sang Adipati menyetujuinya dan diperintahkan seorang punggawa untuk mengantar ke tempat ular tersebut.
Setelah itu Ki Dalang mempersiapkan dirinya, dia memutuskan berjuang seorang diri, dengan memohon kepada Allah SWT secara batiniah dan secara lahiriah beliau ikhtiar mencari akal, bagaimana caranya melumpuhkan ular itu tanpa membahayakan dirinya sendiri.
Teringatalah beliau saat berada di Mataram, di alun-alun Mataram sering diadakan acara Ramdogan macan yaitu pertunjukkan mengalahkan Harimau oleh para Ksatria Mataram.
Harimau yang ganas dan kelaparan dibawa dalam sebuah kerangkeng yang disebut grogol, selama harimau ada dalam Grogol itu maka para penonton aman.
Maka Ki Dalang membuat grogol berbentuk sangkar seorang diri, kemudian setelah jadi di bawa ke tempat dimana ular ganas itu merajalela, dibawanya pula seekor kambing dan sebuah golok panjang untuk senjata melawan ular itu, kambing sebagai umpan ular ganas di ikatnya kambing itu di luar dekat grogol agar memudahkan Ki Dalang mengayunkan goloknya ke tubuh ular besar. Dengan bersenjatakan golok Ki Dalang masuk kedalam grogol dan menunggu ular tersebut datang.
setelah beberapa waktu lamanya akhirnya ular tersebut datang, mengerikan dengan tubuh raksasa besar sekali dan panjang ular tersebut mendekati mangsannya yaitu kambing umpanan milik Ki Dalang, embikkan si kambing yang ketakutan menambah nafsu ular itu untuk segera menyerang, membelit dan melahanpnya, tapi tanpa di sadari sebilah Golok milik Ki Dalang telah siap membacok ular itu.
Dengan mulut lebar ular itu mencaplok kambing, dan disaat itu golok Ki Dalang di bacokkan ke kepala ular, ular kemudian marah dan kesakitan lalu grogol dibelitnya dengan kuat, namun Ki Dalang tetap aman. Dari dalam Grogol Ki Dalang terus menghujani ular itu dengan bacokan goloknya bertubi-tubi, darah bersimbah si ular pun bermandikan darahnya sendiri hingga lemas dan mati.
Orang-orang yang sembunyi melihat pertarungan Ki Dalang melawan ular raksasa besar itu akhirnya keluar dari persembunyian dan bersorak gembira, mereka berlari menghampiri grogol dan mengeluarkan Ki Dalang dari dalam grogol.
Ki Dalang Hardi Wijoyo dijunjung dan diarak menuju Kadipaten untuk dihadapkan kepada Adipati Semawung yaitu Tumenggung Bantjik Kertonegoro Sawunggaling I, sebagian lagi orang menggotong bangkai ular raksasa.
sepanjang jalan menuju Kadipaten, masyarakat menyambut dengan sorak sorai dan riuh gembira.
Adipati Semawung, Tumenggung Bantjik Kertonegoro Sawunggaling I melaksanakan janjinya, beliau bersama sentana Kadipaten membawanya ke suatu daerah di utara Gunung Tugel, disana Ki Dalang diperintahkan untuk “ngembor” sekuat dan sekeras mungkin kemudian beberapa orang berdiri berurutan sampai kira-kira mereka dapat mendengar teriakan Ki Dalang yang paling jauh.
Orang yang paling jauh mendengar teriakan ( gemboran ) Ki Dalang untuk memasang patok tanda, maka tanah dari berdirinya Ki Dalang untuk berteriak atau gembor sampai patokan terakhir adalah milik Ki Dalang Hardi Wijoyo. D
itu disebut daerah Gembor sekarang masuk Desa Wirun Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah.
Sedangkan Ki Dalang bertempat tinggal di Desa Tepus Wetan, setelah wafat di makamkan Di Desa Tepus Wetan, Desa Tepus wetan sekarang masuk Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah.
Setelah kejadian tersebut beliau terkenal dengan sebutan Redi Wijoyo atau “Mbah Redi Bethithit”.
Beliau yang menurunkan dalang-dalang di daerah Kutoarjo dan sekitarnya, sampai sekarang makamnya banyak diziarahi para Dalang dari mana saja.
Salah satu keturunan Ki Hardi Wijoyo adalah Dalang Ki Sutarko Hadiwacono dari kelurahan Katerban, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah.
Berikut nasab atau sorosilah Ki Redi Bethithit alias Ki Hardi Wijoyo alias Ki Redi Wijoyo Seorang Dalang dari Mataram
Ki Redi Wijoyo/Ki Redi Bethitit/Ki Hardi Wijoyo
(Sumare ing Tepus Wetan, Kutoarjo)
I
Ki Toguno/Ki Guno Perwito
( Sumare Ing Wonoroto, Ngombol)
I
Ki Tirtosono
( Sumare ing desa Katerban, kutoarjo)
I
Ki Kartoguno/Ki Gethok/Ki Darmo Sentiko
( Sumare ing Dewi, Bayan)
I
Ki Darto Crito Karmoyo
(Sumare ing desa Katerban, kutoarjo)
I
Ki Sutarko Hadiwacono
I
Ki Putut Danardono / Ki Parikesit
Sumber Referensi :
– Nara sumber ahli waris
– Ki Putut Danardono
– Ki Parikesit
No responses yet