Sebagai ajang perlombaan, Presiden Joko Widodo mengaku bangga karena PON untuk kali pertama digelar di tanah Papua. Serluruh Bangsa Indonesia bangga ada di tanah Papua. PON menjadi ajang untuk menjalin kebersamaan satu sama lain, panggung kebersamaan, panggung persatuan, dan panggung persaudaraan. Ajang ini juga memberikan semangat kebangsaan, rasa nasionalisme kepada seluruh warga Papua bahwa mereka adalah bagian dari warga Indonesia. Sejak bergabung kembali atau lepas dari cengkeraman pemerintahan Belanda, orang Papua secara historis, kultural dan politik terus memupuk rasa kebangsaan Indonesia tersebut. Pelaksanaan PON di Papua menjadi bagian yang tidak terpisahkan sebagai upaya pemerintah dalam mengokohkan rasa nasionalisme bagi orang Papua.
Kebijakan pemerintah RI terhadap status Papua di tinjau dari Hukum Internasional sudah final yaitu, Papua merupakan bagian dari wilayah NKRI. Mengingat ketika proses beritergrassinya hukum Internasional ke dalam hukum Nasional. Maka Hukum Internasional itu juga harus menghormati hukum Nasional suatu negara. Termasuk Indonesia dalam hal ini.
Salah satu prinsip dasar yang terdapat dalam hukum internasional telah melatar belakangi jauh sebelum Papera 1969, papua sudah menjadi bagian yang sah dari NKRI adalah, Azas Uti Posedetis juris, azas ini diakui dalam hukum internasional dan sudah dipraktekan secara luas diberbagai negara azas ini pada intinya mengatur bahwa “batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka” konsekuensi logis dari azas tersebut diatas dikaitkan dengan masalah Papua barat otomatis beralih status nya menjadi bagian wilayah Republik Indonesia sejak saat proklamasi 17 Agustus 1945.
Oleh karena itu, pakar hukum Internasional Prof Dr. Eddy Pratomo menyatakam adanya gerakan upaya KSTP menggaungkan perlunya referemdum tidak ada dasarnya. Keinginan segelintir kelompok untuk referendum bagi Papua bukan lagi penentuan nasib sendiri namun masuk kategori separatisme.
“Bukan hanya hukum nasional yang melarang referendum bagi Papua, melainkan juga hukum internasional,” kata mantan dubes Jerman yang saat ini menjadi Dekan Fakultas Hukum Univesitas Pancasila tersebut.
Ia mengatakan referendum bagi penentuan nasib sendiri hanya dapat dilakukan dalam konteks kolonialisme dan ini sudah dilakukan oleh Papua Bersama seluruh wilayah NKRI lainnya bersama-sama pada tanggal 17 Agustus 1945.
Atas dasar ini, INC TV dan NU Channel kembali menggelar webinar bertajuk “History of Papua Integration and Indonesian Nationalism” .
Webinar tersebut untuk membangun pemahaman bahwa hukum internasional yang menetakan Papua Sebagai bagian integral Indonesia sudah final dan mengikat. Selain itu memberikan gambaran positif bahwa selama menjadi bagian dari Indonesia meskipun masih banyak muncul persoalan pemerataan pembangunan, namun masyarakat Papua Indonesia hidup penuh kedamaian, sprotivitas dan toleransi serta memiliki tradisi dalam menyelesaikan konflik dengan baik berdasarkan konstitusi yang akui secara internasional.
“Webinar juga akan mendiskusikan pentingnya pemahaman sejarah bangsa yang didasarkan pada hukum internasional yang telah disepakati bersama. Hal ini penting dilakukan untuk meredam berbagai ancaman disintegrasi bangsa yang bermula dari perasaan keterarsingan dan ketimpangan. Selain itu juga akan membahas bagaimana pengalaman proses integrasi Papua dalam negara Indonesia. Selain itu juga akan diungkap pengalaman beberapa negara Afrika yang juga mengalami pengalaman serupa yang hingga saat ini juga mengalami problem identitas nasional” jelas panita penyelenggara, Muhamad Wafa.
Seperti tertuang dalam flyer yang disebar, kegiatan Webinar International ini akan live di Channel Youtube INC TV dan NU Channel Live Streaming pada Selasa, 30 Npovember 2021, 13.00-15.00 WIB (15.00-17.00 WIT). Sedangkan narasumbernya antara lain Prof. Dr. Eddy Pratomo, SH., MA (Pakar Hukum International, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila) Dr. Ahmad Suaedy (Penulis buku Gus Dur dan Penyelesaian Konflik Papua, Dekan FIN Unusia), Gazali H Renngiwur (Tokoh Pemuda Papua) dan Safar M Furuada (Dewan Adat Kaimana Papua Barat)
No responses yet