Melanjut tulisan sebelumnya tentang keuntungan zuhud demi akhirat, maka zuhud tidak boleh ngawur. Kudu pakai ilmu biar tepat dan proporsional biar tidak tertipu, mana zuhud demi akhirat, mana yang hawa nafsu.

Kita coba mengambil hikmah ilmu dari cerita hidup seseorang.

Ada orang yang sering titip jajanan di warkop Mawlikopi, cerita kalo dia itu dulu kontraktor. Namanya kontraktor, pasti pegang duit banyak banget. Kerjaan selalu sambung-menyambung tidak pernah libur. Makmurlah hidupnya.

Tapi dengan kerjaan semacam itu, ternyata ada yang ngganjel. Karena proyek tidak putus-putus, dia jarang ketemu anak istrinya. Dan namanya proyek, kadang kudu ada proses kongkalikong demi dapat proyek, hati nuraninya berontak. Terbesit di benaknya pingin satu hari dapet kerjaan yang tidak menyita waktunya buat keluarga. Dan keluarganya pun mendukung keinginannya itu.

Lama bertahan, eh ndilalah wabah Covid datang, proyek pada libur. Terpaksa nganggurlah dia. Tapi positifnya, dia punya kesempatan milih kerjaan yg sesuai maunya tadi tanpa harus memaksa resign. Sekarang dia kerja membantu sepupunya menjajakan makanan kecil di warung-warung, termasuk titip jajanan di Mawlikopi. Pendapatan pasti njomplang, tapi dia dan keluarganya bahagia karena lebih banyak waktu bersama. Plus dia jadi mulai rajin ibadah.

Nah, dari kisah ini bisa ditarik kesimpulan :

  1. Tidak selamanya uang itu membahagiakan
  2. Ada hal-hal yang lebih esensi dari kebahagiaan lahir yaitu kebahagiaan batin atau kalbu
  3. Kesadaran bahwa kebahagiaan batin/kalbu lebih penting, itulah zuhud
  4. Zuhud jgn langsung diniatkan untuk agama, akal yang masih awam belum sanggup mencerna
  5. Zuhud perlu persiapan matang lahir batin biar jiwa tidak shock ujug2 miskin atau malah jadi sombong tapi miskin.
  6. Jangan pindah kerjaan kalo belum dikehendaki Gusti Allah. Istiqomah dalam satu pekerjaan dahulu
  7. Niat awal zuhud sebaiknya dengan niat yang mudah dinalar logika orang awam seperti karena masalah keluarga, kesehatan, waktu atau kehidupan sosial. Sembari pelan-pelan diperbaiki niatnya untuk memperbaiki ibadahnya. Artinya mendahulukan hak lahiriyah sebagai landasan hak batiniyah
  8. Zuhud perlu kesabaran, timing yang tepat dan dukungan keluarga juga orang terdekat

Cerita orang di atas itu sesuai dengan dawuh-dawuh Kanjeng Nabi Muhammad SAW

ﺇِﺫا ﻓُﺘِﺢَ ﻷَﺣَﺪِﻛُﻢْ ﺭﺯﻕ ﻣِﻦَ ﺑﺎﺏٍ ﻓَﻠْﻴَﻠْﺰَﻣْﻪُ

“Jika kalian dibukakan satu pintu rezeki maka tetaplah di pintu tersebut”

Kanjeng Nabi SAW juga dawuh

ﺇِﺫا ﺳَﺒَّﺐَ اﻟﻠﻪ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻷﺣَﺪِﻛُﻢْ رزقا ﻣِﻦْ ﻭَﺟْﻪٍ، ﻓَﻼَ ﻳَﺪَﻋْﻪُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺘَﻐَﻴَّﺮَ ﻟَﻪُ

“Jika Gusti Allah memberi sebab datangnya rezeki dari satu jalan pekerjaan maka janganlah ditinggalkan hingga pekerjaan tersebut takdirnya berubah baginya”

Jadi, bicara zuhud, kita jangan bertindak gegabah mengamalkannya. Zuhud pun ada ilmunya. Tidak ujug-ujug zuhud tapi keluarga terbengkalai. Itu malah tandanya tertipu karena melupakan hak orang lain. Padahal orang zuhud itu justru tidak akan melupakan hak orang lain.

Kesalahan kaum “hijrah kekinian” itu pada niat awal yang tidak sehat sehingga prosesnya tidak sehat. Misal karyawan bank, ujug-ujug keluar dari kerjaan dengan alasan yang diyakininya syar’i. Kerjaannya dulu dinilai gak syar’i. Padahal aslinya silau dengan penampakan hingga tidak mau sabar dan kehilangan akal sehat.

Jadinya zuhud belum kelihatan hasil, keburu koar-koar telah hijrah. Bilang rejeki Tuhan yang ngatur, tapi di dalam hati sambat meronta-ronta karena kemiskinan, keluarga pun terbengkalai. Ujung-ujugnya tamak, suka menipu diri, suka memaki orang. Ini yang bikin zuhud tampak suram dan agama terlihat sebagai masalah.

Gusti Allah memang tidak suka orang yang gila dunia, tapi Gusti Allah lebih membenci orang yang menganiaya dan membunuh dirinya sendiri juga orang lain. Orang yang jeleknya combo (mental miskin, sombong, goblok pula) itu orang yang  tidak banget di sisi Gusti Allah…

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *