Oleh KH Ahmad Nadhif Abdul Mudjib
Dalam kitab Wafayatul A’yan wa Anba-u Abna-iz zaman karya Ibnu Khalikan (608 – 681 H.), disebutkan beberapa kisah teladan antara Imam Syafi’i dan muridnya yaitu Imam Ahmad Bin Hanbal.
Dalam kesempatan ini akan kita bicarakan sebagian kisah tersebut:
Yang pertama: Tersebutlah bahwa sebagaimana ayahandanya, putri Imam Ahmad sangat mengidoalakan keulamaan Imam Syafi’i. Suatu ketika Imam Syafii berkenan berkunjung dan menginap di rumah Imam Ahmad. Singkat kata setelah jamuan makan malam, Imam Syafii beranjak menuju kamar untuk beristirahat. Lalu singkat kata pula, ketika adzan Subuh berkumandang, Imam Syafii keluar dari kamar dan langsung mengimami sholat Subuh. Setelah selesai sholat, putri Imam Ahmad berbisik kepada ayahnya, “Ayah, saya merasa aneh. Sejak jamuan makan tadi malam, Imam Syafii langsung masuk kamar dan tidak pernah keluar untuk sholat tahajjud atau sholat malam lainnya. Lalu tiba-tiba pagi ini Beliau keluar dari kamar langsung mengimami sholat tanpa wudlu…”
Mendengar bisikan putrinya ini, Imam Ahmad berkata, “Berhusnudhdhonlah wahai putriku. Beliau adalah seorang yang alim, zahid dan abid. Meski lahirnya seperti yang kamu saksikan, pasti menurut ayahmu ini ada sesuatu yang belum kita fahami dari diri Imam Syafii…”
Hadirin Rohimakumullah,
Berikutnya, tibalah jamuan makan pagi. Namun sebelum Imam Syafii mulai makan, Beliau berkata kepada Imam Ahmad, “Wahai Imam yang agung, makanan apa yang engkau suguhkan kepadaku tadi malam. Aku yakin bahwa makanan tadi malah itu penuh berkah sehingga setelah aku makan, tiba-tiba aku merasa hati dan fikiranku terbuka lebar-lebar. Bahkan beberapa masalah agama yang selama ini belum aku temukan jawabannya, ternyata tadi malam itu aku temukan di sini di rumahmu, setelah aku makan hidanganmu… Semalam suntuk aku tadabbur dengan AlQuran dan Alhadits hingga aku seperti tidak sadar diri berapa lama aku bertadabbur hingga akhirnya adzan subuh berkumandang…” Masya Allah…
Cerita tersebut secara garis besar memiliki paling tidak 3 (tiga) hikmah utama.
Hikmah pertama adalah: tidaklah layak bersuudhdhon kepada Ulama’, meskipun secara lahiriyah sang Ulama berbuat sesuatu yang menyimpang dari ukuran umum. Dalam kisah di atas, putri Imam Ahmad menyaksikan secara lahir bahwa semenjak jamuan makan malam Imam Syafii langsung masuk kamar dan tidak keluar samasekali hingga adzan subuh. Kecuali itu Imam Syafii terlihat oleh putri Imam Ahmad sebagai tidak sholat tahajjud atau qiyamul lail dan juga tidak berwudlu setelah tidur.
Pada akhirnya, terbukti bahwa Imam Syafii malam itu tidak tidur samasekali. Bahwa Imam Syafii memang tidak melaksanakan sholat tahajjud karena beliau larut dalam tadabbur semalam suntuk. Ini sesuai kaidah “Al-muta’addi khoirun minal Qashir”, sesuatu yang berimbas sosial seperti mengkaji ilmu adalah lebih utama daripada ibadah individu seperti sholat tahajjud.
Kecuali itu, Imam Syafii memang tidak berwudlu lagi untuk sholat subuh karena semalam suntuk Beliau tidak tidur dan dalam keadaan Daaimul Wudlu’, melanggengkan wudlu.
Khusus untuk masalah daaimul wudlu, Imam Al-Ghazaly dalam kitab Bidayatul Hidayah menceritakan bahwa Allah SWT menegur Nabi Musa, “Wahai Musa, jika saja suatu saat engkau tertimpa bencana dan engkau dalam keadaan tidak memiliki wudlu, maka jangan engkau menyalahkan siapapun kecuali dirimu sendiri”…
Hikmah kedua dari cerita di atas adalah: bahwa makanan yang berkah dan tentu saja halal akan sangat bermanfaat bagi kita. Imam Ahmad bin Hambal memang terkenal tidak pernah kerso makan kecuali yang benar-benar halalan thayyiban dan dari hasil keringat sendiri. Sikap Imam Ahmad ini diakui dan dirasakan sendiri oleh Imam Syafii sehingga malam itu Imam Syafii merasa terbuka hati dan fikirannya setelah memakan hidangan yang disuguhkan oleh Imam Ahmad.
Memang muncul kesan negative dari kisah tersebut bahwa seolah-olah Imam Syafii sebelumnya tidak pernah dahar makanan yang halalan thayyiban.
Kesan negative ini harus kita tepis dan sekali lagi jangan mudah suudhdhon terutama terhadap ulama, apalagi sekelas Imam Syafii.
Namun kesan negative itu tetap saja masih bisa menghantui fikiran buruk kita. Jawabannya sebenarnya mudah. Bahwa dalam kisah hidangan Imam Ahmad itu, kecuali bahwa memang hidangan tersebut halalan thayyiban, juga jangan lupa bahwa Imam Ahmad menghidangkannya dengan niat tulus menghormati gurunya yaitu Imam Syafii. Ketulusan seorang murid inilah yang juga menambahi berkah hidangan tersebut….
Kemudian hikmah kedua adalah soal kunjungan atau dalam bahasa jawa: pasowanan Imam Syafii kepada muridnya yang terkasih yaitu Imam Ahmad.
Kita tahu bahwa selain Imam Ahmad adalah murid Imam Syafii, Imam Ahmad tentu lebih muda daripada Imam Syafii. Namun perbedaan usia seperti ini tidak menghalangi Imam Syafii untuk berkunjung dan bahkan menginap di rumah Imam Ahmad, tiada lain karena memang Imam Syafii sangat menghormati Imam Ahmad.
Maka kisah kedua antara Imam Syafii dan Imam Ahmad adalah berikut ini:
Ternyata kunjungan Imam Syafii ke Imam Ahmad itu menuai kritikan sejumlah kalangan waktu itu. Beberapa ada yang mengkritik, “Pantaskah seorang guru sowan kepada muridnya? Tidakkah terbalik?”
Mendengar kritikan ini, Imam Syafii bersenandung dengan 2 bait syair:
قالوا يزورك أحمد وتزوره # قلت الفضائل لا تفارق منزله
إن زارني فبفضله أو زرته # فلفضله فالفضل في الحالين له
“Mereka berkata Ahmad mengunjungimu dan engkau mengunjunginya, mengapa? Aku menjawab: segala kemuliaan akhlak adalah milik Ahmad. Jika ia mengunjungiku, itu memang karena kemuliaan akhlaknya. Dan jika aku mengunjunginya, itu karena aku berharap mendapatkan berkah kemuliaan akhlaknya. Dan pada keduanya (dia mengunjungiku dan aku mengunjunginya), kemuliaan akhlak itu tetap hanya milik Ahmad..” Masya Allah, Allahu Akbar wa lillahil hamdu…
Mendengar 2 (dua) bait syair dari Imam Syafii yang memuji muridnya ini, Sang Murid yaitu Imam Ahmad seperti tidak mau kalah dalam hal tawadlu’. Maka Imam Ahmad pun membalasnya dengan 2 (dua) syair berikut:
إن زرتنا فبفضل منك تمنحنا # أو نحن زرنا فللفضل الذي فيك
فلا عندنا كلا الحالين منك ولا # نال الذي يتمنى فيك شانيك
“Jika anda mengunjungi kami maka itu karena kemuliaan akhlak yang anda berikan kepada kami. Atau ketika kami sowan kepada anda, itu hanya karena kami berharap mendapat keberkahan anda. Samasekali kemuliaan itu tidak kami miliki, juga tidak dimiliki oleh orang-orang yang membenci anda”
Allahu Akbar, Masya Allah
Itulah sekelumit cerita tentang salah satu akhlak dari kedua Imam yang dicontohkan kepada kita semua. Tidaklah mengherankan seperti itulah akhlak para ulama sejati, dimana Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Abu Dawud bersabda:
العلماء ورثة الانبياء يحبهم أهل السماء ويستغفر لهم الحيتان في البحر إذا ماتوا إلى يوم القيامة
Ulama adalah pewaris para Nabi, di mana seluruh Malaikat mencintai mereka dan bahkan ikan-ikan di lautan senantiasa memintakan maghfiroh utk para ulama hingga hari kiamat.
Sebagaimana Allah juga berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Itulah kisah para ulama yang sangat amat wajib kita teladani, terutama pada saat-saat seperti ini, di mana di medsos-medsos kita dilanda banjir bandang etika-etika negative seperti mudah menyebarkan fitnah, ujaran-ujaran kebencian, caci maki dan sejenisnya, apalagi bahkan sudah lama muncul cacian kepada para Ulama dan bahkan yang terakhir adalah menistakan panutan kita semua, Baginda Rasulullah SAW…
Astaghfirullahal ‘adhim min kulli dzanbin ‘adhim
بارك الله لي ولكم في القرآن الكريم ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم وتقبل مني ومنكم تلاوته إنه هو الغفور الرحيم، وقل رب اغفر وارحم وأنت أرحم الراحمين
======
Sumber : FB Ahmad Nadhif Abdul Mudjib
Comments are closed