Categories:

 

Oleh A Ginanjar Sya’ban (Direktur INC)

——————————————————–
Ini adalah halaman sampul dalam dari kitab “Shulh al-Jamâ’atain bi Jawâz Ta’addud al-Jum’atain” karangan seorang ulama Nusantara asal Minangkabau yang bermukim dan berkarir di Makkah, yaitu Syaikh Ahmad b. ‘Abd al-Lathîf al-Khatîb al-Mânkabâwî al-Jâwî (dikenal dengan Syaikh Ahmad Khatib Minang, w. 1916). Kitab ini ditulis untuk membantah sebuah risalah yang sebelumnya dikarang oleh Sayyid Utsman b. Yahya (w. 1913), mufti Batavia (Betawi) terkait perkara tidak bolehnya mendirikan dua shalat Jum’at di dalam satu baldah (kampong atau kota).

Shulh al-Jamâ’atain ditulis dalam bahasa Arab. Merujuk pada kolofon, karya ini diselesaikan penulisannya di kota Makkah pada malam Selasa, 25 Rajab tahun 1312 Hijri (bersamaan dengan 1893 M). Tampaknya karya ini dicetak untuk pertamakali di al-Mathba’ah al-Mîriyyah di Makkah pada tahun yang sama dengan penulisannya, kemudian dicetak ulang oleh Mathba’ah al-Taraqqî al-Mâjidiyyah di Makkah pada tahun-tahun berikutnya, lalu oleh sebuah percetakan di Kairo (Mathba’ah ‘Îsâ al-Bâbî al-Halabî).

Saya mendapatkan foto kopian kitab ini dari Muhammad Azhari Azhari Elbahr, mahasiswa pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta, konsentrasi pemikiran Islam Nusantara. Kopian ini berasal dari versi aslinya yang dicetak oleh Matbha’ah Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah (‘Îsâ al-Bâbî al-Halabî) yang berbasis di Kairo, denga tahun cetak 1353 H/ 1934 M. Percetakan ini disponsori oleh Syaikh ‘Abdullâh ‘Afîf dari Cirebon (Jawa Barat), seorang saudagar yang banyak mensponsori percetakan kitab-kitab karangan ulama Nusantara pada dekade 30-50-an.

Versi cetak Kairo ini menghimpun 68 tebal halaman, disertai tiga buah risalah terkait tema serupa masing-masing karangan Syaikh Abû Bakar Muhammad Syathâ (dikenal dengan Sayyid Bakrî, w. 1899) dan juga karangan Syaikh Jalâluddîn al-Suyûthî (w. 1505). tiga risalah tambahan tersebut dicetak dalam format hâmisy (teks pinggir).

Shulh al-Jamâ’atain ini secara khusus berisi pandangan Syaikh Ahmad Khatib Minang terkait bolehnya melaksanakan shalat Jum’at di masjid baru yang ada di Palembang. Hal ini artinya di kota Palembang terdapat dua buah masjid yang melaksanakan shalat Jum’at, yaitu masjid lama dan masjid baru. Pendapat ini sekaligus secara umum menyatakan bolehnya melaksanakan dua buah shalat Jum’at (di dua masjid) pada satu kota atau kampong (baldah) jika telah memenuhi syarat yang ditentukan. Syaikh Ahmad Khatib Minang berpandangan jika kasus “masjid baru” Palembang telah memenuhi syarat untuk bolehnya melaksanakan shalat Jum’at.

Pendapat Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau ini sekaligus membantah fatwa yang sebelumnya dirilis oleh Sayyid Utsman yang saat itu menjabat sebagai mufti Batavia, yang mengatakan jika hukum shalat Jum’at yang dilaksanakan di masjid baru Palembang tidak sah.

Dalam Shulh al-Jamâ’atain, Syaikh Ahmad Khatib juga menyertakan tiga buah risalah fatwa yang dikeluarkan oleh tiga orang ulama besar, masing-masing mufti Makkah (Syaikh Sa’îd Bâ-Bashîl), mufti Madinah (Syaikh al-Barzanjî), dan ulama sentral Al-Azhar di Kairo (Syaikh al-Inbâbî). Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau secara khusus menyurati ketiga ulama besar dunia Islam itu khusus terkait permasalahan “shalat Jum’at di masjid baru Palembang” ini. Ketiga ulama tersebut pun menulis fatwa yang isinya memperbolehkan dilaksanakannya shalat Jum’at di masjid baru Palembang tersebut.

Yang sebenarnya lebih menarik untuk dikaji, adalah bukan “hukum boleh tidaknya dilaksanakan dua Jum’at di satu kota”. Ini adalah masalah “produk hukum fikih” temporal. Yang justru lebih menarik untuk dikaji lebih jauh adalah konteks wacana sosio-historis yang menjadi latar belakang mengemukanya polemik fatwa antara Sayyid Utsman Batavia dengan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau ini.

Begini ceritanya:

Pada tahun 1822, Belanda menaklukkan (baca: menjajah!) Kesultanan Palembang setelah mengalahkan pasukan kesultanan itu dalam perang berdarah-darah selama kurang lebih empat tahun (1818-1822). Sebelumnya, Kesultanan Palembang adalah negara merdeka yang memiliki kedaulatan penuh. Namun sejak 1822, Palembang menjadi wilayah taklukkan Kolonial Hindia Belanda yang bermarkas di Batavia. Palembang pun menjadi wilayah bawahan dan bagian dari Batavia.

Dalam rangkaian perang besar itu, Belanda tercatat kalah dua kali dengan kerugian yang menyakitkan. Namun Belanda pada akhirnya berhasil mengalahkan Palembang pada tahun 1822, setelah (salah satu penyebabnya) menjalankan politik pecah belah pada pihak Palembang. Pasukan Palembang dapat ditaklukkan. Istana kesultanan, masjid, madrasah, perpustakaan, dan bangunan lainnya di area keraton Palembang dibakar dan dihancurkan, Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap dan diasingkan bersama keluarganya, para pejabat kesultanan, para ulama, dan penyokong kesultanan juga mendapatkan nasib yang sama: ditangkap dan diasingkan. Sebagian ulama yang lain banyak yang melarikan diri dari kejaran Belanda ke pelbagai daerah.

Penting dicatat, bahwa dalam perang itu, garis terdepan perlawanan dari pihak Palembang adalah para ulama dan santri yang merupakan jaringan murid dari Syaikh Abdul Shamad Palembang. Madrasah, pesantren, dan tentu saja masjid menjadi lambang keberanian dan perjuangan negeri itu. Masjid kesultanan yang dibakar oleh Belanda dalam perang Palembang 1822 pun dibangun kembali oleh Belanda, namun kemudian segala aktivitas di sana berada dalam pengawasan yang ketat dari pihak kolonial. Belanda masih merasa trauma atas gigihnya perlawanan yang dijalankan pihak ulama Palembang yang mana masjid adalah pusat kegiatan mereka. Selama lebih dari enam puluh tahun kemudian, Belanda senantiasa berupaya menetralkan masjid dan ulama Palembang agar suasana menjadi “kondusif dan tidak berpotensi memunculkan gerakan perlawanan”. Hal ini berlangsung setidaknya selama tiga generasi.

Sebuah masalah yang baru kemudian muncul pada akhir abad ke-19 M, ketika seorang ulama Palembang yang memiliki hubungan sanad kepada Syaikh Abdul Shamad Palembang dan juga kepada murid-muridnya, yaitu Kiagus Abdul Hamid Palembang, mendirikan sebuah masjid baru. Masjid tersebut juga menjadi pusat kegiatan intelektual, dan juga berfungsi untuk melaksanakan shalat Jum’at. Belanda tentu saja menjadi kembali khawatir akan kenyataan ini.

Maka pada tahun 1893, pihak Belanda meminta Sayyid Utsman, yang menjabat sebagai mufti agung Batavia dan memiliki kedekatan yang istimewa dengan pemerintahan kolonial, untuk membuat fatwa terkait masalah “masjid baru Palembang” itu. Sayyid Utsman pun kemudian merilis sebuah fatwa dan mengeluarkan dua buah risalah yang menegaskan bahwa shalat Jum’at di “masjid baru Palembang” itu tidak sah dan tidak boleh dilaksanakan, karena sejatinya di satu kota hanya boleh dilaksanakan shalat Jum’at di satu masjid saja. Di Palembang saat itu, sudah ada “masjid tua” tempat dilaksanakannya shalat Jum’at (namun tentu saja ia berada dalam pengawasan Belanda).

Pihak “masjid baru Palembang” yang diwakili oleh Kiagus Abdul Hamid dan ulama lainnya tentu saja merasa tidak terima dengan fatwa yang dirilis oleh Sayyid Utsman dari Batavia itu. Selain karena fatwa tersebut dipandang bias pesanan pihak Belanda, para ulama Palembang juga memandang jika Batavia tidak punya otoritas atas masalah-masalah keagamaan yang terjadi di Palembang, wilayah yang sangat jauh terpisah dari Batavia. Palembang adalah wilayah tersendiri yang memiliki mufti sendiri. Pihak tersebut kemudian mengirimkan surat kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, ulama Nusantara yang karirnya sedang menanjak di Makkah sebagai imam, khatib, pengajar, dan pengarang banyak kitab berbahasa Arab. Surat tersebut berisi permintaan bagi Syaikh Ahmad Khatib untuk berpendapat tentang permasalahan “masjid baru Palembang” ini. Atas dasar hal inilah, Syaikh Ahmad Khatib kemudian mengarang kitab Shulh al-Jamâ’atain bi Jawâz Ta’addud al-Jum’atain.

Dalam kata pengantarnya, Syaikh Ahmad Khatib Minang menulis:

هذا ما دعت اليه حاجة لسائلين. من إخواننا الجاويين. في شأن بلدة كبيرة مشتملة على أناس كثيرين. قد أقيمت بوسطها جمعة منذ مدة طويلة من السنين. مع اتساع أكنافها وتباعد أطرافها. بحيث أن بعض أطرافها يبعد عن مسجدها نحو ميل. وبعضها أكثر أو أقل منه بقليل. بحيث لا يسمع نداء الجمعة. في تلك الأطراف المتسعة. حتى أدى ذلك البعد الى تركها. ممن كان بعيدا عنها. إما لضعف بنيته عن حضورها. أو لعدم اهتمامه بشأنها. لما يلحقه من المشقة في المشي اليها. وكان ذلك المسجد في بعض الأحيان. لا يسع لحضور الجمعة فيه لضيق المكان. ولو فرض حضور القريب والبعيد اليه لما وسعهم. كما أخبر بذلك الثقات الذين عاينوا جمعهم. فقيض الله تعالى بعض الراغبين في حيازة الأجر العظيم. لبناء مسجد جديد على بعد ميل أو أكثر من المسجد القديم. فأقام أهله الجمعة فيه ثمانية أشهر في جمع غفير. لم يتعطل فيها شيئ من شعار الجمعة في المسجد القديم ولم ينقص حمعه الكثير. فسعى من أهل المسجد القديم جمع عديد. وعطلوا اقامة الجمعة في المسجد الجديد. متمسكين بفتوى بعض علمائهم. ولعله أجاب على قدر استفتائهم. اذ الجواب على قدر السؤال. وإن كان غير مطابق للحال. فألف فيها رسالة مستقلة. غير ناظر فيها لتأثير العلة. فضجر أهل المسجد الجديد لذلك أعظم ضجر.

(Ini adalah sesuatu yang diminta oleh para penanya. Dari sebahagian saudara kita dari Jawi [Nusantara]. Tentang perkara sebuah negeri yang besar yang menghimpun penduduk yang banyak. Di sana telah didirikan ibadah shalat Jum’at sejak sekian masa yang lalu. Di saat yang bersamaan, kian luaslah wilayah negeri itu, dan kian jauhlah batas antar kawasannya. Sebagian kawasan negeri berjarak lebih dari satu mil dari masjid utama negeri itu. Sebagian kawasan yang lainnya berjarak lebih kurang lebih sedikit dari itu. Sekiranya tidaklah dapat terdengar seruan Jum’at. Di tempat-tempat yang luas itu. Sehingga, jarak yang jauh itu menjadikan sebahagian orang yang tinggalnya jauh tidak melaksanakan shalat Jum’at. Adakalanya karena mereka berhalangan hadir, atau karena memang tidak punya perhatian. Karena susah payah dan jauhnya jarak menuju ke masjid. Dalam beberapa tempo, masjid tersebut bahkan sudah tidak dapat lagi menampung jemaat, karena tempatnya yang memang sempit. Jika saja jemaat yang dekat dan jauh itu diperkirakan semuanya datang, maka tidaklah dapat masjid itu menampung mereka. Demikianlah sebagaimana halnya dikabarkan oleh orang-orang yang aku percayai. Lalu Allah berkenan menggerakkan hati sebahagian orang untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Yaitu dengan membangun sebuah masjid baru yang jaraknya satu mil atau lebih dari masjid lama. Para penduduk sekitaran masjid baru itu pun akhirnya dapat melaksanakan sembahyang Jum’at di sana, delapan bulan lamanya. Keberadaan masjid baru dan sembahyang Jum’atnya selama itu tidak menganggu apa yang telah berlangsung di masjid tua, tidak pula mengurangi jemaatnya. Namun rupanya, pihak masjid tua mulai melakukan perkara. Mereka menganggap batal sembahyang Jum’at yang dilakukan di masjid baru. Dengan berlandaskan pada sebuah fatwa sebahagian ulama. Yang tentu saja ulama itu berfatwa atas pesanan jemaat tersebut. Jawaban sang mufti tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi. Ia telah menulis sebuah risalah. Yang keluar tanpa menimbang sebab akibat yang ditimbulkan olehnya. Jemaat masjid baru pun menjadi goncang).

Risalah Shulh al-Jamâ’atain yang ditulis oleh Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau dari Makkah untuk Palembang ini terbukti berpengaruh sangat kuat, bukan saja di kalangan Muslim Palembang pada saat itu, tetapi juga pada blantika intelektual Islam Nusantara, bahkan dunia Islam secara umum. Atas risalah tersebut, “reputasi dan wibawa” Sayyid Utsman sebagai seorang ulama besar sekaligus mufti Batavia menjadi terguncang. Mengetahui hal itu, Sayyid Utsman pun tidak tinggal diam. Ia kemudian menulis sebuah kitab susulan, yang berisi bantahan atas bantahan Syaikh Ahmad Khatib. Kitab tersebut berjudul Tabyîn al-Khatî’atain fî Shulh al-Jamâ’atain dan dicetak di percetakan pribadi milik Sayyid Utsman di Batavia. Dalam karya susulannya itu, Sayyid Utsman mengudar dua buah hal yang ia anggap sebagai kekeliruan pandangan dari pihak Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau dalam karyanya, Shulh al-Jamâ’atain.

Bogor, Maret 2018
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban