Oleh A Ginanjar Sya’ban ( Direktur INC)

———————————
Ketika saya mengunjungi masjid tua di kampung Wapauwe di Maluku Tengah (berdiri pada tahun 1414 M) pada pertengahan bulan Agustus 2018 lalu, saya juga berkesempatan untuk mengunjungi rumah bapak Husain Hatuwe yang letaknya tak jauh dari masjid tersebut.

Bapak Husain adalah keturunan dari Syaikh Imam Sayyid Husain Arikulapessi (Imam Arikulapessi) yang merupakan imam masjid Wapauwe pada masanya. Bapak Husain juga mewarisi beberapa peninggalan sang leluhur secara turun temurun, salah satunya adalah beberapa koleksi manuskrip yang usianya sudah ratusan tahun lamanya.

Di antara koleksi tersebut adalah manuskrip kitab suci al-Qur’an dan manuskrip kitab Maulid Barzanji. Dalam papan keterangan yang ditulis dalam bahasa Indonesia aksara Latin yang diletakkan di depan manuskrip, dikatakan jika keduanya ditulis (disalin) oleh Nur Cahya, cucu perempuan dari Imam Arikulapessi. Manuskrip al-Qur’an disebutkan ditulis pada tahun 1590 M, sementara tidak ada keterangan titimangsa kapan kitab Maulid Barzanji itu selesai disalin.

Kedua manuskrip tersebut pernah dipamerkan dalam Festival Masjid Istiqlal di Jakarta pada tahun 1991 silam.

Ketika saya membuka kedua manuskrip tersebut, saya tidak menemukan keterangan identitas nama penyalin (Nur Cahya cucu Imam Sayyid Husain Arikupalessi) ataupun tarikh penyalinannya. Jika keterangan al-Qur’an tersebut memang benar disalin oleh Nur Cahya pada tahun 1590 M, itu masih bisa dikaji dan “diterima” informasinya, namun keterangan kitab Maulid Barzanji tersebut juga disalin oleh sosok yang sama dan pada tarikh yang tidak jauh berbeda (akhir abad ke-16 M), hal ini jauh dari kemungkinan.

Kenapa?

Imam Ja’far b. Hasan b. ‘Abd al-Karîm al-Barzanjî pengarang kitab Maulid Barzanji (berjudul asli “Kitâb ‘Iqd al-Jauhar fî Maulid al-Nabî al-Azhar” atau populer juga dengan “Maulid Syaraf al-Anâm”) baru lahir pada tahun 1128 Hijri (1716 Masehi) dan wafat tahun 1177 Hijri (1764 Masehi). Sangat mustahil tentunya jika sudah ada kitab salinan Maulid Barzanji di Maluku yang dilakukan oleh Nur Cahya pada akhir abad ke-16 M atau seratus dua puluh tahun-an lebih sebelum kelahiran sang pengarang kitab Maulid Barzanji.

Karena itu, saya menduga kitab Maulid Barzanji yang tersimpan di rumah Bapak Husain di Wapauwe tersebut disalin pada abad ke-19 M.

Terlepas dari hal di atas, manuskrip kitab Maulid Barzanji yang tersimpan di rumah Bapak Husain tersebut sangat menarik karena kaya akan hiasan ilmuniasi yang indah dan cantik, selain ditulis dengan khat yang bagus dan rapi. Pada halaman pertama naskah, hiasan iluminasi tampak mendominasi dua muka halaman penuh, dengan motif hiasan bunga tulip (oleh Bapak Husain dikatakan bunga pala), buah delima, dan motif dedaunan yang bersulur saling menyambung.

Tinta yang digunakan untuk menulis-salin teks naskah dan juga menggambar hiasan iluminasi di dalamnya berwarna hitam, merah, biru, dan kuning. Beberapa bagian ilmuninasi pada dua halaman muka tersebut tampak sudah ada yang pudar, sebagaimana bagian bawah halaman pertama sudah koyak dimakan usia.

Dalam tradisi permanuskripan Arab-Islam, seni ilmunasi dikenal juga dengan istilah “al-munamnamât” atau “al-muzawwaqât”. Seni menghias dan melukis di atas manuskrip ini mulai berkembang sejak masa Abbasiyyah di abad ke-10 M, dan mencapai puncaknya pada masa Turki-Usmani dan Persi-Safavi, termasuk juga berkembang di masa India-Muhgali sejak abad ke-15 M. Seni hias manuskrip kemudian berkembang juga di wilayah Nusantara Islam, mulai dari Aceh hingga Maluku.

Iluminasi pada manuskrip berfungsi bukan hanya sebagai penghias dan pengindah halaman-halaman naskah hingga menjadikannya memiliki nilai yang lebih tinggi, tetapi juga sebagai ilustrasi dari sebuah teks yang tertulis pada tiap halamannya. Pada banyak manuskrip keislaman yang berasal dari abad ke-15 hingga seterusnya, didapati seni iluminasi di dalamnya, setidaknya pada halaman pertama (pembuka) dan terakhir (penutup dan titimangsa).

Selain manuskrip al-Qur’an dan Maulid Barzanji, di rumah Bapak Husain juga tersimpan beberapa koleksi manuskrip lainnya, seperti manuskrip kitab “Masâil al-Muhtadî li al-Ikhwân al-Mubtadî” karangan Syaikh Baba Dawud Rumi dari Aceh (murid dari Syaikh Abdul Rauf Singkel, w. 1693 M), manuskrip khutbah hari raya (id) dan juga doa khataman al-Qur’an, termasuk kitab “Safînah al-Najâ” karangan Sayyid Salim b. Sumair al-Hadhramî al-Batâwî (w. 1854 M) dalam vesi cetak tua (cetakan Bombai, India, pada akhir abad ke-19 M).

Ambon-Bandung, Agustus 2018
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban