Dalam khazanah tasawuf Jawa, buaya adalah lambang bagi para Kyai Ageng (al-Syaikh al-Akbar) yang dalam kesehariannya, mengampu perkara tolak bala. Daf’ul bala menurut kosakata Arab. Dalam peta kahanan suluk atau perjalanan batin, para “buaya” ini menempati kamar-kamar lelaku setya tuhu marang Gusti. Hanya setia kepada Sang Pangeran Gusti Allah. Mereka biasanya diberikan wilayah bergerak dalam diam. Undergound kalau dalam istilah musik rock.
Terkait dengan kelangsungan tatanan kalifatullah, mereka-mereka ini ditugaskan untuk mengkader orang-orang Jawa dari generasi ke generasi. Terutama untuk menyambut kedatangan batoro kolonialisme ke tanah nusantara dengan perlawanan epistemologi atau perang pengetahuan dan perang kejadugan. Jumlah mereka ada 40. Mati satu, masuk satu. Begitu seterusnya. Pesantren atau padepokannya pada waktu itu ada di Pengging. Ditinjau dari sanad ilmu, mereka mewarisi keseluruhan ilmu kewalian Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar.
Babad Joko Tingkir menceritakan ada 40 orang yang kelak mengambil sanad kepada Sunan Kajenar, selain Ki Ageng Pengging. Mereka-mereka itu adalah Ki Gede Banyubiru, Ki Gede Getasaji, Ki Gede Balak, Ki Gede Butuh, Ki Gede Ngerang, Ki Gede Jati, Ki Gede Tingkir, Ki Gede Petalunan, Ki Gede Pringapus, Ki Gede Nganggas, Ki Gede Wanalapa, Ki Gede Paladadi, Ki Gede Ngambat, Ki Gede Karangwaru, Ki Gede Babadan, Ki Gede Wanantara, Ki Gede Majasta, Ki Gede Tambakbaya, Ki Gede Bakilan, Ki Gede Tembalang, Ki Gede Karanggayam, Ki Gede Selandaka, Ki Gede Purwasada, Ki Gede Kebokangan, Ki Gede Kenalas, Ki Gede Waturante, Ki Gede Taruntum, Ki Gede Pataruman, Ki Gede Banyuwangi, Ki Gede Puma, Ki Gede Wanasaba, Ki Gede Kare, Ki Gede Gegulu, Ki Gede Candi Gunung Pragota, Ki Gede Adibaya, Ki Gede Karurungan, Ki Gede Jatingalih, Ki Gede Wanadadi, Ki Gede Tambangan, Ki Gede Ngampuhan, Ki Gede Bangsri Panengah.
Salah satu kader utama 40 buaya yang masyhur dikenal sampai hari ini adalah Sunan Pajang atau Joko Tingkir yang kelak memimpin Kraton Pajang dengan nama Sultan Hadiwijaya. Sebagaimana tercatat dalam ingatan cerita lisan perihal 40 ekor buaya yang mengawal perjalanan Sunan Pajang sewaktu menyeberangi Bengawan Solo menuju Demak.
Sayangnya, cerita ini dipahami oleh orang-orang modern, termasuk ustadz-ustadz youtube, dengan nalar hari ini. 40 ekor buaya dimaknai sebagai sekumpulan perampok, pencuri, pencopet, begal, pemerkosa, dan semacamnya. Ada pula yang memaknai peristiwa pengawalan 40 ekor buaya itu muslihat kudeta kraton Demak yang diaktori oleh Sunan Pajang dengan koalisi para penjahat buaya itu. Lebih parah lagi, dari cerita pengawalan 40 buaya itu, ada yang memaknai Sunan Pajang sebagai lelaki buaya atau playboy -sebuah istilah keminggris wagu sebab seharusnya: crocodile boy. Logonya juga absurd: kelinci, bukan buaya.
Memahami masa lalu para wali di nusantara, Jawa khususnya, harus masuk ke samudera tasawuf setempat. Kalau di Jawa, harus masuk ke tatanan kawidyan tasawuf Jawa. Kalau tidak, sampai hari kiamat pun, kita dan anak-anak kita akan mewariskan cerita tentang pertumpahan darah antar wali dan Ratu sebagaimana sering diajarkan di buku-buku sarjana walanda dan sarjana kamilondonan. Akhirnya, porsi terbesar yang diberikan kepada para wali pendahulu itu adalah buruk sangka dan caci-maki. Dalam pikiran dan kalbu yang penuh buruk sangka, bagaimana mungkin selembar fatihah disampaikan?
Pertanyaannya adalah: di mana makam para 40 buaya itu? Wallahu a’lam. Untuk Kanjeng Nabi saw, untuk Sunan Kajenar, untuk Sunan Pajang, dan untuk “40 buaya”, al-fatihah…
No responses yet