Berasal dari keluarga ulama, ayahnya Teungku Muhammad Shaleh merupakan ulama, pendiri dayah dan tokoh masyarakat setempat. Semenjak usia belia Abu Abdul Aziz Shaleh atau dikenal dengan Abon Samalanga, telah dipersiapkan oleh ayahnya untuk menjadi pengawal agama dan pendidik para ulama. Mengawali karier keilmuannya, semenjak usia 7 tahun Abon Samalanga mulai belajar dari ayahnya sambil bersekolah SR pada pagi harinya. Dalam rentang waktu 7 tahun Abon Samalanga telah menampakkan talenta akan menjadi seorang alim yang rasikh ilmunya.
Dua tahun berikutnya beliau lebih menfokuskan pendalaman materi keilmuan dari ayahnya. Walaupun beliau telah menjadi seorang yang alim, namun rasa ‘haus’ terhadap ilmu pengetahuan mendorongnya untuk belajar kepada ulama kenamaan daerah setempat yaitu Syekh H Hanafiah Abbas dikenal dengan sebutan Teungku Abi yang merupakan pimpinan Dayah Mesjid Raya Samalanga dan kelak menjadi mertua Abon. Setelah khatam belajar dari Teungku Abi, Abon Samalanga melanjutkan pendalaman ilmunya kepada Abu Idris Tanjungan selama kurang lebih tiga tahun.
Merasa masih belum cukup dengan ilmunya, dan ingin memperdalam ilmu pula yang mengantarkan Abon Samalanga untuk berangkat ke Dayah Darussalam Labuhan Haji untuk berguru langsung kepada Teungku Syekh Muhammad Waly al Khalidy yang merupakan salah satu ulama berpengaruh pada masanya. Selama lebih kurang tujuh tahun Abon Samalanga menimba ilmu di Darussalam, dan dengan penuh ketekunan, kesabaran telah mengantarkannya menjadi seorang alim besar yang diperhitungkan. Beliau juga santri senior Abuya kelas khusus yaitu kelas Bustanul Muhaqiqin yang diasuh langsung oleh Abuya Muda Waly.
Abon Samalanga seangkatan dengan Abu Abdullah Tanoh Mirah, sedangkan Abu Tumin dibawah mereka satu tingkat. Setelah menimba berbagai macam ilmu di Darussalam Labuhan Haji, tiba masa beliau kembali ke kampung halamannya Samalanga untuk mengabdikan ilmunya secara cuma-cuma tanpa pamrih. Tepatnya tahun 1958 beliau meminta izin dari guru besarnya Syeikh Muda Waly untuk pulang kampung, sebelumnya di tahun 1957 temannya Abu Tanoh Mirah juga telah memohon izin kembali ke Tanoh Mirah. Adapun Abu Tumin pulang kampung setahun setelah Abon Samalanga.
Sekembalinya Abon Samalanga, beliau langsung didaulat menjadi Pimpinan Pesantren karena pimpinannya Syekh Hanafiah Abbas atau Teungku Abi yang juga mertua dan gurunya telah wafat. Terhitung dari tahun 1958 sampai wafatnya tahun 1989 selama 31 tahun beliau tidak pernah henti untuk menyerukan semboyan “Beut Semeubet” dan mengisi dada para muridnya dengan ilmu yang bermanfaat dan hikmah yang mendalam.
Semboyan ‘beut semeubet’ kemudian telah memotivasi para ulama pada jejaring setelah beliau untuk terus mengabdi tanpa henti untuk ummat.
Tidak terhitung banyaknya para ulama yang merupakan hasil didikan Abon Samalanga. Dan rasanya tidak berlebihan penulis menyebutkan bahwa setelah era Abu Hasan Krueng Kalee dilanjutkan dengan masa Abuya Muda Waly, dan dibawa kelanjutan tersebut ke Samalanga oleh Syeikh Abdul Aziz al Mantiqi atau Abon Samalanga. Berkat ketekunan dan kesabarannya dalam mendidik, banyak para ulama dan Masyayikh lahir dari gemblengannya.
Di antara alumni Dayah Mudi Mesra Samalanga yang dikenal publik sebagai ulama adalah: Abon Teupin Raya, Aba Lamno, Abon Tanjongan, Abu Ibrahim Budi, Abu Kasem Tb, Abon Kota Fajar, Abu Karimuddin Alu Bili, Abu Panton, Abu Daud Lhueng Angen, Abu Kuta Krueng, Abu Langkawe, Abu Mudi Samalanga, Aba Asnawi Lamno, Ayah Caleu, Waled Nuruzzahri Samalanga, Ayah Pedada, Abon Seulimum, Waled Marhaban Bakongan, Ayah Min Cot Trueng, Tu Sop Bieruen dan para ulama lainnya yang bertebaran di berbagai pelosok untuk menyerukan semboyan “Beut Semeubet”.
Dan setelah wafatnya Abon Samalanga, estafet Pimpinan Dayah Mudi Mesra tersebut dilanjutkan oleh Abu Syekh Hasanoel Basri HG yang dikenal dengan Abu Mudi, dengan tangan dinginnya telah menjadikan Samalanga sebagai kota santri dan Mudi Mesra sebagai salah satu dayah sentral di Aceh.
No responses yet