Syari’at Islam yang diberlakukan oleh ALLAH kepada manusia, memiliki beberapa tujuan utama guna menjaga dan menarik kemaslahatan serta menolak dan mengantisipasi timbulnya berbagai kerusakan pada lima hal pokok yang menjadi sendi-sendi kehidupan seorang Muslim/ah yaitu :

Menjaga Jiwa (Hifzhun Nafsi) Kedudukan jiwa dalam agama mendapat perhatian yang sangat besar dan vital untuk dijaga dan dipelihara kelangsungannya serta mencegah segala hal yang dapat mengancam atau menghilangkan jiwa/nyawa seseorang. Bahkan untuk kepentingan ini, syari’at membolehkan hal-hal yang sebelumnya dilarang pada saat seseorang mengalami kondisi darurat; seperti orang yang tersesat di hutan dan menderita kelaparan yang parah, namun ia tidak menjumpa makanan apapun selain bangkai. Maka dibolehkan baginya memakan daging bangkai tersebut sekedar menjaga nyawanya agar tidak melayang, sehingga tidak boleh berlebih-lebihan hingga kenyang.

Begitu juga saat seseorang merasakan sangat haus yang mencekik kerongkongannya, tapi tidak didapati minuman apapun selain khamr (minuman keras). Sementara jika khamar itu tidak segera diminum, berakibat nyawanya akan hilang. Maka diperbolehkan baginya minum khamar itu sekedar menghilangkan dahaganya. Jadi walaupun kondisi darurat itu dapat memperbolehkan sesuatu yang semula diharamkan, namun dalam penerapannya tidak boleh berlebihan alias sekedar mengisi perut yang sangat kelaparan atau membasahi kerongkongan yang sangat kehausan. Sebagaimana dijelaskan dalam kaidah-kaidah fiqhiyyah berikut :

اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المَحْظُوْرَاتِ

“Dharurat itu dapat memperbolehkan hal-hal yang (semula) dilarang.”

مَا اُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهِ

“Apa saja yang diperbolehkan karena darurat, maka harus dilaksanakan sekadarnya.”

Selain itu demi menjaga kelangsungan hidup manusia, maka agama melarang umat Islam untuk bunuh diri atau membunuh orang lain tanpa haq, pengguguran kandungan (aborsi), serta perbuatan lain yang mengancam jiwa seperti berkelahi, tawuran dan semacamnya.

Terkait dengan penularan virus Corona yang mengacam jiwa manusia di seluruh dunia, termasuk di tanah air, maka para ulama melarang penyelengaraan sholat Jum’at, sholat fardhu, tarawih dan sholat ‘id berjama’ah di mesjid atau musholla, dikarenakan berkumpulnya banyak orang itu akan memudahkan penularan virus Corona yang dapat mengancam keselamatan jiwa banyak orang. Karena itulah penjagaan jiwa lebih didahulukan daripada pelaksanaan sholat berjama’ah di mesjid atau musholla yang bisa digantikan pelaksanaannya di rumah masing-masing.

Dalam hal ini, sangat jelas tuntunannya dalam Q.S. al-Baqarah ayat 195, di mana ALLAH Ta’ala melarang hamba-hambaNya untuk menjerumuskan diri mereka dalam kerusakan (tertular virus Corona). Begitu juga dalam hadits yang driwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, Rasulullah saw melarang umatnya agar jangan sampai bertindak yang membahayakan diri sendiri dan orang lain (laa dhororo walaa dhirooro), yakni jangan sampai sesorang tertular virus Corona atau menularkannya pada orang lain.

Menjaga Akal (Hifzhul Aqli) Akal adalah nikmat terbesar setelah nikmat kehidupan (nyawa). Dengan akal itulah seseorang dapat memisahkan antara yang haq dan batil, dapat memilah dan memilih mana yang baik (maslahat) dan bermanfaat serta mana yang merusak (mafsadat) dan merugikan (madharat). Dengan akal, manusia bisa terbang melebihi kecepatan burung dengan diciptakannya pesawat terbang, mengalahkan singa, beruang, buaya, hiu, paus dan lain sebagainya yang kekuatannya dan ukuran tubuhnya jauh lebih besar daripada manusia. Bahkan luar angkasa pun bisa ditembus dan perut bumi bisa dieksploitasi kandungannya untuk kepentingan manusia secara luas. Akal ini pula yang dapat mengantarkan manusia menemukan kebenaran, serta menjemput hidayah.

Karena itu eksistensi akal harus senantiasa dijaga dan dirawat kemaslahatannya. Untuk tujuan inilah, maka syari’at mewajibkan umat Islam untuk menuntut ilmu, menganjurkan untuk banyak berpikir bagi kebaikan diri, keluarga, agama, bangsa dan negara. Selain itu melarang mereka dari konsumsi narkoba, minum-minuman memabukkan (khamar), menonton film porno, banyak main game dan semacamnya, karena dapat merusak otak manusia.

Menjaga Agama (Hifzhud Diin) Agama sebagai penuntun hidup manusia agar teratur, tertib, seimbang lahir dan batin, serta mengarahkan manusia agar hidup bahagia, selamat dan mulia dunia dan akhiratnya. Karena itulah syari’at menetapkan berbagai tuntunan untuk menjaga, merawat dan mempertahankan eksistensi agama, seperti menegakkan sholat lima waktu sebagai tiangnya agama, berjihad melawan penjajah yang dapat membahayakan kelangsungan agama, menyebarkan dakwah Islam baik dengan lisan (dakwah billisan), tulisan (dakwah bilkitabah), maupun aksi-aksi sosial (dakwah bilhal).

Selain itu juga syariat melarang berbuat syirik (musyrik), kufur (kafir), nifaq (munafiq), keluar dari Islam (murtad), kawin dengan non Muslim, di mana semua itu dapat menggerogoti bahkan bisa meruntuhkan ketahanan agama seorang Muslim/ah. Juga tidak boleh menghina Tuhan dan agama lain, karema sama saja dengan menghina Tuhan dan agama Islam itu sendiri.

Menjaga Keturunan (Hifzhun Nasli) : Keturunan ibarat separuh jiwa keberlangsungan hidup manusia yang diberi anugerah berupa naluri seksual. Dengan berketurunan, manusia akan dapat melanjutkan tugas kekhalifahannya untuk memakmurkan bumi dengan berbagai hal yang bermanfaat bagi sesama sesuai dengan tuntunan ilahiah. Maka menjaga keturunan menjadi perhatian penting dalam syari’at Islam agar tercipta harmonisasi kehidupan sosial mulai dari lingkungan rumah tangga, komunitas masyarakat hingga tatanan bangsa yang mendukung ketahanan sebuah negara.

Untuk tujuan itu, maka Islam mengatur sistem pemeliharaan keturunan berupa disyari’atkannya pernikahan agar naluri seksual dapat tersalurkan secara sah dan halal, serta reproduksi manusia dapat terjaga kemaslahatannya dengan melahirkan keturunan yang baik (saleh-salehah). Begitu pula Islam melarang perzinaan dan penyimpangan seksual lainnya yang dapat merusak kemaslahatan keturunan serta mencegah penyebaran penyakit kelamin akibat penyimpangan seksual. Jika tidak dicegah, maka tentu saja akan menggangu kesehatan dan kenyamanan hidup bermasyarakat. Selain itu juga ditetapkannya pelarangan aborsi, vasektomi dan tubektomi tanpa alasan yang dibenarkan, disebabkan perbuatan-perbuatan tersebut terkategori upaya pemutusan keturunan.

Menjaga Harta (Hifzhul Maal) . Harta merupakan wasilah (perantara) tercapainya berbagai keinginan, hidup bahagia (meski sifatnya relatif), juga bisa mendukung pelaksanaan ibadah. Dengan harta orang bisa membeli pakaian untuk menutup aurat-yang notabene salah satu syarat sahnya sholat, digunakan untuk bersedekah, berzakat, wakaf, hibah, berhaji, mendukung kesuksesan acara-acara Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) dan lain sebagainya. Karena itulah harta harus dilindungi eksistensinya karena bisa mendukung tegaknya atau suksesnya perjuangan agama.

Terkait manfaat harta yang sangat besar ini, maka syari’at mewajibkan umat Islam untuk mencarinya dengan cara yang halal, bahkan menggolongkan pencarian nafkah halal itu sebagai bentuk jihad, yang bila mati saat mencari nafkahnya, maka matinya termasuk mati syahid. Kemudian setelah harta/uang itu diperoleh, hendaklah ditashorrufkan (digunakan) untuk memenuhi kepentingan pokok seperti sandang, pangan, papan, serta kebutuhan lain yang statusnya halal. Juga tidak lupa untuk berbagi kepada sesama lewat sedekah, zakat, infaq, sedekah, yang bermanfaat untuk melindungi harta dari kejahatan dan musibah sekaligus melipatgandakannya. Selain itu tidak diperkenankan pula harta tersebut dipakai secara berlebih-lebihan atau untuk sesuatu yang sia-sia seperti berfoya-foya, merusak barang sendiri dan semacamnya.

Syari’at Islam juga melindungi hak kepemilikan harta seseorang yang diperoleh dari jerih payah keringatnya sendiri, dengan seperangkat peraturan yang melarang siapa saja untuk mengganggu harta milik seseorang baik mukmin ataupun kafir. Karena itu Islam melarang tindakan-tindakan kriminal seperti pencurian, perampokan, pembegalan, pemaksaan, perampasan/penjarahan, penipuan, vandalisme (pengrusakan), atau perbuatan zholim lainnya yang merugikan orang lain. Sementara itu meski syari’at memperbolehkan pemilik harta mengembangkan hartanya sesuai dengan ide dan keinginannya sendiri, namun tetap saja jangan sampai melanggar syari’at, sehingga ada larangan menjalankan transaksi yang mengandung riba’, gharar (tipuan), maysir (spekulasi), menimbun barang kebutuhan umum (ihtikar), dan semacamnya.

Teristimewa lagi, syari’at mewajibkan pemilik harta untuk memproteksi harta miliknya, sehingga jika pemilik harta itu mati karena melindungi hartanya, maka ia tergolong mati syahid.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *