Beliau merupakan seorang ulama yang dikirim oleh Teuku Nyak Arif Residen Aceh untuk menjadi pengayom agama masyarakat Calang Lamno. Pada masa yang lalu banyak para ulama yang diutus ke daerah-daerah untuk memberikan pemahaman keagamaan kepada masyarakat setempat. Sebut saja beberapa para ulama tersebut seperti: Abu Ali Lampisang pendiri Madrasah Khairiyah di Labuhan Haji Aceh Selatan.

Abu Lampisang adalah ulama yang berasal dari Siem Aceh Besar, lulusan dari Yan Keudah Malaysia dan lama belajar di Lampisang Aceh Besar. Ulama lainnya adalah Abu Syech Mud Blangpidie pendiri Dayah Bustanul Huda Blangpidie, Abu Syech Mud adalah ulama yang berasal dari Lhoknga, lulusan Yan Keudah Malaysia, dan pernah beberapa tahun belajar di Kruengkalee pada Abu Kruengkale. Abu Lampisang dan Abu Syech Mud dikirim ke Aceh Selatan untuk mengayomi pemahaman agama masyarakat di daerah tersebut.

Adapula ulama yang diminta pulang dari luar Aceh untuk memajukan pendidikan di wilayah tertentu seperti Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri yang diminta pulang untuk memimpin dayah yang kemudian dikenal dengan Dayah Hasbiyah di Aceh Besar, karena sebelumnya perkembangan dayah tersebut tidak maju disebabkan tidak ada ulama yang fokus memimpin lembaga dayah tersebut. Pada masa kepemimpinan Abu Indrapuri, maka berdatanganlah santri termasuk dari berbagai wilayah Aceh di antaranya Abuya Muda Waly.

Demikian halnya juga dengan ulama dari Gandapura Bireun Teungku Haji Usman Maqam, setelah menetap lebih dari lima belas tahun di Mekkah, belajar di dua lembaga pendidikan besar yaitu Madrasah Saulatiah dan Darul Ulum Diniyah, maka atas inisiatif ulee balang Matang Gulumpangdua Teuku Ben Setia Perdan maka meminta kepada Teungku Haji Usman Maqam agar bisa kembali ke tanah air dan mengayomi keagamaan masyarakat Gandapura dan sekitarnya. Sekembali dari Mekkah, maka mulailah Teungku Haji Usman Maqam membangun lembaga pendidikan yang kemudian banyak mengkader para ulama dan ilmuan setelahnya seperti Abu Teupin Raya dan Teungku Drs Abdul Fattah.

Demikian juga dengan Abu Muhammad Arsyad beliau diutus ke Calang, adapun aslinya beliau berasal dari Sawang Dua Aceh Selatan, dan diperkirakan beliau termasuk ulama Aceh yang berusia sepuh meninggal di tahun 1983, wafat diatas usia seratus tahun. Mengawali pendidikannya, beliau belajar di desanya Sawang Aceh Selatan, kemudian mulailah beliau mengembara menuntut ilmu yang mengantarkan beliau menjadi seorang alim. Dayah yang beliau tuju ialah Dayah Kruengkalee yang didirikan oleh Abu Hasan Kruengkalee pada tahun 1916 sepulangnya beliau belajar dari Mekkah dan Yan Keudah Malaysia. Di dayah ini Abu Muhammad Arsyad belajar dengan penuh kesungguhan sehingga mampu menyerap banyak ilmu dari gurunya Abu Kruengkalee.

Setelah beberapa tahun di Dayah Kruengkalee, kemudian beliau menuju ke Dayah Lambhuk dan belajar di Dayah tersebut kepada ulama dayah tersebut. Karena cintanya terhadap ilmu, maka telah mengantarkan beliau menjadi seorang ulama yang rasikh ilmunya. Merasa ilmunya masih minim, maka berangkatlah beliau ke Blangpidie, tujuannya belajar kepada Abu Syekh Mud Blangpidie yang bernama Asli Abuya Syekh T. Mahmud bin T. Ahmad Lhoknga. Alasan beliau belajar pada Abu Syech Mud, karena di Dayah tersebut banyak mengkader para ulama Aceh seperti: Abuya Syekh Muda Waly al-Khalidy, Teungku Syekh Abdul Hamid Kamal, Teungku Syekh Adnan Mahmud, Teungku Syekh Bilal Yatim, Teungku Syekh Jailani Kota Fajar, Abu Ibrahim Woyla, Abu Ghafar Lhoknga dan banyak lagi para ulama lainnya.

Maka belajarlah Abu Muhammad Arsyad pada Dayah Bustanul Huda Blangpidie selama beberapa tahun. Abu Syech Mud sendiri merupakan ulama yang konsen dalam mengajar. Setelah penyerangan tangsie Belanda oleh Teungku Peukan pada tahun 1926, dan Teungku Peukan pun syahid bersama para pengikutnya. Ditariklah Teungku Muhammad Yunus Lhong ke Kuta Raja, yang kemudian digantikan oleh Teungku Syekh Mahmud sepulangnya beliau dari belajar di Yan Keudah Malaysia pada tahun 1926, 1827 Abu Syech Mud tiba di Blangpidie, dan 1928 beliau membangun Dayah Bustanul Huda.

Abu Syech Mud merupakan ulama generasi kedua yang belajar di Yan Keudah Malaysia. Adapun generasi pertama adalah para ulama yang kemudian dikenal sebagai pelaku perubahan pendidikan di Aceh seperti: Teungku Haji Hasan Kruengkalee, Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, Teungku Muhammad Saleh Lambhuk, Teungku Syekh Muhammad Saman, Teungku Abdullah Umar Lam U dan ulama lainnya. Sedangkan guru besar dari para ulama tersebut adalah Teungku Chik Muhammad Arsyad Ie Leubeue atau yang dikenal dengan Teungku Chik Diyan dan guru besar lainnya adalah Teungku Chik Oemar bin Auf Lam U yang dikenal dengan Teungku Chik Di Lam U atau Teungku Chik Umar Diyan yang merupakan pendudkung perjuangan Teungku Chik Di Tiro dan Teungku Chik Tanoh Abee.

Setelah belajar lama pada Abu Syech Mud, Abu Muhammad Arsyad kemudian menikah ke Banda Aceh dengan seorang gadis yang bernama Nyak Inseun dari Lam Gapang Ulee Kareng. Keinginan beliau awalnya ingin mendarmabaktikan ilmunya di Aceh Besar, namun melihat keilmuannya yang mendalam serta keluhuran budinya, maka Teuku Nyak Arief Residen Aceh mengutus Teungku Muhammad Arsyad untuk mengayomi keagamaan masyarakat Calang. Maka mulailah fase baru dalam hidup beliau menjadi guru bagi masyarakat Calang.

Beliau disebutkan tidak pernah berhenti dalam berdakwah, dengan terus menyebarkan ilmu di berbagai tempat, mulai dari Kawasan Rigaih, Krueeng Sabee, Tanoh Anoe dan wilayah lain yang berada dalam kawasan Calang Lamno. Beliau datangi masyarakat setempat untuk mengajarkan mereka. Setelah beberapa tahun beliau bedakwah sedemikian rupa, barulah beliau kemudian memantapkan pijakannya untuk menetap di sebuah tempat dan membangun lembaga pengajiannya di wilayah yang disebut dengan Gampong Dayah Baro Calang dan di tempat yang baru ini, beliau mendirikan sebuah tempat ibadah yang disebut dengan Meunasah Abu Tuha Calang, dimana sebagai tempat beribadah masyarakat setempat.
Dalam usia sepuhnya beliau tidak lagi bepergian, tetapi murid yang datang kepada beliau dari berbagai tempat untuk menimba ilmu dari Abu Calang. Beliau mengajar para muridnya berbagai kitab fikih seperti: Bajuri, I’anatuththalibin, Mahalli, sedangkan Kitab Tuhfah hanya beliau mutala’ah sendiri karena tidak ada santri yang sanggup memahaminya. Selain fikih beliau mengajarkan nahwu dan sharaf, agar para santri mudah memahami kitab kuning yang tidak memiliki baris. Setelah kiprah yang panjang dan besar untuk masyarakat Calang Lamno, maka wafatlah ulama kharismatik tersebut di tahun 1983 dalam usia melebihi seratus tahun. Rahimahullah Rahmatan Wasi’atan.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *