Ayahnya adalah Guru dari hampir seluruh ulama di Aceh dewasa ini yaitu Abuya Syech Muhammad Waly al-Khalidy dan ibunya adalah Ummi Pawoh (Hajjah Raudhatinur) berasal dari Labuhan Haji. Sebelum akhil baligh Ia telah diajarkan oleh ayahnya ditanamkan dalam hatinya keluhuran budi dan rasa berkasih sayang.
Abuya Syech Amran Waly demikian sebutannya, mengawali pengembaraan ilmunya di Pesantren terbesar pada masanya Darussalam Labuhan Haji. Selain berguru langsung dari ayahnya, ia juga belajar dari Abu Imam Syamsuddin Sangkalan, setelah wafatnya Abuya Syech Haji Muda Waly tahun 1961. Abuya Amran Waly kemudian melanjutkan pendidikannya di IAIN Arraniry tepatnya di fakultas Ushuluddin, kata sahabatnya yang seleting dengan Abuya Amran, ketika di IAIN dulu beliau selalu menulis dengan tulisan Arab Melayu dan salah satu gurunya adalah Teungku Drs. Arabi Ahmad/mertuanya Prof Farid Wajdi.
Sambil menimba ilmu di IAIN, malamnya Abuya mondok selama empat bulan di Dayah Ateuk Anggok yang dipimpin oleh murid ayahnya Abu Daud. Selama 2 tahun Abuya di IAIN, kemudian beliau memilih melanjutkan pengembaraannya ke Padang, beliau kuliah di IAIN Imam Bonjol, sambil berguru dengan beberapa ulama terkenal disana. Di antara gurunya yang berasal dari Padang adalah Syeikh Zakaria Labai Sati dari Malalo dan Abuya ‘Aidarus anak dari Syeikh Abdul Ghani Kampari yang keduanya juga murid senior dari Abuya Syech Muda Waly, Bahkan Syekh Aidarus belajar sebelas tahun depan Syekh Muda Waly (1945-1956) demikian yang disampaikan oleh anak kandung Syekh Aidarus.
Tidak lama di Padang, rasa penasaran terhadap ilmu mengantarkannya ke Malaysia, tepatnya di Kedah, di salah satu perguruan di sana. Setelah beberapa saat di Malaysia, menimba ilmu di sana, Abuya memutuskan untuk kembali ke IAIN kali yang kedua. Setelah merasa ‘cukup’, beliau kembali ke Darussalam Labuhan Haji dan memimpin Pesantren tersebut selama 10 tahun. Ketika menjadi pimpinan usianya masih 25 tahun, usia yang masih begitu muda. Di antara para guru senior yang membantu berjalannya roda kepemimpinan di Darussalam ada beberapa nama yang kemudian dikenal sebagai para ulama dan panutan masyarakat seperti; Abu Syam Marfali Blangpidie yang kemudian melanjutkan kepemimpinan Pesantren Bustahul Huda setelah wafatnya Abuya Abdul Hamid Kamal dikenal dengan Abu Aji Blangpidie menantu dari Abu Syech Mud guru dari Syekh Muda Waly.
Guru lainnya yang membantu Abuya adalah Abu Ismail AB Alu Bilie pendiri Pesantren Nurul Fata, juga Abu Madinah, Teungku Baihaqi Daoed atau Abu Bai, dan ulama-ulama lainnya. Pada tahun terakhir kepemimpinannya di Darussalam Abuya telah membangun Dayahnya sendiri di Pawoh dengan nama Darul Ihsan, masih dalam kawasan Labuhan Haji. Beliau juga pernah menjadi anggota dewan perwakilan rakyat selama lima tahun, namun kemudian beliau lebih memilih menjadi pengawal agama masyarakat khususnya di pantai Barat-Selatan.
Setelah kaya dengan berbagai pengalaman hidup, Abuya kemudian menggagas berdirinya MPTT atau Majelis Pengkajian Tauhid Tasauf Asia Tenggara. Perlahan namun pasti, MPTT telah banyak diminati dan diikuti oleh puluhan ribu jama’ahnya, tidak hanya di Aceh tapi juga ada di Cibinong, Jakarta, Sulawesi, Malaysia dan daerah lainnya di Asia Tenggara. MPTT yang digagas oleh Abuya telah disambut oleh beberapa ulama tasauf nusantara yang ahli dalam tela’ah kitab turats sufi sebut aja seperti Syeikh Rohimuddin Nawawi al Banteni yang merupakan keturunan Imam Nawawi al Bantani.
Syeikh Rohimuddin ini juga khalifah dari Syekh Sayyid Yusuf Bakhur al Hasani pernah menjadi Mufti Australia yang merupakan murid dari Syekh Abdul Qadir Isa pengarang Kitab Haqaiq ‘an Tasauf. Ada juga Syeikh Mohammad Ibrahim dari Malaysia keturunan dari ulama besar Tokku Pulo Manis, DR KH Dhiyauddin Kuswandi ketua Forum Walisongo, KH Zein Zarnuji pimpinan pesantren Cibinong, yang merupakan murid dari Syekh KH Asrori Ishaqi yang memiliki jalur ke Syekh Ahmad Khatib Sambas Mursyid Kamil Mukammil untuk tarekat Qadiriah wa Naqsyabandiyah yang dipopulerkan oleh Abah Anom Suryalaya.
Syekh Zein Zarnuji adalah seorang yang banyak menghafal matan dan sangat menguasai literatur tasauf dengan berbagai alirannya. Bahkan dalam Muzakarah MPTT yang diadakan tahun 2014 yang dilaksanakan di Abdya, turut dihadiri oleh Syekh Mehmet Fadhil Jailani pentahkik Kitab Tafsir al Jilani yang merupakan keturunan Syekh Abdul Qadir Jailani. Juga dukungan untuk Abuya dari keturunan para ulama besar seperti keturunan Syekh Abdul Ghani Kampari, Syekh Nawawi Banten, Syekh Yusuf Makkasar dan Syekh Abdul Qadir yang telah disebutkan.
Terakhir, MPTT menurut Abuya merupakan wadah untuk memperbaiki akhlak, membersihkan diri dari syirik khafi dan berbagai penyakit yang melanda umat Islam dewasa ini. Sehingga tujuan utama dari MPTT tersebut ialah terwujudnya manusia yang benar benar mengabdi kepada Tuhan semesta alam. Sehingga beliau memandang perlu adanya banyak zikir yang diistilahkan dengan ‘rateeb siribee’, sehingga menjadikan hati para makhluk tersemai dengan cahaya zikir dan tumbuh rasa kasih sayang kepada sesama.
Melalui MPTT ini juga Abuya Amran ingin mengenalkan Aceh sebagai wilayah yang menerapkan Syariat Islam ke wilayah Asia Tenggara bahkan Internasional, puncaknya adalah Muzakarah Internasional Tauhid Tasauf yang diadakan di Banda Aceh tahun 2017 yang dihadiri lebih 20.000 jama’ah baik kalangan ulama maupun pencinta tasauf.
No responses yet