Ada beberapa syarat musyawarah dan berunding untuk memperoleh kebenaran, yaitu:
- Jangan sibuk membahas dan mencari kebenaran dalam masalah hukum fardhu kifayah sebelum menyelesaikan pembahasan mengenai fardhu ‘ain. Seseorang yang mendahulukan fardhu kifayah sebelum menyelesaikan fardhu ‘ain, walaupun niatnya baik dan benar merupakan kebohongan. Misalnya dalam permasalahan seseorang yang meninggalkan shalat dengan alasan untuk menyediakan dan menjahit pakaian orang yang shalat dalam keadaan telanjang.
- Tidak lebih mementingkan berdebat atau menuntut ilmu yang fardhu kifayah daripada permasalahan-permasalahan sosial di masyarakat. Misalnya orang yang mendahulukan mempelajari ilmu bekam padahal di sekelilingnya ada orang yang kehausan dan hampir binasa, dan ia dapat membantunya. Atau misal yang lain, orang yang lebih memilih berdebat masalah ilmu daripada mengajak kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran.
- Bahwa orang yang berdebat itu adalah mujtahid yang berfatwa dengan fatwanya sendiri, bukan dengan madzhab Syafi’i atau Abu Hanifah atau lainnya. Sehingga apabila ditemukan kebenaran dalam suatu madzhab, seperti terdapat dalam madzhab Abu Hanifah, maka ia meninggalkan pendapat yang berasal dari Syafi’i, dan berfatwa dengan kebenaran itu. Seperti yang dilakukan para sahabat dan para ulama terdahulu.
- Adapun orang yang belum sampai dalam tingkat ijtihad seperti saat ini, maka berfatwalah dia dalam persoalan yang ditanyakan kepadanya menurut madzhab yang dianutnya. Kalau ternyata lemah madzhabnya maka tak boleh ditinggalkannya.
- Bahwa yang diperdebatkan itu persoalan yang sedang terjadi atau yang akan terjadi dalam masa dekat. Karena para sahabat ra. tidak mengadakan musyawarah selain dalam persoalan terjadi atau biasanya terjadi, misal persoalan warisan (faraidh).
- Bahwa perdebatan itu lebih baik diadakan pada tempat yang sepi, tidak di tengah-tengah orang banyak dan di hadapan para pembesar dan penguasa. Disebabkan pada tempat yang sepi, pikiran dapat fokus dan lebih banyak memperoleh kejernihan hati, pikiran dan kebenaran. Apabila dilaksanakan di depan umum, dapat menggerakkan riya’, dan mendorong masing-masing pihak untuk menjadi pemenang.
- Bahwa dalam mencari kebenaran itu, seperti orang mencari barang yang hilang. Tidak ada perbedaan antara yang ditemukan sendiri atau ditemukan orang lain yang menolongnya. Dalam masalah ilmu harus dianggap bahwa teman berdebat itu merupakan penolong, bukan musuh. Diucapkan terima kasih, ketika diberitahukan kesalahan dan dilahirkannya kebenaran.
- Jangan melarang teman yang berdebat, berpindah dari satu dalil ke dalil lain dan dari satu persoalan ke persoalan lain. Pada dasarnya, kembali kepada kebenaran adalah dengan merubah kesalahan yang terjadi
- Bahwa perdebatan itu diadakan dengan orang yang berilmu dan dapat memberi manfaat kepada orang lain, seperti dengan orang yang sedang menuntut ilmu.
Semoga kita tidak mengingkari hati nurani…
Salam Dari Tepian Sedari,
No responses yet