Oleh : Yusup Eko Setyo Widodo (Mahasiswa Universitas Marsekal Suryadarama)
Dalam buku Akidah Akhlak Kelas VIII yang diterbitkan Kementerian Agama (2020), terdapat beberapa etika (adab) dalam bersosial media menurut pandangan Islam:
A. Tabayyun (cek dan ricek)
Dalam (QS. Al-Hujurat [49]:6) disebutkan bagaimana etika serta tata cara menyikapi sebuah berita yang kita terima, sebagai berikut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
Yā ayyuhallażīna āmanū in jā`akum fāsiqum binaba`in fa tabayyanū an tuṣībụ qaumam bijahālatin fa tuṣbiḥụ ‘alā mā fa’altum nādimīn Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
” (QS. Al-Hujurat [49]:6) Quraish Shihab menerangkan ada dua hal yang dapat diperhatikan terkait ayat tersebut. Pertama, tabayyun terhadap pembawa berita apakah orang fasiq (orang yang aktivitasnya diwarnai dengan pelanggaran agama). Kedua, menyangkut dengan isi berita bahwa perlu adanya penyelidikan kebenaran sebuah berita. Kedua hal ini merupakan komponen yang tidak bisa diabaikan. Islam tidak membenarkan adanya share berita tanpa melakukan penyelidikan kevalidan secara mendalam.
B. Menyampaikan informasi dengan benar.
Islam mengajarkan opini yang jujur dan didasarkan pada bukti dan fakta serta diungkapkan dengan tulus. Tidak menyebarkan informasi yang belum diketahui kebenarannya di media sosial. Istilah ini disebut qaul zur yang berarti perkataan buruk atau kesaksian palsu. Firman Allah SWT:
ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ حُرُمٰتِ اللّٰهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ عِنْدَ رَبِّهٖۗ وَاُحِلَّتْ لَكُمُ الْاَنْعَامُ اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْاَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوْا قَوْلَ الزُّوْرِ ۙ
Dzaalika wa mai yu’azzim hurumaatil laahi fahuwa khairul lahuu ‘inda Rabbih; wa uhillat lakumul an’aamu illaa maa yutlaa ‘alaikum fajtanibur rijsa minal awsaani wajtanibuu qawlaz zuur Artinya:
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (QS. Al-hajj [22]:30)
C. Haram menebar fitnah, kebencian, dan lainnya.
Dalam Fatwa MUI No 24 Tahun 2017, disebutkan juga mengenai Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Hal ini berkaitan dengan perilaku masyarakat dalam menggunakan medsos yang berdampak positif.
Isi dari fatwa tersebut sebagai berikut:
- Melakukan ghibah; fitnah, namimah (adu-domba); dan menyebarkan permusuhan.
- Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan berdasarkan suku, ras. atau antara golongan;
- Menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup;
- Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala yang terlarang secara syari;
- Menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai dengan tempat atau waktunya.
D. Media sosial digunakan untuk amar ma’ruf nahi munkar yang menjamin dan mengatur kebebasan ekspresi.
Kebebasan berpendapat merupakan hak setiap insan. Namun, berpendapat sering kali disalahgunakan untuk membuat fitnah, opini palsu, dan menebar kebencian yang sering diutarakan melalui media sosial.
Allah SWT meminta agar setiap umat (manusia) membela apa yang baik benar, seperti diterakan dalam dalam surah berikut:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Waltakum minkum ummatuny yad’uuna ilal khairi wa yaamuruuna bilma ‘ruufi wa yanhawna ‘anil munkar; wa ulaaa’ika humul muflihuun Artinya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran:104)
E. Tidak digunakan untuk mengolok-olok orang lain
Media sosial tidak digunakan untuk mengolok-olok orang lain, seperti disampaikan dalam firman Allah SWT:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Yaaa ayyuhal laziina aamanuu laa yaskhar qawmum min qawmin ‘asaaa anyyakuunuu khairam minhum wa laa nisaaa’um min nisaaa’in ‘Asaaa ay yakunna khairam minhunna wa laa talmizuuu bil alqoob; bi’sal ismul fusuuqu ba’dal iimaan; wa mal-lam yatub fa-ulaaa’ika humuzh zhalimuun Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat [49]:11)
F. Larangan menebarkan kebencian dan berita palsu
Dalam (QS. An-Nur [24]:4) Allah SWT melarang untuk menebar kebencian dan membuat berita palsu:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ
Walladziina yarmuunal muhsanaati summa lam yaatuu bi-arba’ati shuhadaaa’a fajliduuhum samaaniina jaldatanw wa laa taqbaluu lahum shahaadatan abadaa; wa ulaaa’ika humul faasiquun Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur [24]:4
1. Menyampaikan informasi dengan benar Menyampaikan informasi dengan benar, tidak merekayasa atau memanipulasi fakta, serta menahan diri untuk tidak menyebarluaskan informasi tertentu di media sosial yang fakta atau kebenarannya belum diketahui secara pasti.
2. Menghindari prasangka suudzon atau buruk sangka, gibah, fitnah, dan tajassus Dalam bahasa hukum, penyampai informasi melalui media sosial hendaknya memegang teguh “asas praduga tak bersalah”. Prasangka yang tidak berdasar dapat membahayakan, karena dapat memicu bullying dan pembunuhan karakter.
3. Meneliti fakta Untuk mencapai ketetapan data dan fakta, seorang muslim hendaknya mengecek dan meneliti kebenaran fakta dengan informasi awal yang diperoleh agar tidak terjadi gibah, fitnah, dan tajassus.
4. Menghindari namimah atau mengadu domba Namimah atau mengadu domba maksudnya membawa suatu berita kepada pihak tertentu dengan maksud untuk mengadu domba pihak tersebut dengan pihak lain. Namimah juga dapat berarti provokasi untuk tujuan tertentu.
5. Menghindari Sukriyah Sukriyah berarti merendahkan atau mengolok-ngolok orang lain. Mengolok-ngolok, merendahkan orang lain, mencaci-maki, atau melakukan tindakan penghinaan dapat menumbuhkan kebencian.
6. Bijak dalam bersosial media Setiap muslim hendaknya bijak dalam menggunakan media sosial dengan mengedepankan etika, logika, dan perasaan serta berbagi nasihat yang baik, bijak, dan ikhlas.
7. Menghindari hal-hal negativ dalam media sosial Setiap muslim hendaknya menghindari upload maupun membagikan foto atau video berpose vulgar atau berkonten pornografi, berlebihan dalam bersuka cita, mengeluh, hingga berdoa di media sosial.
No responses yet