Oleh: Johan Wahyudi*

Pendahuluan

Sejarah Islam Nusantara merupakan kepingan masa lalu dari banyak kepingan yang membangun sejarah Indonesia. Periodesasi sejarah Islam Nusantara masih kerap diperdebatkan, apakah sejak orang atau golongan pertama memeluk Islam, ataukah ditentukan melalui tumbuhnya suatu peradaban, seperti kerajaan. Masing-masing pihak mempunyai alasan yang kuat. Setidaknya bisa ditegaskan, bahwa sejarah Islam Nusantara bukan sesuatu yang baru dibicarakan melainkan hal yang sudah lama dan lumrah diperbincangkan.
Dalam mengkaji sejarah, kedudukan sumber primer amat penting diperhatikan. Dari materi tersebut, tidak hanya didapat informasi melainkan juga label kebenaran suatu narasi masa lampau. Kerapkali, ruang pikir kita terjebak dalam pertarungan persepsi tentang sumber mana yang otoritatif diakses, yang bendawi atau non-bendawi. Sumber jenis kedua menyasar ingatan atau legenda yang telah turun temurun dituturkan. Mengakses sumber primer yang tertulis, tentu saja lebih diutamakan.

Sumber primer berupa arsip kolonial Belanda merupakan salah satu harta karun terpendam yang perlu diangkat dalam kajian Islam Nusantara. Sumber arsip diproduksi di zaman ketika suatu even terjadi. Sumber ini memberi informasi tentang suatu fenomena sosial dan persepsi publik pada suatu masa. Objek yang dibicarakan salah satunya adalah umat Islam dan pranata sosialnya. Dengan mengakses sumber ini, maka gerbang untuk menuju tafsir sejarah sosial islam Nusantara terbuka lebar.

Makalah ini akan mengupas sekelumit profil arsip kolonial berbahasa Belanda khusunya yang berkurun waktu abad XIX. Sebagian besar narasi yang tersusun adalah pengalaman pribadi penulis selama sekitar empat tahun melakukan studi dan riset sejarah menggunakan sumber arsip kolonial.

A. Arsip Kolonial, Suatu Perkenalan

Arsip kolonial merupakan kumpulan dokumen tertulis yang diproduksi ketika Nusantara berada dalam periode kuasa kolonial. Jika dilihat dalam sejarah, masa kuasa Belanda secara politik baru terlaksana sekitar 1816 hingga 1942, yakni setelah masa periode singkat pendudukan Inggris (1811-1816). Dengan kata lain, sebelum angka tahun utu, kedudukan Kerajaan Belanda bukan sebagai kolonisator, melainkan hanya sebagai bangsa asing yang bertandang dan menetap secara periodik di persada Nusantara.

Dalam ingatan penulis, Pemerintah Hindia Belanda tidak hanya menyandang profesi sebagai penjajah negeri ini, melainkan juga pihak yang taat administrasi. Harus diakui, masyarakat pribumi mengenal tata administrasi pertama kali dari bangsa Eropa. Hampir setiap kejadian yang berlangsung di suatu wilayah tidak luput dari penglihatan pejabat Kompeni maupun para pembesar pribumi yang bekerja untuk Hindia Belanda. Jika dampak dari suatu peristiwa meluas, boleh jadi akan sampai di telinga Gubernur Jenderal di Batavia. komunikasi yang terjalin begitu rapi, terstruktur dan informatif. Terentang dari pejabat tingkat bawah (kontrolir) hingga tingkat tinggi (Gubernemen).

Penulisan arsip kolonial terbagi dalam dua bahasa. Umumnya arsip ini berbahasa Belanda, namun di beberapa temuan juga ditulis dalam bahasa Melayu. Ada pula beberapa arsip yang menggunakan bahasa Arab, Cina, Persia, Jawa, Sunda dan lain-lain. Seringkali ditemukan suatu surat berbahasa Belanda, juga disalin dalam bahasa Melayu oleh petugas penyalin yang biasanya seorang pribumi. Kebanyakan arsip ditulis menggunakan tulisan tangan (tulisan elok atau latin). Sebagian kecil ditulis menggunakan mesin tik. Khusus untuk tulisan ketik baru berlaku sekitar masa awal abad 20. Alas yang digunakan adalah kertas ber-watermark, mirip dengan alas kertas pada manuskrip Nusantara.
Jenis arsip kolonial yang ada di Indonesia ada dua bagian;

1 ) Arsip yang diciptakan pada periode Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang eksis pada 1602 — 1799.

Arsip-arsipini dahulu di simpan di Kasteel van Batavia. Tidak hanya arsip Nusantara, tetapi juga arsip VOC untuk seluruh Asia. Surat menyurat yang dikeluarkan umumnya berasal dari Pemerintah Agung (Gubernur Jenderal) dan Anggota Dewan Kotapraja Belanda di Asia. Arsip pada masa Pemerintahan Hindia Belanda juga termasuk dalam jenis ini.

2) Arsip pribadi maupun lembaga-lembaga publik di Batavia.

Lokasi penyimpanan arsip kolonial terdapat di dua tempat, yakni di Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia atau ANRI (Jakarta) dan Nationaal Archief van Netherland (Den Haag, Belanda). Jumlah arsip yang tersimpan di Belanda lebih sedikit dibanding yang terdapat di Jakarta. Sejauh pengetahuan penulis, justru yang sedikit itu termasuk kebijakan-kebijakan tingkat tinggi, seperti kebijakan di bidang politik. Sartono Kartodirdjo berkisah bahwa ia mendapatkan sumber-sumber untuk menyusun disertasinya, “Pemberontakan Petani Banten 1888” di Schaarbergen, Arnhem, Belanda. Menurut informasi terkini, arsip di sana telah dipindahkan ke Den Haag.

Penulis mempunyai panduan tentang memilih arsip yang tepat bagi para sarjana yang tertarik menggunakan arsip sebagai sumber karya ilmiahnya, antara lain;

1) Missiven, arsip ini adalah surat menyurat kedinasan yang ditulis untuk melaporkan suatu hal. Jumlah arsip ini lebih besar ketimbang arsip lainnya. Jika merujuk masa kini, arsip jenis ini sama dengan surat dinas atau lembaga, baik negeri maupun swasta, atau bahkan surat pribadi yang ditujukan ke suatu lembaga.

2) Memorie van Overgave atau MvO (Surat Serah Terima Jabatan), arsip jenis ini biasanya dikeluarkan setiap tahun. MvO memuat banyak informasi menyangkut politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain dari suatu daerah administratif.

Kelebihan dari penggunaan arsip ini adalah para peneliti dapat mengetahui rancang bangun sosial secara holistik akan suatu daerah dalam satu tahun tertentu.

3) Besluit, arsip jenis ini dikeluarkan secara insidental. Arsip ini merupakan keputusan Gubernur Jenderal akan suatu hal yang terjadi di pusat maupun daerah. Arsip jenis ini biasanya digunakan untuk mengetahui luasnya dampak dari suatu kejadian atau peristiwa. Misalnya saja mengenai suatu pertempuran di Pulau Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir sekitar pada medio awal abad XIX. Surat menyurat antarpejabat Belanda mengenainya amat sering dilakukan. Gubernur Jenderal di Batavia sampai mengeluarkan besluit (keputusan) agar si pemimpin pemberontak itu diasingkan ke Pulau Timor. Pengasingan merupakan hukuman terkejam yang dijatuhkan pemerintah Hindia Belanda bagi pihak yang mengusik kedudukan mereka.

4) Reizen, arsip perjalanan. jenis arsip ini akan dengan gamblang menceritakan gambaran sosial, geografi, sifat dan watak penghuninya dan lain-lain. Contohnya adalah catatan perjalanan Rijkloff van Goens di wilayah Mataram pada abad XVII.

Untuk kajian yang sifatnya terlokus pada daerah, alangkah baiknya jika mengakses arsip kolonial kedaerahan. Di Gedung ANRI tersedia katalog arsip daerah meliputi wilayah; Banten, Tangerang, Batavia (lihat juga katalog Hoge Regeering), Krawang, Buitenzorg (Bogor), Preanger (Priangan), Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Kedu, Begelen, Banjoemas, Keresidenan Yogyakarta, Magelang, Surakarta, Madiun, Jepara, Rembang, Soerabaja, Joana (Juwono), Pasoeroean, Besuki, Probolinggo, Pacitan, Banyuwangi, Sumatra Westkust (Pantai Barat Sumatra), Riouw (Riau), Bangka, Biliton (Belitung), Palembang, Benkulen (Bengkulu), Lampoeng, Kalimantan Barat, Borneo Zuid en Ooskust (Borneo Selatan dan Pantai Timur), Manado, Gorontalo, Ternate, Ambon, Banda, Makassar, Bali-Lombok dan Timor.

Tidak usah sungkan dan ragu untuk menjadikan arsip kolonial sebagai sumber kajian sejarah Islam Nusantara. Informasi yang terkandung di dalamnya, amat penting dalam membentuk memori masa lampau. Misalnya saja saat meneliti dampak perang Diponegoro dari segi perekonomian Jawa tahun 1831 – 1850, maka kita dapat mengakses arsip-arsip yang berkenaan dengan pertanian atau kelautan di daerah-daerah yang pernah dilalui oleh pasukan Diponegoro, atau di daerah yang menjadi medan pertempuran pada periode tersebut. Data-data statistik boleh jadi sudah ditemukan untuk memperkuat persepsi apakah perekonomian Jawa mengalami kemunduran atau kemajuan paska perang besar itu.

B. Urgensi Arsip dalam Kajian Islam Nusantara

Arsip kolonial adalah sumber yang jarang diakses oleh sarjana sejarah, sejarawan, penggemar sejarah, khususnya di lingkungan PTKI (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam). Sejauh pengetahuan penulis, pihak yang kerap mengunduh informasi dari sumber ini adalah sarjana sejarah, sejarawan atau penggemar sejarah dari kampus-kampus umum seperti Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada maupun Universitas Diponegoro. Tiga universitas tersebut mempunyai tradisi kajian arsip sebagai sumber sejarah yang kuat.

Problem utama yang menyebabkan keengganann melirik sumber arsip adalah karena alasan bahasa. Kebanyakan arsip kolonial berbahasa Belanda, sehingga menuntut peneliti mempunyai pengetahuan bahasa Belanda yang memadai. Jika tidak, maka langkah alternatif bisa ditempuh, seperti menggunakan jasa penerjemah. Si penerjemah juga diharapkan memiliki pengetahuan sejarah Indonesia yang cukup agar hasil terjemahan sejalan dengan narasi sejarah yang bersangkutan. Di beberapa universitas umum, sebagaimana yang disebutkan, sudah ada jurusan bahasa dan sastra Belanda. Para ahli di bidang bahasa Belanda kerap dilibatkan dalam penelitian sejarah masa kolonial. Beberapa dosen dan peneliti di jurusan sejarah setempat juga mempunyai latar belakang bahasa Belanda yang cukup baik, sehingga ketika berhadapan dengan arsip Belanda tidak mengalami kesulitan.
Di lingkungan PTKI, pengajaran bahasa Belanda sebagai sumber sejarah masih dipandang sebelah mata. Jangankan mengkaji bahasa Belanda sebagai alat mengakses sumber sejarah, pengajaran bahasa Belanda saja belum marak dilaksanakan. Pembukaan jurusan Bahasa dan Sastra Belanda sepertinya masih jauh dari angan-angan. Padahal, sudah muncul kesadaran bahwa bangsa ini pernah dijajah oleh pemerintah Hindia Belanda, namun kesadaran untuk menggunakan sumber Belanda belum hadir di benak para peneliti kita.

Jika berkaca pada konten yang tersaji di arsip kolonial, terlihat bahwa kaum pribumi yang disebut oleh Kompeni adalah umat Islam. Kekuatan-kekuatan lokal abad XIX juga didominasi oleh perlawanan rakyat yang motivasinya kerap diasosiasikan sebagai perang di jalan Allah, seperti yang terjadi dalam Perang Aceh. Perlawanan masyarakat Aceh bukan hanya dilatarbelakangi oleh semangat membela tanah air, melainkan juga membela agama. Akan halnya dengan beberapa kasus mengenai perkembangan sastra dan intelektual di Jawa sebagaimana yang diteliti J.J. Ras, namun dengan mengambil spesifikasi abad XIX, idealnya dapat pula diperoleh melalui arsip kolonial. Belum lagi saat menimbang islam politiek yang menjadi sentra perhatian Snouck Hurgronje dalam memantapkan kedudukan kolonial Belanda, juga bisa ditelisik melalui sumber arsip kolonial.

Arsip kolonial sarat dengan muatan cara pandang neerlandosentris. Jajaran pemerintah Belanda ditempatkan seakan-akan di pihak yang benar, sedangkan kedudukan pribumi selalu berada di bawah mereka atau dipersalahkan. Segala bentuk aktivitas potes pribumi dikategorikan sebagai upaya subversif yang mengganggu ketertiban umum (openbare rust en orde). Sejarawan Islam Nusantara hendaknya tidak terpancing untuk menggunakan sudut pandang demikian. Yang perlu dilakukan adalah membalik paradigma, dari neerlandosentris menjadi indonesiasentris. Pihak-pihak yang dikelompokkan sebagai pemberontak dirubah menjadi sekumpulan masyarakat yang ingin terbebas dari keterkungkungan kolonial.

Sudah saatnya kita merebut arsip kolonial sebagi sumber kajian sejarah Islam Nusantara. Rasanya sudah cukup kita dibuat gigit jari oleh sepak terjang sarjana-sarjana berlatarbelakang universitas umum yang telah membangun jaring jemaring sejarawan yang memiliki landasan kajian arsip kolonial yang telah padu dan kuat. Dalam hal ini,kita perlu iri pada mereka. Ini adalah suatu jalan untuk memperteguh wacana Islam Nusantara sekaligus memperteguh urgensi Islam Nusantara sebagai sentra kajian bagi tema-tema sejarah Islam yang sifatnya endemik.

C. Penutup

Sejarah Islam Nusantara adalah kumparan dari serbaneka kumparan masa lalu yang perlu diteliti secara cermat dan akurat. Salah satu indikator penyokong hal itu adalah memilih dan memilah sumber-sumber otentik dan otoritatif yang berkenaan dengan suatu objek kajian. Arsip berbahasa Belanda yang tersimpan di Jakarta dan Den Haag agaknya berpeluang untuk membentuk tata sejarah sosial Islam Nusantara. Pemerian yang mendalam dan spesifik menjadi ciri khas yang ditawarkan sumber ini untuk memperkaya wawasan sejarah kita.
Perlu disadari, arsip diciptakan untuk kepentingan kolonial Belanda. oleh sebab itu, diperlukan interpretasi menggunakan paradigma indonesiasentris untuk melihatnya. Masyarakat pribumi diberlakukan sebagai “objek yang dikuasai”. Sang penguasa akan dengan bebas mempermainkan sesuatu yang dikuasainya tersebut. Perubahan paradigma “pemberontak” menjadi “pejuang”, lumrah dilakukan sejarawan atau penggiat sejarah untuk memperteguh nuansa patriotisme dan nasionalisme dalam penulisan sejarah.

* Penulis adalah dosen sejarah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan STAI Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah Jakarta. Penelitian terakhirn penulis adalah kisah perjuangan Depati Parbo melawan penjajah Hindia Belanda di Kerinci Jambi pada Awal Abad XX (2017). Kini sedang meneliti sejarah perjuangan Depati Amir yang akan diusulkan menjadi pahlawan nasional dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.  

Daftar Pustaka

Alfian, Teuku Ibrahim, Perang di Jalan Allah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Nursam, M. Membuka Pintu bagi Masa Depan; Biografi Sartono Kartodirdjo, Jakarta: Kompas, 2008.
Ras, J.J. Masyarakat dan Kesusasteraan Jawa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014.