Istilah “العقلاء” – kata syaikh Husam – diletakkan kepada orang-orang yang memerhati dan memiliki kemampuan dalam Ilmu Ma’qul, seperti Mantiq, Maqulat, Adabul Bahts, dan seterusnya. Makanya tidaklah benar bahwa lawan  dari kata العقلاء adalah مجانين (orang-orang gila). Namun yang benar adalah غير العقلاء, bisa jadi Fuqaha’, Syuara’ yang tidak memiliki kecenderungan dan kemampuan mempelajari ilmu Ma’qul. 

Karenanya, makna العقلاء disematkan kepada mereka yang menyelami samudera ilmu Ma’qul, seperti Falasifah, Mutakallimin, baik dari kalangan Asy’ariyah, Muktazilah,  Syiah, barangkali juga Wahabi, jika memang ada dari mereka yang menyelami dan mumpuni dalam ilmu Ma’qul. 

Jika ditelisik dari sejarah al-Azhar, dapat ditemukan hubungan yang kuat antara ulama al-Azhar dengan ulama Ma’qul yang kala itu didominasi ulama-ulama persia pada abad ke 8 H. 

Ibnu Khaldun mengatakan:

ولقد وقفت بمصر على تآليف متعددة لرجل من عظماء هراة من بلاد خراسان يشهر بسعد الدين التفتازاني، منها في علم الكلام وأصول الفقه والبيان، تشهد بأن له ملكة، راسخة في هذه العلوم، وفي أثنانها ما يدل له على أن له اطلاعا على العلوم الحكمية وقدما عالية في سائر العلوم العقلية والله يؤيد بنصره من يشاء 

Intinya isinya pujian ke Allamah Tsani, Mas’ud al-Taftazani dan kitab-kitab beliau yang tersebar di Mesir. 

Hubungan antara ulama Persia dengan ulama al-Azhar – salah satunya – melalui Imam Jalaluddin al-Mahalli, Syarih Minhaj. Kata syaikh Husam, Imam Mahalli berguru kepada salah satu muridnya al-Muhaqqiq Mir Sayyid Syarif al-Jurjani. Beliau tidak menyebutkan namannya. Imam Mahalli juga berguru kepada Alauddin al-Bukhari, murid langsung dari Allamah Tsani, Sa’duddin Taftazani. Dari situ, kita bisa mengetahui rantai keilmuan ulama al-Azhar dengan ulama Ma’qul dari Persia. 

Syaikh Taftazani berguru kepada Imam Adhuddin al-Iji dan Qutbuddin al-Razi, Syarih Syamsiah. Qutbuddin al-Razi berguru kepada al-Hilli al-Syi’i, pensyarah pertama kali risalah Syamsiah dan Qutbuddin Syirazi. Qutbuddin al-Syirazi dan al-Hilly berguru kepada al-Katibi, pengarang kitab Syamsiah dan berguru kepada Nashiruddin al-Thusi, ulama syiah yang memiliki guru ahlussunnah dan memiliki murid dari kalangan ahlussunnah. Nashiruddin al-Thusi dan al-Katibi berguru kepada Atsiriddin al-Abhari, pengarang matan Isaghuji. Al-Hakim Atsiriddin al-Abhari adalah murid kesayangan dari Imam Fakhruddin al-Razi, mujaddid abad ke 6. 

Demikian silsilah keilmuan ulama Ma’qul yang disebutkan syaikh Abdul Hamid Turkamani, syaikh muda yang “gila” dengan ilmu Ma’qul. Semoga Allah memanjangkan umur beliau. 

Imam Jalaluddin Mahalli merupakan maha guru dari ulama al-Azhar. Salah satu murid Imam Mahalli adalah syaikh Islam, Zakariya al-Anshari rahimahullah. 

Syaikh Zakariya al-Anshari dalam biografi beliau yang ditulis oleh Syaikh Musthafa Athiyyah disebutkan bahwa salah satu kitab yang dipelajari oleh beliau dalam fan Mantiq adalah syarah Qutburrazi atas Syamsiah. Ini menunjukkan bahwa kitab-kitab ulama Ma’qul dari persia memiliki pengaruh besar kepada ulama al-Azhar, hingga dijadikan kitab tadris. 

Hal ini pula lah yang mempengaruhi ulama untuk meringkas seringkas mungkin sebuah Ibarah dalam matan (dengan tetap menjaga faidah di dalamnya). Itu bisa disaksikan dalam karya Imam Mahalli dan syaikh Zakariya al-Anshari. 

Tak heran, syaikh Ibrahim Baijuri pernah mengatakan

“Ulama Mutaqaddim condong ke Ithnab. Ulama Mutaakhirin condong ke Îjāz.” Saya lupa Ibarahnya. Intinya begitu yang dikutip syaikh Fauzi. 

Dengan kitab ulama ma’qul itu jugalah, para ulama al-Azhar seperti syaikh Suja’i, syaikh Hasan Athhar, dan lain-lainnya, sekuat mungkin mengikhtisar sebuah ibarah dengan tetap menjaga keindahan faidah di dalamnya. Tak heran, beberapa baris dalam kitab mereka bisa disyarah dan dihasyiahi sampai lebih dari satu halaman.

Demikianlah hubungan ulama al-Azhar dengan ilmu Ma’qul dari Persia. 

Madinatul Buuts, 3 Agustus 2020

Kitab cover hitam itu Hasyiah Athhar atas Syarah Maqulatnya syaikh Sujai. Kubra dan Sughra. Di samping, syarah Maqulat Sujai dengan syarah dari syaikh Husam Ramadan. Di depan, kitab Al-Azhar Fi Alfi Am. Tidak sempurna keazharian seseorang jika tidak membaca kitab itu. Hehe. 

Tulisan ini menanggapi permintaan sidi Fahmi Ain Fathah. Sudah lama ingin ditulis, cuma baru kesampaian. 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *