Dalam Kitab Al-Jurumiyah disebutkan bahwa Al-Kalam adalah
الْكَلَامُ هُوَ اللَّفْظُ الْمُرَكَّبُ الْمُفِيْدُ بِالْوَضْعِ
Kalam adalah susunan kata, yang memberikan manfaat dan diucapkan dengan sadar.
Kalām menurut para ahli bahasa adalah susunan kata yang berasal dari ucapan lisan dan perbuatan nyata. Pengucapnya adalah orang yang menyadari posisinya, menunjukkan pada jalan Allah dengan ucapannya, bermanfaat bagi hati pendengarnya. Dapat berupa pengetahuan, cahaya, maupun rahasia-rahasia.
Sebagaimana disebutkan dalam al-Ḥikam :
تَسْبِقُ أَنْوَارُ الْحُكَمَاءِ أَقْوَالَهُمْ فَحَيْثُ صَارَ التَّنْوِيْرُ وَصَلَ التَّعْبِيْرُ
“Cahaya-cahaya kebijaksanaan orang-orang bijak tampil mendahului ucapan-ucapan mereka. Pada saat pencerahan sudah terjadi, barulah kemudian datang penjelasannya.”
Hanya kalām yang menyentuh hati yang dapat membangkitkan dan melahirkan kerinduan pada Kehadiran Suci. Hanya kalām yang menghunjam hati yang menghadirkan ketakutan berbuat dosa.
أَنَّ الْكَلاَمَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْقَلْبِ وَقَعَ فِي الْقَلْبِ
Bahwasanya ucapan itu jika berasal dari hati, akan sampai ke hati (diterima oleh hati).
Kaum Sufi merumuskan bahwa yang dimaksud Al-Kalām yaitu:
اللفظ المركب من القلب واللسان, المفيد بوضعه في القلب تنويرا أو ترقية وشهودا
Susunan kata yang melukiskan hati dan lisan. Bermanfaat. Bersemayam di hati. Menciptakan pencerahan. Meningkatkan derajat dan penyaksian.
Dalam Kitab Al-Jurumiyah disebutkan bahwa pembagian Al-Kalam terdiri dari :
وَ أَقْسَامُهُ ثَلَاثَةٌ: اِسْمٌ وَ فِعْلٌ وَ حَرْفٌ جَاءَ لِمَعْنًى
Kalam terbagi menjadi tiga, yaitu isim, fi‘il dan harf yang mengandung makna.
Sufi berpendapat bahwa pembagian kalām yang dipakai seorang hamba untuk mencapai ke hadirat Tuhan ada tiga macam:
1. Isim / kata benda (nama)
Yaitu, zikir dengan kata tunggal (mufrad), yaitu Allah. Disebutkan dalam firman-Nya:
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا
Berzikirlah pada nama Tuhanmu, dan curahkan perhatianmu kepada-Nya dengan penuh kesungguhan. (Al-Muzzammil: 8)
Isim mufrad adalah raja segala isim. Isim tersebut adalah nama Allah yang paling agung. Karenanya seorang murid harus senantiasa melantunkan zikir nama ini dengan lisannya, bergetar karenanya, sampai mengalir dalam daging dan sumsum tulang, memancarkan cahaya-cahaya ke sekujur tubuh. Hingga bersatulah antara pelaku zikir dan pusat zikir. Zikir pun kemudian memasuki hati, menyusuri kawasan jiwa, hingga menembus pusat rahasia.
Saat itu lisan pun menjadi bisu. Sang murid mencapai dataran kesaksian dan kejelasan. Pada dataran ini, zikir lisan pun menjadi bagian dari dosa, ketika mencapai penyaksian pada alam kegaiban.
حَسَنَاتُ الْأَبْرَارِ سَيِّئَاتُ الْمُقَرَّبِيْنَ
“Berbagai kebaikan bagi orang-orang baik, merupakan keburukan bagi orang-orang yang dekat dengan Allah.”
2. Fi‘il / kata kerja
Yang dimaksud fi‘il di sini adalah berbuatan melawan hawa nafsu dengan mengoyak-ngoyak kebiasaan-kebiasaan hina dan rendah. Banyak bicara terkoyak oleh diam. Banyak tidur terkoyak oleh keterjagaan. Banyak makan terkoyak oleh lapar.
Kebiasaan rendah paling berbahaya yang menggiurkan nafsu adalah mabuk kepemimpinan, kekuasaan, dan harta. Tenggelam dalam kehinaan, kefakiran, dan ketidakpopuleran, akan mengoyak nafsu tersebut.
ادفن وجودك في أرض الخمول فما نبت مما لم يدفن لايتم نتاجه
Tenggelamkanlah keberadaanmu dalam bumi khumul (ketidakpopuleran), Karena apa pun yang tumbuh, Dari biji yang tidak dipendam, Tidak akan sempurna buahnya.
Khumūl, adalah segala sesuatu yang merendahkan kedudukan martabat dan menurunkan derajatnya di hadapan manusia. Mereka berkata: “Ketika seorang murid sudah jatuh menurut pandangan makhluk, maka dia mulia dalam pandangan al-Ḥaqq.” Ketika kehinaan, kerendahan, dan khumūl lebih terasa nikmat daripada kemuliaan, dia telah menguasai dirinya. Dan orang yang sudah menguasai dirinya, bagaikan menguasai wujud secara keseluruhan, sampai keharibaan Tuhannya. Sebagian ulama Sufi mengatakan:
انتهى سير السائرين إلى الظفر بنفوسهم فإن ظفورا بها وصلوا
“Perjalanan para pencari kebenaran berpuncak pada kesadaran akan diri mereka sendiri. Bila mereka sudah mencapainya, berarti mereka telah sampai.”
3. Al-Harf
Yang dimaksud dengan Al-Harf adalah harapan, cita-cita, tabiat, pembawaan, dan perjuangan mencapai Allah. Al-Harf ini harus dimiliki dalam permulaan perjalanan, dan bila telah sampai kepada Allah, hendaknya dilepaskan. Syaikh Abu al-Hasan asy-Syadzili r.a. berkata:
إذا كان ولابد من الحرف فحرف بينك وبين الله خير من خرف يكون بينك وبين الخلق
“Apabila memang harus ada Al-Harf dan tidak bisa dihindarkan adanya, maka Al-Harf yang ada antara kamu dengan Allah lebih baik daripada Al-Harf yang ada antara kamu dengan makhluk.”
Al-Harf yang dimaksud adalah pengharapan untuk mencapai satu martabat di antara martabat-martabat. Al-Harf yang berkilau adalah pengharapan dalam mencapai Allah, pada ridha-Nya, pada kemuliaan di tengah kemuliaan-kemuliaan para wali-Nya, pada nikmat-nikmatNya yang abadi. Al-Harf kegelapan adalah pengharapan memenuhi panggilan-panggilan nafsu yang bersifat sementara, seperti kepemimpinan, kehormatan, kekuasaan, cinta dunia, dan tujuan-tujuan duniawi lain yang menjadi tujuan orang-orang yang bercita-cita rendah.
Dengan demikian, ketiga jenis kalām (isim, fi‘il, Al-Harf ), dapat disepadankan dengan tiga tahapan yang harus dilalui seorang murid syari‘at, tarekat, dan hakikat. Syari‘at berdasarkan perkataan Nabi Muḥammad s.a.w. Tarekat berdasarkan perbuatan beliau. Hakikat berdasarkan keadaan batin pribadi beliau. Nabi SAW bersabda:
الشَّرِيْعَةُ أَقْوَالِيْ، وَالطَّرِيْقَةُ أَفْعَالِيْ وَالْحَقِيْقَةُ أَحْوَالِيْ
“Syari‘at adalah ucapan-ucapanku. Tarekat adalah perbuatan-perbuatanku, dan hakikat adalah keadaan pribadiku.”
Syari‘at adalah bahwa kamu beribadah kepada-Nya. Tarekat adalah bahwa kamu menuju kepada-Nya. Sementara hakikat adalah bahwa kamu menyaksikan keagungan-Nya. Syari‘at kebanyakan berupa ungkapan kata-kata.
Tarekat kebanyakan berupa tindakan-tindakan, yaitu memerangi hawa nafsu dan menahan penderitaan. Sedangkan hakikat kebanyakan berupa budi pekerti dan bentuk-bentuk olah rasa.
Demikianlah arah isyarat dari ungkapan mushannif kitab al-Ajrumiyyah, isim, fi‘il dan Al-Harf , sebagaimana aku sebutkan di atas.
Syari‘at bagi orang-orang awam. Tarekat untuk para orang khusus. Hakikat milik orang-orang istimewa (terdekat-Nya). Orang awam mencukupkan diri berpegang pada aturan-aturan syari‘at lahir.
Orang-orang khusus berpegang pada aturan syari‘at secara lahir, sembari bersuluk dalam tarekat untuk mencapai hakikat dengan membersihkan pribadi dan menyucikan hati. Merekalah orang-orang yang benar-benar berjalan di antara para murid.
Sedangkan orang-orang istimewa berpegang pada aturan syari‘at lahir dan pada perilaku tarekat secara batin.
Cahaya-cahaya hakikat pun memancar atas diri mereka. Mereka berakhlak sebagaimana akhlak Nabi Muḥammad s.a.w., mewarisi keadaan pribadi dan ucapan beliau. Merekalah pewaris nabi yang sebenarnya. Mewarisi harta peninggalan secara sempurna, berupa ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan perilaku hidup beliau.
Al-Qusyairi menjelaskan tafsir firman Allah yang berbunyi:
فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ
“Di antara mereka ada orang yang berbuat zalim pada dirinya sendiri, ada yang bertindak secara seimbang, dan ada yang bercepat-cepat dalam melakukan kebaikan-kebaikan.” (Al-Fathir: 32).
Dia berkata: “Orang akan berlaku zalim pada dirinya sendiri, ketika orang tersebut hanya berpegangan ucapan-ucapan Nabi s.a.w (tekstual). Orang yang bertindak secara seimbang adalah orang yang berpegang pada ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan beliau. Sementara orang yang berpacu dalam kebaikan adalah orang yang berpegang pada akhlak beliau.” Artinya, orang yang memegang teguh akhlak Nabi s.a.w., setelah berpegang teguh pada ucapan dan perbuatan beliau.
Wallāhu ta‘ālā a‘lam.
Tertarik? Pesan Disini
No responses yet