Beberapa bulan yang lalu, tepatnya di awal tahun 2020 ini, saya “dihadang” oleh seorang yang sangat kenal dengan saya sehabis Jum’at. Ia sepertinya menunggu-nunggu kapan saya berjum’at, membaca khutbah, di mesjid tersebut. Kami bersalaman, dan beramah tamah sesuai adat di kampung. Ia perkenalkan diri bahwa ia begitu kenal dengan saya dan guru saya. Di akhir percakapan, ia meminta saya untuk mengaji (memberi pengajian) di suraunya. Namun, kalimat terakhir yang ia bisikkan, kira-kira: “Kalau bisa kaji yang dibaca kaji ka-dalam.” Ia pun sedikit mengerutu, mengapa ketika saya memberi ceramah di surau sebelah suraunya saya tidak membicarakan “kaji ka-dalam” itu; lebih kepada pendapat-pendapat ulama dari kitab-kitab. Raut wajahnya menyayangkan, dan mengharapkan bahwa di suraunya nanti saya akan membaca kaji “ka-dalam” itu dengan sejadi-jadinya. Saya hanya tersenyum saja mendengar kata-katanya. Dan saya tidak hadir dalam pengajian itu.

Sejak pulang dari menyelesaikan magister di seberang, saya mulai aktif berceramah. Mulai dari mesjid terdekat, sampai diundang ke tempat jauh-jauh. Apalagi sejak gelar “Angku Mudo” diamanahkan guru, saya ditahbis menjadi salah satu angkatan muda dari ahli thariqat di kampung saya. Namun saya selalu menempatkan diri sebagai murid belaka. Ketika berceramah-pun, saya tidak ingin menunjukkan bahasan-bahasan tasawuf yang dalam-dalam itu, saya mencoba untuk mengulangkan kembali bahasan-bahasan dalam kitab al-Ghazali misalnya, dan dibahasakan dengan bahasa daerah. Bila ada orang-orang asyik membicarakan hal-hal yang “ka-dalam” itu, di tempat dan situasi yang tidak tepat, biasanya saya menjauh, tidak ikut mengomentari. Apalagi di media sosial yang dibaca umum. Artinya ada hal yang bisa disampaikan di muka umum, ada pula yang hanya disampaikan pada kalangan terbatas, dan ada yang tidak bisa disampaikan kepada siapa-siapa.

Oleh sebab itu, saya “berhalangan” hadir bila diundang, apabila jamaahnya meminta kaji “ka-dalam” itu. Saya katakan pada orang yang mengundang, “ambo pandainyo hanyo kaji-kaji thaharah sajo pak, indak pandai mambaco-baco itu.” Karena sikap ini, saya dianggap “khalifah” kitab saja, yang berceramah hanya bertumpu pada kitab-kitab. Cap itu saya terima dengan senang hati tentunya, karena saya memang tidak berniat terkenal dalam deretan orang tua-tua. Lihatlah, ketika saya diundang dalam satu acara ahli thariqat, saya berpakaian biasa saja; berpeci hitam, baju batik atau koko, dan bercelana panjang. Tambahannya hanya cemiri di leher, tidak lebih. Karena memang ingin menjadi biasa saja.

Dalam satu diskusi dengan ikhwan di surau, di depan guru saya, mengomentari salah satu pengajian, saya katakan: “Sacaro kaji kito sapakati. Namun, kok tabaco nan indak patuik dibaco di muko jama’ah, padahal jama’ah itu ado nan masih anak-anak dan remaja nan alun bisa rasonyo memahami. Ba a kiro-kiro dalam i’tikad?”, “Taroklah kito memahami dengan pemahaman nan muwahhid. Namun, dzuq yang kito curitokan itu, apokah lai dipahami dengan pemahaman muwahhid oleh pendengar yang banyak?”, saya timpali “Lobiah rancak kito mengulang sejarah, seperti syaikh-syaikh nan alim kiramait itu, yaitu indak jauah dari kitab. Kalaupun bersangkut dengan pengajian, mako dalam kalangan terbatas sajo.” Kawan saya tersebut mengangguk, tanda sehati. “Dan thariqat kita adalah thariqat ‘amal.”

melihat akhir-akhir ini, saya pun harus banyak-banyak membaca “Tanbihus Salikin ila-ghururil mutasyayyikhin” karya al-‘Allamah al-Waly Hasan bin Muhammad Hilmi al-Qahi al-Naqsyabandi al-Syadzili, supaya duduk dalam tempat salik yang sebenarnya.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *