Oleh: Al-Habib ‘Umar bin Hafizh
Penerjemah: Nurkaib
Penerbit: Penerbit Noura Books (PT Mizan Publika)
————————————————–
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah, yang telah menciptakan manusia dan menyempurnakan bentuknya, dan menganugerahinya lisan yang bisa digunakan untuk menjelaskan apa yang dikandung hati dan akal. Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata; tiada sekutu bagi-Nya. Saya pun bersaksi bahwa junjungan kita, Muḥammad, adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau, keluarganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang membaca takbīr dan tahlīl kepada Allah.
Sesungguhnya lisan merupakan salah satu bentuk anugerah dan keindahan ciptaan Allah. Ukurannya kecil, tetapi pahala dan dosa yang ditimbulkannya besar. Melalui lisan, kekafiran dan keimanan bisa dibedakan. Dengannya pula seseorang membicarakan semua yang wujud dan yang tidak wujud, sifat-sifat Sang Pencipta, dan sifat-sifat makhlūq-Nya. Itulah keunikan lisan. Mata hanya bisa berinteraksi dengan gambar dan warna. Telinga hanya bisa berhubungan dengan suara. Tangan hanya bisa berurusan dengan benda berwujud. Adapun lisan mempunyai medan yang luas.
Manusia sering meremehkan dan tidak membentengi diri dari berbagai penyakit yang mungkin ditimbulkan oleh lisan. Padahal, lisan adalah senjata syaithān yang paling penting dalam memperdaya manusia. Berikut ini akan saya jelaskan penyakit-penyakit itu secara rinci dan cara menghindarkan diri darinya.
Besarnya Risiko Lisan dan Keutamaan Diam
Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda: “Siapa yang diam, ia selamat.” Diriwayatkan dari Anas bahwa Luqmān pernah berkata: “Diam itu kebijaksanaan, tetapi sedikit yang melakukannya.”
‘Uqbah bin ‘Āmir mengisahkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, apakah keselamatan itu?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “jaga lisanmu, berdiamlah di rumahmu (untuk beribadah) dan tangisi kesalahanmu.” Sahal bin Sa‘ad menuturkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda: “Siapa yang menjaga sesuatu di antara kedua rahangnya (yaitu lisan) dan sesuatu di antara kedua kakinya (yaitu kemaluan), aku menjaminkan surga baginya.”
Rasūlullāh s.a.w. pernah ditanya mengenai perkara yang paling banyak membuat manusia masuk surga. Beliau menjawab: “Ketaqwāan kepada Allah dan budi pekerti yang baik.” Beliau juga ditanya tentang perkara yang paling banyak membuat manusia masuk neraka. Beliau menjawab: “Dua rongga, yaitu mulut dan kemaluan.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda: “Kebanyakan dosa anak Adam berasal dari mulutnya.” (66) Rasūlullāh s.a.w. juga pernah bersabda: “Siapa yang menahan lisannya, Allah tutupi aibnya. Siapa yang menguasai emosinya, Allah lindungi dia dari siksa-Nya. Dan siapa yang meminta ampun kepada-Nya, Allah terima permintaan ampunnya.”
Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata yang baik atau diam.” (88) Diriwayatkan dari Barrā’ bin ‘Āzib bahwa seorang Badui menemui Rasūlullāh s.a.w. dan bertanya: “Tunjukkan kepadaku suatu ‘amal yang bisa membuatku masuk surga.” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Beri makan orang yang lapar, beri minum orang yang haus, serukan kebaikan, dan cegah kemungkaran. Jika engkau tidak sanggup, tahan lidahmu kecuali untuk kebaikan.”
Abū Bakar meletakkan kerikil di dalam mulutnya untuk mencegah dirinya berbicara. Seraya menunjuk pada lisannya, ia menuturkan: “Inilah yang bisa membawaku pada kebinasaan.” Ibnu Mas‘ūd mengatakan: “Hanya lisan yang lebih memerlukan penjara dalam waktu lama.” Ḥasan al-Bashrī mengatakan: “Tidaklah memahami agamanya, orang yang tidak sanggup menjaga lisannya.” Yūnus bin ‘Ubaid mengatakan: “Seseorang yang senantiasa memberi perhatian yang besar pada lisan (ucapannya) niscaya engkau akan melihat kebaikan pada seluruh ‘amal perbuatannya.” Rabī‘ bin Khutsaim tidak pernah membicarakan urusan dunia selama 20 tahun. Ketika pagi tiba, ia mencatat apa yang ia bicarakan, lalu mengoreksinya pada sore hari. Mansūr bin al-Mu’tazz tidak pernah berbicara satu patah kata pun selepas waktu ‘Isyā’ selama 40 tahun.
Mungkin engkau bertanya: “Apa sebabnya sehingga diam memiliki keutamaan yang begitu besar?” Ketahuilah, sebabnya adalah banyaknya penyakit yang ditimbulkan oleh banyak bicara. Penyakit itu ada yang bersumber dari syaithān dan ada pula yang bersumber dari tabiat seseorang. Dengan diam, penyakit-penyakit itu tidak akan membebani seorang pendiam. Sementara itu, dalam diam, seseorang bisa menguatkan niat, senantiasa bersikap tenang, mempunyai waktu kosong untuk berdzikir dan beribadah, dan selamat dari konsekuensi yang timbul dari ucapan, baik yang terkait dengan dunia maupun akhirat.
Dalam sebuah hadits disebutkan: “Siapa yang diam, ia selamat.” Dan sungguh, demi Allah, ia pun mendapat anugerah berupa permata kebijaksanaan dan kalimat yang berbobot.
Kiriman Gus Wakit Ibnu Yusuf – Kader2 NU se-Nusantara
No responses yet