Catatan Singkat Kajian Kitab Qimah al-Zaman karya Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah (1917-1997), Ke 21

Apa kaitannya antara Imam al-Haramain (419-478 H) dan Kiai Abdul Karim (1856-1954)? Imam al-Haramain adalah salah satu tokoh kelahiran Naisabur (Iran) yang membentuk keilmuan Imam al-Ghazali (450-505 H). Nama Imam al-Haramein melekat kuat di kalangan santri melalui kitab al-Waraqat. Kitab tipis yang menjadi pegangan wajib bagi santri yang memulai mempelajari ushul fiqih. Di satu sisi, Kiai Abdul Karim (nama kecil beliau adalah Manab) ghalib dikenal santri sebagai pendiri Pesantren Lirboyo Kediri. Pesantren yang sudah lebih dari satu abad menjadi kiblat pendidikan. Bermula dari sepetak mushola kecil, kini berjibun asrama dan ruang kelas yang bertingkat. Mendidik 30-an ribu santri.

Tentunya, kedua tokoh ini memiliki selaksa inspirasi bagi generasi muda. Namun demikian, ada satu titik temu laku intelektual yang penting dari keduanya. Yakni nyantri yang tidak pernah berhenti.  Sebagaimana dikisahkan oleh Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, Imam al-Haramain meskipun sudah berusia 50 tahun, namun masih nyantri kepada Imam Ibnu Fadhal al-Qairawani (479 H), ulama pakar dalam bidang nahwu. Setiap hari, Imam al-Haramain mendatangi rumah sang guru. Secara rutin talaqi mendaras kitab “Iksir al-Dzahab fi Shina’ah al-Adab”, kitab ilmu nahwu anggitan sang guru. Kedudukan Imam al-Haramain yang sudah diakui keilmuannya sebagai seorang Imam, tidak membuat beliau segan untuk selalu belajar.

Setali tiga uang, Kiai Abdul Karim tidak jauh beda halnya dengan Imam al-Haramain. Masyhur diketahui, setelah lebih dari 23 tahun nyantri di bawah asuhan Syaikhona Kholil Bangkalan (1820-1925), Mbah Manab boyong. Syaikhona mengizinkan Mbah Manab karena dinilai sudah habis ilmu beliau dipelajari oleh sang murid. Namun demikian, di tengah perjalanan, Mbah Manab mendengar bahwa salah satu teman seperguruannya, yakni Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari telah membuka pesantren Tebuireng Jombang. Kiai Hasyim Asy’ari dikenal sebagai pakar dalam bidang hadis. Pemegang sanad kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.

Tak pelak, karena keinginannya belajar hadis, Mbah Manab tidak jadi boyong. Tetapi nyantri kembali di Tebuireng. Padahal, usia beliau sudah di kisaran 45 tahun. Lebih dari itu, Mbah Manab tidak cukup sebulan dua bulan belajar hadis di Tebuireng, melainkan selama 5 tahun.  Dengan kata lain, meskipun usia beliau sudah setengah abad, namun beliau masih terus nyantri. Di tahun-tahun terakhir nyantri di Tebuireng itu, Mbah Manab dijodohkan oleh Kiai Hasyim Asy’ari dengan Nyai Khadijah, putri Kiai Sholeh Banjarmlati Kediri, salah satu kerabat Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari. Selang beberapa tahun kemudian, Mbah Manab merintis Pesantren Lirboyo. 

Dua laku intelektual kedua tokoh di atas bukanlah kisah fiktif, namun nyata adanya. Sebuah contoh nyata bagaimana usia bukanlah penghalang untuk mencintai ilmu. Sebuah contoh nyata laku rendah hati berkhitmah kepada ilmu dan agama. Benar adanya, Imam Ibnu al-Mubarak (118-181H) menyatakan bahwa seseorang akan menjadi berpengetahuan, selama ia mau terus belajar. Karena itu, ketika seseorang menyangka dirinya telah berpengetahuan dan meninggalkan belajar, maka sungguh orang itu telah jatuh dalam kebodohan yang nyata.

Lantas inspirasi apa yang dapat anda petik dari dua tokoh di atas? Menarik kita perbincangkan.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *