Oleh : Yuliani Lestari
Di Indonesia sering terjadi Kasus–kasus yang sepele namun dibesar-besarkan oleh media akibat adanya ketidakadilan hukum di Indonesia atau dalam tanda kutip “Tajam ke bawah dan Tumpul keatas” maksud dari istilah tersebut adalah salah satu sindiran nyata bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat kelas menengah. Inilah dinamika hukum di Indonesia, seolah sudah berganti paradigma yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar, atau dalam istilah hukum “timpang sebelah”.
Prinsip seperti ini dalam hukum humaniter adalah Asas Equality Before The Law yang merupakan manifestasi dari Negara Hukum (Rechstaat) sehingga harus adanya perlakuan sama bagi setiap orang di depan hukum (Gelijkheid van ieder voor de wet). Bukannya malah mengimplementasikan bagaimana caranya melindungi pihak yang memiliki segudang kepentingan lalu menanggalkan hak dari pihak yang sebetulkan berhak mendapatkan perlindungan.
Penurunan dalam penerapan Asas Equality Before The Law dalam lapisan dimensi masyarakat disebabkan oleh adanya politik pluralisme hukum yang memberi ruang berbeda bagi hukum islam dan hukum adat. Disamping itu pula, adanya oknum-oknum yang berwenang yang dapat mengenyampingkan hukum. Dimana oknum-oknum tersebut seharusnya menegakkan hukum, namun kewenangan yang ada padanya disalah pergunakan. Banyak Kasus-kasus besar seperti korupsi dan kawan-kawannya dianggap kecil, namun sebaliknya kasus-kasus sederhana yang mungkin bisa diselesaikan secara kekeluargaan bahkan dibesar-besarkan. Ada berbagai faktor yang menghambatnya bukan hanya karena ada faktor kekuatan politis yang membentenginya, melainkan juga menciptakan penundaan proses hukum dengan segala celah pembalikan opini di ruang publik. Bukan rahasia umum kondisi hukum ketika berhadapan dengan orang yang memiliki kekuasaan, baik itu kekuasaan politik maupun uang, maka hukum menjadi tumpul. Tetapi, ketika berhadapan dengan orang lemah, yang tidak mempunyai kekuasaan dan sebagainya, hukum bisa sangat tajam.
Menyinggung kasus pembunuhan Brigadir Yoshua yang sampai saat ini dirasa belum juga menemukan titik keadilan yang dinantikan khususnya oleh keluarga Brigadir Yoshua. Mengapa demikian ?
“Terdakwa Ferdy Sambo sebagai pelaku intelektual telah dituntut dengan hukuman seumur hidup karena telah memerintahkan terdakwa Richard Eliezer untuk mengeksekusi menghilangkan nyawa Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat guna menyempurnakan pembunuhan berencana hingga terdakwa Richard Eliezer dituntut 12 tahun pidana penjara, Terdakwa Putri Candrawathi dijatuhi tuntutan delapan tahun penjara lantaran mengetahui rencana pembunuhan dan tidak berupaya menghalangi tindakan tersebut.” ujar Ketut Sumedana dalam konferensi persnya, Kamis (19/1/2023).
Banyak tanggapan mengenai hukum pidana yang akan dijatukan kepada para pelaku atas pembunuhan Brigadir Yoshua. Mulai dari pihak keluarga Brigadir Yoshua yang tidak bisa menerima hukuman yang dijatuhkan oleh jaksa penuntut umum. Mulai dari polemik yang muncul akibat tidak sesuainya hukuman yang dijatuhkan pada sambo dan putri yang dinilai belum cukup untuk membalas perbuatan mereka. Hingga terfokus pada hukum yang akan dijatuhkan pada Brigadir Richard Eliezer yang dinilai berlebihan dan tidak bisa menghargai banyaknya kejujuran dan keterbukaan yang diutarakan Brigadir Eliezer.
Padahal Menurut Hasto, LPSK sudah memberikan perlindungan kepada Bharada E sejak menjadi justice collaborator. Tiga upaya yang sudah diberikan LPSK, kata dia, adalah pengamanan, perlindungan, dan pengawalan yang terus dilangsungkan hingga saat ini.
Namun yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh LPSK dan Keluarga. Pihak keluarga dikejutkan dengan berita yang tidak mengenakkan. Richard Eliezer atau Bharada E dituntut hukuman pidana penjara 12 tahun dalam kasus dugaan pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Sambil terbata bata dan bisa dibilang menahan tangis, Roy Pudihang¸Paman Richard mengatakan “Kami keluarga juga merasa terkejut dan terpukul dengan (tuntutan) hukuman yang dijatuhkan 12 tahun”
Banyak yang beropini ada permainan hukum di dalamnya. Ada yang menyiasati permainan uang yang menyebabkan banyaknya polemik dalam proses pembacaan tuntutan dan berujung pada hukuman yang bisa dibilang tidak sesuai dengan espektasi masyarakat luas. Sampai banyak yang berpikiran bahwasanya dari kasus tersebut akan lebih mementingkan kebohongan demi mencari aman daripada berpegang teguh akan kejujuran.
Banyak fakta adanya diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka ada yang berkuasa dan yang tak punya kekuasaan. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja. Namun, realita hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elit. Maka dari itu, perlu banyak-banyak evaluasi yang harus dilakukan, harus ada penindak lanjutan yang jelas mengenai penyelewengan hukum pada era globalisasi ini. Perlu adanya ketegasan dan kesadraan yang hierarki dari individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya.
No responses yet